Minggu, 17 September 2017

Hambatan, Potensi & Peluang Pengembangan Wakaf Di Indonesia

HAMBATAN/TANTANGAN, POTENSI DAN PELUANG
PENGEMBANGAN WAKAF DI INDONESIA



M A K A L A H

Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Manajemen Zakat dan Wakaf
Dosen Pengampu : Dr. Supani, S.Ag., M.A


Disusun Oleh :

HARRY FAISHAL AQMAL
NIM. 1522201091
3 ESY-C


JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2016


PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara muslim. Hal tersebut memang keberadaan wakaf sangat dirasakan bagi kesejahteraan umat. Di indonesia wakaf dikenal sejak Islam masuk ke Indonesia, namun pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid, musholla, sekolah, pondok pesantren dan sedikit sekali wakaf yang dikelola dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya fakir miskin. Tetapi pemanfaatan tersebut banyak hambatan dan tantangan sendiri untuk mencapai keefektifan penggunaan dan pengelolaan harta wakaf di Indonesia. Oleh karena, agar wakaf dapat memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat banyak, maka upaya pemberdayaan peluang pengelolaan wakaf sebagai potensi ekonomi yang baik harus digalakan dan dikembangkan dengan cepat dan sesuai.

B.       Rumusan Masalah
Bagaimana Hambatan/ Tantangan, Potensi dan Peluang Pengembangan Wakaf di Indonesia ?

C.      Tujuan
Untuk Mengetahui Hambatan/ Tantangan, Potensi dan Peluang Pengembangan Wakaf di Indonesia.

D.      Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.

PEMBAHASAN

A.      Hambatan/Tantangan Pengembangan Wakaf di Indonesia
1.        Kebekuan Umat Islam Terhadap Paham Wakaf
Sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut. Seperti kebiasaan melakukan perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal sholeh yang mempunyai nilai mulia di hadapan Tuhan tanpa melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.[1] Kuatnya paradigma lama umat islam atas pemahaman itu, banyak tokoh atau umat Islam tidak merekomendasikan wakaf diperdayakan sehingga memiliki fungsi sosial yang lebih luas dan tidak terbatas pada ibadah Mahdhah.[2]
Praktek wakaf semacam ini, memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan karena tiadanya bukti yang mampu menunjukan bahwa benda-benda yang bersangkutran telah diwakafkan. Selain itu umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyyah, seperti tentang :
a.         Ikrar wakaf[3]. Dari pandangan Imam Asy-Syafi’i secara sederhana ditafsirkan bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja. Sehingga dengan tanpa bukti tertulis, maka banyak benda-benda wakaf yang hilang (diselewengkan) atau karena dengan sengaja diambil oleh pihak ketiga. 
b.        Harta yang boleh diwakafkan (mauquf bih). Dalam peraturan perundangan sebelum UU No. 41 Th. 2004 tentang wakaf seperti (PP No. 28 Th 1977) hanya menyangkut perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan yang tidak produktif seperti masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya. Sehingga wakaf kurang bisa dikembangkan secara optimal.[4]
c.         Banyaknya praktek wakaf yang diperuntukan untuk kalangan keluarga (wakaf ahli), selain yang diperuntukan untuk kepentingan kebijakan umum.
d.        Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun.
e.         Adanya kebiasaan masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat untuk mengelola wakaf sebagai Nazhir.[5]

2.        Nazhir Wakaf Tradisional-Konsumtif
Selama ini yang menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf di Indonesia adalah keberadaan Nazhir wakaf yang masih tradisional.[6] Nazhir yang belum profesional sehingga wakaf belum dikelola secara optimal. Posisi Nazhir adalah peran sentral dalam mewujudkan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat wakaf. Profesionalisme Nazhir masih tergolong lemah.[7] Ketradisionalan Nazhir dipengaruhi oleh :
a.          Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam yang masih stagnan (beku) terhadap pengelolaan wakaf. Apalagi arus utama mayoritas ulama Indonesia lebih mementingkan aspek keabadian benda wakaf daripada aspek kemanfaatannya.
b.        Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Nazhir wakaf. Banyak para wakif yang diserahi harta wakaf lebih karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh agama, sedangkan mereka kurang dalam kemampuan manajerialnya, sehingga benda wakaf banyak yang tidak terurus (terbengkalai).
c.         Lemahnya kemampuan  para Nazhir wakaf juga menambah ruwetnya kondisi wakaf ditanah air. Banyak Nazhir wakaf yang tidak memiliki militasi yang kuat dalam membangun semangat pemberdayaan wakaf. Serta banyak Nazhir yang justru mengambil keuntungan secara sepihak dengan menyalahgunakan peruntukan benda wakaf.[8]

3.        Lemahnya Political Will Pemegang Otoritas
Peraturan perudang-undangan tentang wakaf di Indonesia menjadi persoalan yang cukup lama belum terselesaikan dengan baik.[9] Paling tidak sebelum lahirnya UU NO. 41 Th 2004 tentang wakaf terdapat kendala formil bagi pengelolaan dan pengembangan wakaf. Ada beberapa alasan kendala formil tersebut menjadi hambatan, yaitu :
a.         Masih belum terintegrasikannya peraturan teknis pengelolaan wakaf. Jika persoalan yang cukup strategis seperti lembaga wakaf tidak diatur secara intergral dan lengkap dalam pengelolaannya, maka lembaga tersebut sulit diharapkan maju dan berkembang secara baik.[10]
b.        Karena masih ada kelemahan dalam pengaturan hukumnya, persoalan hukum wakaf belum memberikan kepastian jaminan dan perlindungan rasa ama bagi wakif, Nazhir dan mauqul ‘alaihi (penerima wakaf), baiik perseorangan, kelompok orang, organisasi/badan hukum.
c.         Sebelum UU No. 41 Th 2004 tentang wakaf hanya mengatur pada lingkup perwakafan yang sangat terbatas.[11] Misalnya pengaturan perwakafan yang menyangkut dana cash (cash waqf), hak kepemilikan intelektual dan surat berharga lainnya belum tersentuh, sedangkan diera sekarang dimana uang dan surat bergarga menjadi variable ekonomi yang cukup penting.[12]
Karena itu Undang-undang wakaf modern harus tegas dalam menetapkan karakteristik wakaf Islam yang dibentuk untuk menciptakan lembaga ekonomi ketiga dengan kesempurnaan nilai-nilainya dan infrastruktur kelembagaannya, serta mengatur pengelolaan proyek dan kepemilikan wakaf dengan cara yang bepihak pada kepentingan masyarakat setempat apabila wakif tidak menentukan bentuk pengelolaannya atau tidak diketahui kemauan wakif disebabkan karena hilangnya dokumen wakaf.[13]

4.        Jumlah Tanah Wakaf Strategis dan Kontroversi Pengalihan Wakaf Untuk Tujuan Produktif.
Tanah perkebunan, sawah, ladang dan lainnya yang diwakafkan ternyata banyak yang mempunyai nilai ekonomis sangat minim. Letak ketidakstrategisan secara ekonomi bisa ditinjau dari aspek :
a.         Lokasi tanah. Letak tanah yang jauh dari pusat perekonomian sangat mempengaruhi terhadap nilai tanahnya. Hal yang menjadi kendalanya adalah faktor transportasi, baik dalam proses pengolahan maupun pengambilan hasil tanah tersebut.[14]
b.        Kondisi Tanah. Tanah yang gersang atau tidak subur jelas tidak menguntungkan secara ekonomi. Kondisi tanah wakaf seperti ini dibutuhkan kemampuan Nazhir untuk mengelola secara produktif.
c.         Kemampuan pengelolaan tanah yang minim. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) penggarap yang tidak profesional.[15]
Disamping kendala teknis, di dalam masyarakat kita masih terjadi pro kontra pengalihan atau pertukaran tanah wakaf untuk tujuan yang produktif maupun pemanfaatannya. Misal, seorang wakif yang wewakafkan tanah kebunnya untuk pesantren di pusat kota, sementara tanah yang wakif miliki di pedesaan jauh dari pesantren tersebut. Sementara pesantren tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola tanah wakaf tersebut, sehingga tanah wakaf tersebut tidak bisa dikelola secara baik karena kendala transportasi dan sarana lain. Namun ketika para wakif ditawarkan bahwa tanah wakaf tersebut sebaiknya dijual dan hasilnya untuk kepentingan pesantren, dan wakif banyak yang menolaknya karena memegangi paham bahwa wakaf tidak bisa dijual.
Kendala pemahaman untuk mengalihkan tanah-tanah yang tidak strategis secara ekonomis dengan tanah atau sarana lain yang strategis secara ekonomis masih menjadi hambatan yang nyata. Karena adanya pemahaman bahwa wakaf merupakan harta yang bersifat abadi, sehingga kondisi harta wakaf tersebut harus dibiarkan dan tidak boleh dirubah-rubah oleh alasan apapun.[16]

5.        Banyaknya Tanah Yang Belum Bersertifikat
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah mempunyai syarat-syarat administrasi yang telah diatur, khususnya mempunyai sertifikat tanah. Tanah wakaf tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, serta dapat dikembangkan.sebaliknya, tanah wakaf yang tidak mempunyai persyaratan seperti ketentuan PP. No 28/1977, tidak mempunyai kepastian hukum.[17] Sehingga terdapat tanah wakaf dimiliki orang lain yang tidak berhak, menjadi sengketa dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Kendala itu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena banyaknya tanah wakaf yang tidak mempunyi bukti perwakafan, seperti surat-surat yang memberikan keterangan bahwa tanah tersebut telah diwakafkan. Tanah yang tidak memiliki bukti administratif tersebut karena banyak wakif yang menjalankan tradisi lisan dan kepercayaan yang tinggi. Kendala lain juga karena faktor pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai dari pihak pemerintah.[18]

B.       Potensi dan Peluang Pengembangan Wakaf di Indonesia
1.        Fleksibilitas Kosep Fikih Wakaf
Sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad para ulama. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini sangat identik dengan shadaqah jariyyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki pahala yang terus menglir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan manusia. Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik (beroirentasi pada masa depan). Ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Jika ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran  wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Lain dengan zakat yang dalam posisi-posisi tertentu akan habis begitu saja karena harus diberikan kepada orang yang berhak. Namun, kalau wakaf justru yang menjadi kelebihannya terletak pada aspek kemanfaatan yang bersifat abadi, sedangkan pokoknya (asalnya) tetap utuh sampai waktu yang lama, bahkan abadi.[19]

2.        Peluang Reinterpretasi Paham Wakaf
Berangkat dari realitas empirik dimana masih terdapat keterputusan pemahaman kalau tidak ingin dikatakan pemahaman yang statis terhadap persoalan wakaf maka reinterpretasi dan pemahaman baru mengenai wakaf menjadi penting. Hal ini perlu dilakukan agar ajaran, konsep dan praktik wakaf bisa mengiringi perkembangan persoalan yang semakin kompleks.[20]
Untuk itulah, hasil dari pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional dan amanah kemudian digunakan untuk kepentingan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan atau pengembangan sarana dan prasarana ibadah. Sedangkan wakaf yang yang ada dan sudah berjalan dikalangan masyarakat dalam bentuk wakaf tanah milik, maka perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu didorong untuk dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif.[21]

3.        Kekayaan Benda-Benda Wakaf
Menurut data Departemen Agama terakhir terdapat kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.672.406 m2. Dari total jumlah tersebut 75 % diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan sekitar 10 % memiliki potensi ekonomi tinggi. Besarnya jumlah benda-benda wakaf, khususnya tanah dan bangunan menjadi peluang yang sangat besar bagi pengembangan ekonomi umat di masa mendatang.
Menurut kaca mata ekonomi, tanah wakaf yang begitu luas dan menempati beberapa lokasi yang strategis memungkinkan untuk dikelola dan dikembangkan secara produktif. Sebagai contoh : misalnya musholla, sedang sisa tanahnya masih luas bisa dibangun gedung pertemuan untuk disewakan kepada masyarakat umum.[22] Hasil penyewan gedug tersebut dapat digunakan untuk memelihata masjid. Atau misalnya ada tanah wakaf yang terletak cukup strategis dalam usaha bisa dibangun ruko atau gedung perkantoran yang bisa dikelola sendiri atau disewakan dan hasilnya bisa untuk perawatan gedung wakaf yang telah ada atau untuk menunjang kerugian atau pemberdayaan ekonomi lemah yang ada di sekitarnya.[23]
Wakaf tunai juga sangat strategis menciptakan lahan pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam aktivitas produksi yang selektif sesuai syariah dan kemaslahatan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental ekonomi. Karena itu, dalam pengembangan secara lebih luas, wakaf tunai harus mendapat perhatian lebih untuk membiayai berbagai proyek sosial melalui pemberdayaan wakaf benda tak bergerak yang selama ini menjadi beban. Atau bisa melalui penyaluran kepada lembaga pemberdayaan ekonomi. [24]
Menurut Mustafa Edwin Nasution, Ekonomi dari UI, potensi penghimpunan dana dari wakaf uang di Indonesia lumayan besar. Dengan hitungan paling moderat, dalam 1 tahun bisa dihimpun dana sebanyak 3 triliyun.[25] Potensi dana yang dikumpulkan dari wakaf uang sangat besar, maka dapat diinvestasikan ke portofolio investasi seperti lembaga keuangan syariah, lembaga pendidikan dan sebagainya. Dana itu juga dapat digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan angkatan kerja yang tengah menunggu atau tidak mempunyai pekerjaan tetap. [26]
Sebagai salah satu upaya agar penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir, salah satunya dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme Kontrak Investasi Kolektif (KIK) semacam Reksadana Syariah yang dihimpun melalui Sertifikat Wakaf Tunai kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan ssebagai akibat krisis yang berkepanjangan.[27]

4.        Menguatnya Sumber Daya Manusia (SDM) Berwawasan Syariah.
 Dalam pengelolaan harta wakaf produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya dalam pemanfaatan harta wakaf adalah Nazhir wakaf, Untuk itulah profesionalisme Nazhir menjadi ukuran yang paling penting.[28] Nazhir dan lembaga-lembaga pengelolaan wakaf sebagai ujung tanduk pengelolaaan dan pengembangan harta benda wakaf diberikan motivasi dan pembinaan dalam rangka meningkatkan profesionalisme manajemen, melalui berbagai pelatihan dan orientasi.  
Kualitas Nazhir terus diberikan motivasi dan arahan dalam rangka melakukan pembenahan, baik menyangkut kemampuan manajerial maupun skill individu yang sangat menentukan dalam pemberdayaan wakaf secara produktif.[29] Sistem pengelolaan SDM ini bertujuan untuk :
a.         Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan.[30]
b.        Membentuk sikap dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya.
c.         Menciptakan pola pikir atau persepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundangan maupun teknis manajerial.
d.        Mengajak para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariah Islam secara lebih luas dan dalam jangka panjang.[31]
Sekarang banyak bermunculan lembaga-lembaga ekonomi dari keuangan syariah yang mendidik Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas baik. Barangkali bukan menjadi hal yang sulit bagi umat Islam Indonesia sekarang mencari SDM yang ahli di bidang manajemen dan bisnis, termasuk di dalamnya bidang perwakafkan sebagaimana mereka mengelola sebuah usaha yag bersifat komersial.[32]

5.        Booming Sistem Ekonomi Syariah
Tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi sistem ekonomi syariah, disebabkan oleh beberapa kelemahan sistem ekonomi kapitalis, yaitu :
a.         Masalah ketidakstabilan sistem. Pelaksanaan sistem ekonomi kapitalis diikuti dengan berbagai masalah yang akhirnya membuat sistem ekonomi yang ada menjadi tidak stabil dan berbagai krisis. 
b.        Masalah pembagian pendapatan. Pembagian pendapatan yang ada di dunia menjadi tidak seimbang. Kurang lebih 80 % pendapatan dunia dikuasai oleh penduduk negara maju sementara negara berkembang hanya menguasai sisanya 20 % pendapatan dunia yang ada.
c.         Masalah kemiskinan. Krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis telah memperburuk tingkat kemiskinan yang nyata sebagai akses langsung maupun tidak langsung serta pola pendapatan di dalam negara yang ada, khususnya keadaan ekonoi di negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[33]

Sistem Ekonomi Syariah (SES) berbeda dengan sistem Ekonomi konvensional. Secara umum dapat dikatakan bahwa salah satu ciri utama pada sistem tersebut adalah pelarangan riba dalam kegiatan perekonomian. Ciri lainnya adalah variable zakat yang merupakan variable kunci untuk menggerakan roda perekonomian SES. Variable kunci lainya dalam SES adalah pemberdayaan wakaf. Karena wakaf merupakan wahana mobilisasi sumber daya perekonomian yang mempunyai kekuatan sosial yang cukup dahsyat apabila dikelola secara profesional.
Dari kesadaran penuh akan kelemahan istem ekonomi kapitalis (konvensional) dan keinginan kuat masyarakat Islam dalam menerapkan sistem ekonomi syariah merupakan momentum dan peluang yang cukup besar untuk memberdayakan wakaf produktif sebagai salah satu variabel yang cukup strategis bagi penerapan SES.[34]

6.        Dukungan Politik Pemerintah Dalam Pemberdayaan Civil Society.
Munculnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dibidani ICMI-MUI di awal 1990-an sebagai bank syariah pertama di tanah air merupakan dukungan pemerintah Orde Baru yang sarat dengan nuansa poilitis. Dukungan politik pemerintahan dan keinginan yang kuat masyarakat muslim terhadap penerapan sistem keuangan berdasarkan syariah Islam membuka peluang yang seluas-luasnya terhadap pengelolaan harta dan keuangan demi kesejahteraan masyarakat banyak.[35]
Salah satu lembaga pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis pada ajaran Islam selain lembaga zakat adalah lembaga perwakafan. Lembaga perwakafan memang sudah ada sejak Islam masuk di negeri ini, namun pemberdayaannya dirasa masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Potensi besar yang dimiliki oleh wakaf sebagai salah satu variabel penting dalam meningkatkan ksejahteraan masyarakat banyak didorong oleh pemerintahan secara politik dengan beberapa peraturan perundang-undangan wakaf agar berfungsi secara produktif.
Munculnya inovasi dari kalangan civil society seperti Dompet Duafa Republika (DDR) yang mengeluarkan sertifikat wakaf tunai misalnya, merupakan bentuk kepedulian yang tumbuh dari kesadaran masyarakat. Dan ini merupakan sinyal positif secara politik dimana umat Islam diberi kebebasan dalam mengelola seluruh potensi kekayaan yang dimiliki sesuai dengan system keuangan Syariah. Tentu saja yang diuntungkan bukan saja masyarakat tapi juga pemerintah.[36] Kondisi yang saling menguntungkan ini menjadi peluang yang sangat lebar bagi pemberdayaan wakaf produktif dalam rangka mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan.

7.        Banyaknya Perbankan Syariah yang siap Mengelola Wakaf Produktif[37]
Munculnya bank syariah, memberikan angin besar dan optimisme tinggi bagi umat islam, termasuk di dalamnya pengelolaan (dana) wakaf secara produktif. [38]  Ada beberapa alternatif peran dan posisi perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yaitu :
a.         Bank Syariah sebagai Nazhir Penerima, Penyalur dan Pengelola Dana Wakaf.[39]
Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke Bank Syariah akan menerima Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Bank Syariah, sehingga tanggung jawab sepenuhnya pada Bank Syariah.[40] Optimalisasi penggalangan dana akan dilakukan dengan menggunakan seefektif mungkin keberadaan jaringan kantor beserta divisi pemasarannya. Pengelolaan dana akan kerja sama dengan lembaga penjamin untuk memastikan tidak berkurang dana pokok wakaf. Sedangkan penyaluran dana dilakukan dengan mengefektifkan jaringan informasi serta peta distribusi.
b.        Bank Syariah  sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur Dana Wakaf.
Bank Syariah  hanya sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur. Sedangkan fungsi pengelola dana akan dilakukan oleh lembaga lain, misalnya Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang dengan sendirinya tanggung jawab pengelolaan dana, termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada BWI ini.[41]
c.         Bank Syariah sebagai Pengelola (Fund Manager) Dana Wakaf.
Tanggung jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada lembaga perbankan syariah..
d.        Bank Syariah Sebagai Kustodi (Penitipan)
Jika pemerintah menunjuk Nazhir yang memiliki wewenang penuh terhadap wakaf tunai, maka bank syariah bisa berperan dalam hal menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI).[42]
e.         Bank Syariah Sebagai Kasir Badan Wakaf Indonesia.
Wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk dimasukan ke rekening Badan Wakaf Indonesia. Bank syariah tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh BWI. Rekening BWI akan dipelihara sebagaimana layaknya rekening lainnya yang akan mendapatkan bonus atau bagi hasil sesui dengan jenis dan prinsip syariah yang digunakan.[43]



PENUTUP

A.      Kesimpulan
Wakaf memiliki banyak peran penting, strategis dan menentukan baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Namun pengeloaan wakaf di Indonesia masih memiliki beberapa hambantan dan tantangan tersendiri dalam pendayagunaan wakaf secara potensial dan produktif seperti :
1.    Kebekuan Umat Islam Terhadap Paham Wakaf
2.    Nazhir Wakaf Tradisional-Konsumtif
3.    Lemahnya Political Will Pemegang Otoritas
4.    Jumlah Tanah Wakaf Strategis dan Kontroversi Pengalihan Wakaf Untuk Tujuan Produktif.
5.    Banyaknya Tanah Yang Belum Bersertifikat

Dari beberapa hambatan diatas, sebenarnya pengelolaan wakaf di Indonesia apabila di perhatikan dan dikelola secara benar maka akan mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik untuk mewujudkan wakaf yang produktif. Karena wakaf di Indonesia memiliki beberapa potensi dan peluang untuk mewujudkannya, diantaranya :
1.    Fleksibilitas Kosep Fikih Wakaf
2.    Peluang Reinterpretasi Paham Wakaf
3.    Kekayaan Benda-Benda Wakaf
4.    Menguatnya Sumber Daya Manusia (SDM) Berwawasan Syariah.
5.    Booming Sistem Ekonomi Syariah
6.    Dukungan Politik Pemerintah Dalam Pemberdayaan Civil Society.
7.    Banyaknya Perbankan Syariah yang siap Mengelola Wakaf Produktif




DAFTAR PUSTAKA



Anshori, Abdul Ghofur, Dr. SH., M.H. 2005.  Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta : Pilar Media.

Departemen Agama RI. 2005. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.

Departemen Agama RI. 2007. Fiqh Wakaf, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Departemen Agama RI. 2007. Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Departemen Agama RI. 2007. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Departemen Agama RI. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Djunaidi, Achmad dan Thobieb Al-Asyhar. 2007. Menuju Era Wakaf Produktif, Depok : Mumtaz Publising.

Lubis, Suhrawardi K., SH., Sp.N., M.H. 2010. Wakaf & Pemberdayaan Umat, Jakarta : Sinar Grafika.

Qahaf, Mundzir, Dr. 2005. Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta : Khalifa.



[1] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok : Mumtaz Publising, 2007), hlm. 47.
[2] Suhrawardi K. Lubis, SH., Sp.N., M.H., Wakaf & Pemberdayaan Umat, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010),  hlm. 176-177.
[3] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif............ hlm 48.
[4] Ibid., hlm. 49.
[5] Ibid., hlm. 50.
[6] Departemen Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hlm. 76.
[7] Suhrawardi K. Lubis, SH., Sp.N., M.H., Wakaf & Pemberdayaan Umat..........hlm. 177.
[8] Ibid., hlm. 77.
[9] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, ........... hlm. 54.
[10] Ibid., hlm. 55.
[11] Ibid., hlm. 56.
[12] Ibid., hlm. 57.
[13] Dr. Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta : Khalifa, 2005), hlm. 122.
[14] Departemen Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, .........hlm. 69.
[15] Ibid., hlm. 70.
[16] Ibid., hlm. 71.
[17] Ibid., hlm. 75.
[18] Ibid., hlm. 76.
[19] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, ...... hlm. 69-70.
[20] Ibid., hlm. 71.
[21] Ibid., hlm. 75.
[22] Ibid., hlm. 76.
[23] Ibid.,hlm. 77.
[24] Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hlm. 75-76.
[25] Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH., M.H., Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta : Pilar Media, 2005)., hlm. 99.
[26] Ibid.,hlm. 100-101.
[27] Departemen Agama RI, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hlm. 100-101.
[28] Departemen Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia.........hlm. 41.
[29] Suhrawardi K. Lubis, SH., Sp.N., M.H., Wakaf & Pemberdayaan Umat..........hlm. 182.
[30] Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 117.
[31] Ibid., hlm. 118.
[32] Departemen Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia.......hlm. 44.
[33] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, ........hlm. 81.
[34] Ibid., hlm. 83.
[35] Departemen Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, ......... hlm. 48-49.
[36] Ibid.,  hlm. 50.
[37] Ibid.,  hlm. 51.
[38] Ibid.,  hlm. 55.
[39] Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hlm.36.
[40] Ibid., hlm. 37.
[41] Ibid., hlm. 40.
[42] Ibid., hlm. 41.
[43] Ibid., hlm. 43. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar