Minggu, 17 September 2017

Bay'al Murabahah

BAY’AL – MURABAHAH
  



Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Fiqh Muamalah 1
Dosen Pengampu : Dr. Jamal Abdul Aziz, M.Ag.

Disusun Oleh :

1.    Anggun Mutiara Putri                (1522201076)
2.    Harry Faishal Aqmal                  (1522201091)
3.    Nurrotul Jannah                         (1522201100)
4.    Rohmah Purwanti                      (1522201103)
5.    Dede Imam Mughni                   (1323203058)


JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2015/2016



BAY’AL – MURABAHAH

A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah mengahambakan diri kepada Allah Swt dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial. Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah Islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan atau puluhan. Sesungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada salah satu jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah atau jual beli murabahah.
2.    Rumusan Masalah
a.    Bagaimana Konsep Bay’al-Murabahah ?
b.    Bagaimana Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?
c.    Bagaimana Analisis Penerapan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?
3.    Tujuan
a.    Mengetahui Konsep Bay’al-Murabahah.
b.    Mengetahui Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah .
c.    Mengetahui Analisis Penerapan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah.


B.  Konsep Bay’al – Murabahah
1.    Pengertian Murabahah
Murabahah merupakan salah satu konsep islam dalam melakukan perjanjian jual beli. Konsep ini telah banyak digunakan oleh bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan islam untuk pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan perdagangan para nasabahnya.[1]  
Pengertian murabahah secara lafdzi berasal dari masdar ribhun (keuntungan). Murabahah adalah masdar dari Rabahu – Yurabihu – Murabahatan (memberi keuntungan). Sedangkan secara istilah, Wahbah al Zuhailiy mengutip beberapa definisi yang diberikan oleh para imam mujtahid. Diantaranya adalah :
a.    Ulama’ Hanafiyah mengatakan, murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah dengan keuntungan yang diinginkan.
b.    Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat Murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Sehingga dapat dipahami bahwa murabahah merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu, yaitu keharusan adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak.[2]   
2.    Dasar Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa murabahah adalah salah satu jenis dari jual beli, khususnya jual beli amanah.[3] Maka landasan syar’i akad murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Diantaranya :
a.    Al Qur’an
-       Q.S Al Baqoroh ayar 275
“....Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”

-       Q.S An-Nisa Ayat 29

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.......”
b.    Hadis
-       Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
-       Sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan Bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok. [4]
-       Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)

Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
c.    Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهاَ

“ Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
d.   Fatwa Dewan Syariah Nasional
1)   Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah.
2)   Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah.
3)   Nomor 16/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000 tentang Diskon Dalam Murabahah.
4)   Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang menunda-nunda Pembayaran.
5)   Nomor 23/DSN-MUI/III/2002 Tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan  Dalam Murabahah.[5]
3.    Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun murabahah ada 5 yaitu penjual (Ba’i), Pembeli (Musytari), Objek jual Beli (Mabi’), Harga (Tsaman), Ijab Qabul.[6] Syafi’i Antonio menetapkan persyaratan murabahah sebagai berikut :
a.    Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
b.    Kontrak pertama harus syah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.    Kontrak harus bebas dari riba.
d.   Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.    Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.[7]
4.    Jenis Murabahah
a.    Murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya. Penyedian barang ini tidak terpengaruh atau terikat langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
b.    Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang, sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat mengikat , maksudnya apabila telah pesan harus beli. Dan murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah telah memesan baran, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.[8]

C.  Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah
1.    Kaidah dan Hal-hal yang Berhubungan dengan Murabahah.
a.    Akad Murabahah harus digunakan untuk barang-barang yang halal.
b.    Jika ada perselisihan atas harga pokok penjualan, pembeli mempunyai hak untuk menghentikan dan membatalkan perjanjian.
c.    Jika barang yang akan dijual tersebut dibeli dari pihak ketiga, maka perjanjian jual beli yang dengan pihak pertama tersebut harus sah menurut syariat islam.
d.   Murabahah akan sangat berguna sekali bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana pada saat itu ia kekurangan likuiditas. Ia meminta pada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat diterima. Harga jual pada pemesanan adalah harga beli pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati.
e.    Untuk menjaga hal yang tidak diinginkan kedua belah pihak harus memenuhi ketentuan yang telah disepakati bersama.
1)   Bank :Harus mendatangkan barang yang benar-benar memenuhi pesanan nasabah baik jenis, kualitas atau sifat-sifat yang lainnya.
2)   Pemesan   : Apabila barang telah memenuhi ketentuan dan ia menolak untuk menebusnya maka bank berhak menuntutnya secara hukum, karena pesanan telah dianalogikan dengan dhimmah (hutang) yang harus ditunaikan.[9]  
2.    Pembiayaan Murabahah
Akad murabahah digunakan oleh bank untuk memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan :
a.    Barang konsumsi seperti rumah, kendaraan/alat transportasi, alat-alat rumah tangga dan sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun).
b.    Pengadaan barang dagang, bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak termasuk proses produksi).
c.    Barang modal seperti pabrik, mesin, dan sejenisnya.
d.   Barang lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan disetujui bank.[10]
3.    Uang Muka dan Potongan dalam Murabahah
a.    Apabila nasabah memberikan uang muka (Urbun), maka uang muka nasabah tersebut diperlukan sebagai pengurang hutang nasabah (Piutang Murabahah). Namun akad jual beli yang dibuat antara bank dengan nasabah tetap berpedoman kepada harga jual beli awal yang telah disepakati.
b.    Bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan (tidak diperkenankan sebagai pembayar angsuran). Tetapi apabila murabahah batal, uang muka dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan,
c.    Apabila setelah akad transaksi murabahah, pemasok memberikan potongan harga atas barang yang dibeli oleh bank dan telah dijual kepada nasabah, maka potongan harga tersebut menjadi hak nasabah.
d.   Bank dapat memberi potongan harga (Muqossah), apabila nasabah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad dan besarnya potongan ditetapkan oleh komite penyaluran dana.[11]
4.     Denda Kepada Nasabah
Bank berhak memberikan denda kepada nasabah yang tidak dapat memenuhi kewajiban piutang murabahah dengan indikasi antara lain :
a.    Adanya unsur kesengajaan yaitu nasabah mempunyai dana tetapi tidak melakukan pembayaran piutang murabahah.
b.    Adanya unsur penyalahgunaan dana yaitu nasabah mempunyai dana tetapi digunakan terlebih dahulu untuk hal lain.
c.    Pengenaan dan besarnya denda ditentukan oleh bank dalam bentuk SK Direksi.
d.   Pengenaan denda harus dituangkan dalam surat penawaran (Offering Letter) dan akad baik ta’zir[12] maupun ta’widh[13].
e.    Pengakuan denda dapat berupa ta’zir atau ta’widh.[14]
5.    Jaminan dalam Konsep Murabahah
Jaminan diperlukan untuk memperkecil resiko-resiko yang merugikan bank dan untuk melihat kemampuan nasabah dalam menanggung pembayaran kembali atas utang yang diterima dari bank.[15] Dalam setiap akad murabahah yang diterapkan dalam praktek, memang biasanya ditetapkan suatu jaminan. Biasanya yang dapat dijadikan sebagai jaminan adalah jaminan yang dapat diterima oleh hukum positif, seperti hak anggungan berupa fixed asset milik nasabah yang berada ditempat lain, fidusia atau tagihan, gadai saham, gadai deposito, jaminan perusahaan (corporate guarantee) jaminan perorangan (personal guarantee) atau jaminan apapun yang dapat diterima oleh bank syariah.[16]

D.  Analisis Penerapan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah
1.    Aplikasi murabahah dalam Perbakan Syari’ah
  Dalam perbankan syariah Indonesia, praktek akad murabahah di dasarkan pada fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000. Secara umum fatwa tersebut memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada nasabah :
a.    Ketentuan fatwa terhadap bank adalah sebagai berikut :
1)   Bank dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba dan bukan barang haram.
2)   Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
3)   Bank membeli barang tersebut atas nama bank sendiri.
4)   Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga beli ditambah dengan keuntungan yang diinginkan dan disepakati oleh kedua belah pihak.
5)    Nasabah membayar harga barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kespakatan.
6)   Untuk menghindari terjadinya kecurangan, penyalahgunaan atau kerusakan bank dapat mengadakan perjanjian khusus.
7)   Jika bank kesulitan menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah karena harus menyiapkan gudang, bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal seperti ini, murabahah dapat dilakukan jika secara prinsip barang harus sudah menjadi milik bank.
b.    Ketentuan praktek murabahah terhadap nasabah :
1)    Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang kepada bank, kemudian jika bank menerima permohonn tersebut, bank harus membelikan terlebih dahulu asset tersebut. Dan jika keduanya sepakat, maka dapat ditindak lanjut dengan pembuatan kontrak jual beli.
2)   Dalam kontrak jual beli tersebut, bank diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka terlebih dahulu saat penanda tanganan kontrak.
3)   Jika nasabah menolak membeli barang tersebut, bank dapat meminta uang muka tersebut sebagai biaya riil barang yang telah dibeli. Jika nilai uang muka tersebut kurang, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
4)   Bank dapat meminta jaminan kepada nasabah, semata-mata agar nasabah tidak menghianati janji.
5)   Hutang yang timbul dari akad murabahah secara prinsip penyelesaiannya tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut baik ada untung maupun mengalami kerugian, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank sebesar harga telah disepakati.
6)   Jika nasabah pada akhirnya dianggap pailit, dan dia tidak bisa melunasi hutangnya, bank harus memberikan toleransi kepada nasabah. Bank tidak boleh serta mengeksekusi jaminan yang dipegang bank. Toleransi ini diberikan semata-mata untuk meringankan beban beban nasabah. Sedang batasan waktunya relatif tergantung kelonggaran nasabah.[17]
2.    Manfaat dan Resiko Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah memberikan banyak manfaat kepada bank syariah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjualan dengan harga jual kepada nasabah. Sistem pembiayaan murabahah juga sangat sederhana, hal ini memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah. Resiko yang harus diantisipasi diantaranya :
a.    Default atau kelalaian, nasabah tidak membayar angsuran.
b.    Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.
c.    Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karenan berbagai sebab.
d.   Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan hutang. Maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah, nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya.[18]
3.    Kendala Penerapan Murabahah
Berikut ini beberapa kendala yang umum ditemukan :
a.    Ketentuan perpajakan. Sampai saat ini belum ada satupun ketentuan perpajakan yang mengecualikan produk perbankan syariah, sehingga apabila bank syariah melakukan transaksi riil, seperti jual beli atau sewa maka akan terkena pajak.
b.    Ketentuan hukum. Nasabah akan mendapatkan celah yuntuk membantah bahwa ia berhutang kepada bank, karena yang diterimanya adalah barang, bukan uang. Kondisi hukum di Indonesia menganggap bahwa bank adalah lembaga pinjaman (uang) dan pinjaman kan lebih efektif menjadi hutang apabila yang diberikan itu dalam bentuk uang.
c.    Sikap nasabah. Adakala murabahah tidak dapat berjalan sesuai dengan yang digariskan oleh syariah karena sikap nasabah itu sendiri.
d.   Sikap Bank. Terjadi karena para bankir yang cenderung mencari aman dan menghadiri resiko, sehingga transaksi murabahah yang dilakukan terkesan dipaksakan untuk sesuatu yang memang tidak sesuai dengan murabahah itu sendiri padahal produk perbankan syariah bukan hanya murabahah.[19]
4.    Contoh Kasus Penerapan Akad Murabahah Pada Bank Syariah
Bapak Kholid akan mengajukan pembiayaan untuk membeli mobil seharga Rp. 150.000.000;. disepakati Bapak Kholid akan membeli mobil tersebut ke diller mobil (Supplier) yang telah menjadi mitra bank syariah, yang kemudian akan dikirim kepada Bapak Kholid dengan nama kepemilikan barang langsung Bapak Kholid.
 Bapak Kholid akan membayar mobil secara tangguh kepada bank selama 15 bulan, dengan cicilan pokok sebesar Rp. 10.000.000; per bulan. Dikarenakan membayar secara tangguh[20], maka terdapat kewajiban lain yang harus dibayarkan yaitu membayar keuntungan tambahan kepada bank. Keuntungan tambahan ini seringkali disebut dengan profit margin atau mark-up price. Disepakati selama 15 bulan, Bapak Kholid harus membayar keuntungan sebesar Rp. 21.000.000.
Sehingga dalam 15 bulan Bapak Kholid akan membayar total sebesar Rp.171.000.000. Perubahan harga mobil yang semula Rp.150.000.000 menjadi Rp. 171.000.000 disebut mark-up price. Atau harga yang dinaikan atas dasar pertimbangan banyak aspek yang ditawarkan oleh pihak bank  kepada nasabah pada saat negosiasi.[21]

E.  Kesimpulan
Dari definisi tentang murabahah diatas, maka dapat kami ambil beberapa kesimpulan diantaranya  :
1.    Murabahah merupakan transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2.    Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran tunda atau pembayaran tangguh.
3.    Bank-bank islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam proses pembiayaan mereka kepada para nasabahnya untuk  pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan perdagangan.
4.    Murabahah memberikan beberapa Manfaat bagi bank dan Nasabah
a.    Bagi Bank : Secara prinsip merupakan penyaluran dana bank dengan cepat dan mudah. Bank mendapatkan profit yaitu margin dari pembiayaan murabahah yaitu dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.
b.    Bagi Nasabah : Merupakan alternatif pendanaan yang memberikan keuntungan kepada nasabah dalam bentuk membiayai nasabah dalam hal pengadaan barang seperti pembelian alat-alat rumah tangga dan sejenisnya, pembelian kendaraan, pembelian barang produktif seperti mesin produksi, dan pengadaan barang lainnya. Nasabah mendapat peluang mengangsur pembayarannya dengan jumlah angsuran tidak akan berubah selama masa perjanjian.

F.   Daftar Pustaka

Afandi, M. Yazid.,M.Ag. 2009. Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta : Logung Pustaka.

Dahlan, Ahmad. 2012. Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, Yogyakarta : Teras.

Hakim, Cecep Maskanul. 2011. Belajar Mudah Ekonomi Islam : Catatan Kritis Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, Banten : Shuhuf Media Insan.

Muhammad. 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta : UII Pres.

Muhammad. 2009. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press.

Purnamasari, Irma Devita. 2001. Akad Syari’ah, Bandung : Mizan Media Utama.

Prabowo, Bagya Agung. 2012. Aspek Hukum Pemiayaan Murabahah Pada Perbankan Syariah, Yogyakarta : UII Press.

Wiroso. 2005. Jual beli Murabahah, Yogyakarta : UII Press.


 



[1] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Pres, 2000), hlm.22.
[2] M. Yazid Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 85-86.
[3] Jual beli amanah adalah jual beli dimana penjual memberitahukan harga beli barang dagangannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba.
[4] M. Yazid Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 87-90.
[5] Wiroso, Jual beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm.45-46.
[6] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.58.
[7] M. Yazid Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 90-92.
[8] Wiroso, Jual beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm.37-38.
[9] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Press, 2000), hlm.24.
[10] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.67-68.
[11] Ibid. Hlm. 70.
[12] Ta’zir adalah sanksi yang dikenaka LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. Ta’zir disini dikenakan apabila terjadi penundaan pembayaran yang disengaja oleh nasabah dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syar’i dan tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya.
[13] Ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang hilang.
[14] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.70.
[15] Ibid.  hlm.60.
[16] Irma Devita Purnamasari, Akad Syari’ah, (Bandung : Mizan Media Utama, 2001), hlm.54-55.
[17] M. Yazid Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 97-98.
[18] Bagya Agung Prabowo, Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah Pada perbankan Syariah, (Yogyakarta : UII Press, 2012), hlm.33-34.
[19] Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam : Catatan Kritis Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, (Banten : Shuhuf Media Insan, 2011), hlm. 79-80.
[20] Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli tetapi pembayaran dilakukan dalambentuk angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
[21] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, ( Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.193-194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar