JUAL BELI
SISTEM MLM (MULTI LEVEL MARKETING)
DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Belakangan
ini semakin banyak muncul perusahaan-perusahaan yang menjual produknya melalui
sistem Multi Level Marketing (MLM). Dimana sistem ini lebih cenderung membuat
kerugian pada anggotanya tanpa ada jaminan untuk mendapatkan untung. Yang mana
dalam sistem MLM anggota diperintahkan untuk membeli barang yang akan
dipasarkan kepada konsumen. Di satu sisi, sistem ini memiliki keuntungan bagi
pemilik usaha karena ia tak perlu mengeluarkan biaya dalam iklan produknya. Sehingga
hemat dalam segi pemasaran. Dalam perkembangan MLM di Indonesia, terdapat pro
kontra di antara para ulama ahli fiqih, hingga Majelis Ulama Indonesia juga
aktif memberikan kepastian status hukum terhadap perdagangan berbasis MLM yang
menjamur di Indonesia. Sebagai muslim yang baik, pastaslah bagi kita untuk
mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai hukum dari sistem MLM itu.
2.
Rumusan
Masalah
Bagaimana
hukum jual beli MLM (Multi Level Marketing) dalam perspektif hukum
islam?
3.
Tujuan
Untuk
mengetahui hukum jual beli MLM (Multi Level Marketing) dalam perspektif
hukum islam
B.
Konsep MLM
1.
Definisi
MLM
Multi Level Marketing (MLM) berasal
dari bahasa inggris, multi berarti banyak, level berarti jenjang
atau tingkat, sedangkan marketing artinya pemasaran. Jadi multi multi level
marketing adalah pemasaran yang berjenjang banyak. Disebut multi level,
karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakan penjualan yang
berjenjang banyak atau bertingkat-tingkat.[1]
MLM
ini disebut juga sebagai network marketing karena anggota kelompok
tersebut semakin banyak, sehingga membentuk sebuah jaringan kerja (network)
yang merupakan suatu sistem pemasaran
dengan menggunakan jaringan kerja berupa sekumpulan banyak orang yang kerjanya
melakukan pemasaran.[2] Dimana
mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil
penjualan barang atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di
dalam kelompoknya.
Sistem
ini memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sistem pemasaran yang
lain, di antara ciri-ciri khusus tersebut adalah : terdapat banyak jenjang atau
level, melakukan perekrutan anggota baru, penjualan produk, terdapat sistem
pelatihan, serta adanya komisi atau bonus untuk tiap jenjangnya.[3]
MLM
hanyalah suatu metode bisnis alternative yang berhubungan dengan Pemasaran dan
Distribusi. Perhatian utama dari MLM adalah menentukan cara terbaik untuk
menjual produk dari suatu perusahaan melalui inovasi di bidang pemasaran dan
distribusi. MLM hanya berkaitan dengan bagaimana bisa menjual suatu produk
dengan lebih efisien dan efektif kepada pasar.[4]
2.
Keunggulan
MLM
a.
Keunggulan
dari sisi kompensasi
Sistem
kompensasi usaha MLM berbeda dengan sistem gaji bagi pegawai yang bersifat
linier dan naik secara berkala, bisnis ini bersifat eksponensial. Setiap
jenjang memiliki sumber penghasilan sesuai dengan prestasi si distributornya.[5]
b.
Keunggulan
dari sisi modal
MLM lebih
menekankan hubungan yang dimiliki oleh para distributor mereka sebagai modal
utama.[6]
c.
Keunggulan
dari sisi waktu
Bisnis MLM
adalah bisnis dengan waktu fleksibel. Para distributor dalpat melakukan
presentasi atau penjualan padaa waktu yang mereka tentukan sendiri.
d.
Keunggulan
dari sisi pemasaran
Bisnis MLM
memiliki jaringan pemasaran yang sangat baik. Ditambah dengan adanya sistem
pendukung yang mudah ditiru dan dijalankan oleh setiap orang yang bergabung,
memungkinkan bisnis ini akan terus berkembang.
e.
Keunggulan
dari sisi kelompok
MLM adalah
bisnis yang mengorganisasikan banyak orang, menggabungkan masing-masing
kekuatannya, dan saling mendukung satu dengan yang lainnya.[7]
f.
Keunggulan
dari sisi bisnis
MLM seperti
membeli waralaba pribadi. Oleh karena itu, ketika sebuah jaringan sudah
terbentuk, maka seseorang tinggal menunggu untuk mendapatkan hasil dari
usahanya.
g.
Tempat
belajar yang baik
MLM merupakan
tempat yang baik untuk belajar keterampilan bisnis dalam kehidupan nyata.[8]
3.
Kekurangan
MLM
a.
Masalah
kejenuhan pasar
Kejenuhan pasar
(market saturation) berkaitan dengan kondisi pasar dalam menanggapi
suatu produk. Pada bisnis MLM dengan tidak adanya batasan jumlah distributor
pada suatu daerah, sangat memungkinkan suatu daerah akan kelebihan distributor
maka akan timbul persaingan yang kurang sehat.[9]
b.
Masalah
keorganisasian
Semua struktur
organisasi baik yang konvensional maupun MLM, mengadopsi variasi-variasi sari
sistem piramida. Struktur organisasi dengan jenjang yang tidak dibatasi
memungkinkan terjadinya penumpukan pada level-level akhir.
c.
Masalah
materialisme
Beberapa usaha
MLM cenderung melakukannya dengan menjanjikan pemberian bonus yang luas biasa.
Inilah yang memandang MLM sedang mengkampanyekan materialisme.
d.
Masalah
hubungan
Seorang distributor
MLM akan selalu memandang hubungan sosial dengan orang lain sebagai prospek
untuk membangun bisnis.[10]
4.
Mekanisme
Transaksi MLM
Pada
umumnya sistem bisnis MLM dilakukan dengan cara merekrut member (anggota)
sekaligus sebagai konsumen dari perusahaan. Adapun secara terperinci bisnis MLM
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a.
Untuk
memasarkan produk tertentu, pertama-tama perusahaan MLM berusaha menawarkan
kepada konsumen untuk membeli satu paket produk dan biasanya sekaligus menawari
menjadi anggota (member), dengan cara mengharuskan membayar sejumlah uang
dengan harga tertentu.[11]
b.
Dengan
membeli paket produk dari perusahaan MLM, pihak pembeli diberi satu formulir
keanggotaan (member), sehingga dapat menjadi makelar (referee) untuk
turut memasarkan produk kepada pihak lain.
c.
Apabila
dari hasil pemasaran mendapatkan member baru (downline), berarti makelar
tersebut menempati posisi sebagai atasan (upline).
d.
Jika
member sebelumnya (upline) mampu menjaring member yang baru (downline)
hingga jumlah tertentu, maka referee akan mendapatkan bonus dari
perusahaan. Perhitungan pemberian bonus itu berasal dari hasil penjualan secara
langsung maupun dari hasil kenerja downline (bonus jaringan).
Dalam transaksi MLM, selalu mengenal
istilah up line dan down line. Pihak up line merupakan
kelompok tingkat atas yang mempunyai kewajiban mencari anggota di bawahnya
untuk menjadi anggota baru dalam proses pemasaran. Sedangkan down line
merupakan bawahan yang yang bertugas mencari orang lain untuk menjadi anggota
baru dalam proses marketing. Seorang yang sudah pada posisi up line
mempunyai hak untuk menerima bonus dari bentuk fee dari apa yang sudah
mereka kerjakan. Bagi up line, cukup berdiam, diri tanpa bekerja akan
tetap memperoleh passive income berupa bonus yang dihasilkan dari
kinerja pihak down line.[12]
C.
Problematika MLM Perspektif Hukum Islam
Untuk
menentukan keabsahan bisnis MLM dari sudut pandang syariah, tidak cukup hanya
dilihat pada sisi objeknya saja, melainkan harus ditinjau kembali secara
keseluruhan dari aspek mekanisme transaksinya. Dalam dinamika pemikiran hukum
bisnis berdasarkan prinsip syariah, apabila yang menjadi penilaian sebatas pada
sisi objeknya, maka ada di antara kalangan yang berpendapat bisnis MLM halal
hukumnya. Namun apabila ditinjau dari aspek keseluruhan, ternyata beberapa
kalangan berpendapat bahwa bisnis MLM haram hukumnya.
Adapun
sebab persoalan dalam bisnis MLM ialah :[13]
1.
Dalam
bisnis MLM terdapat dua akad dalam satu transaksi (shafqatayn fi shafqah)
Pertama akad
jual beli (al-bai) dan kedua akad permakelaran (samsarah). Karena
itu apabila bisnis MLM masuk kategori ini, berarti bertentangan dengan sabda
nabi SAW :
لَا يَحِلُّ
سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْع
“Tidak
dahalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual beli, dan tidak dihalalkan
dua syarat dalam satu transaksi jual beli” (HR.
Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban).
لا تحل
صفقتان في صفقة
“Tidaklah dihalalkan dua
kesepakatan aqad dalam satu kesepakatan aqad” (HR. Thabrani).
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي
بَيْعَةٍ
“Nabi SAW telah
melarang dua pembelian dalam satu pembelian”. (HR. Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi)
2.
MLM
merupakan pemasaran satu paket produk dengan membentuk piramida. Dengan sistem
piramida, keberadaan upline lebih diuntungkan dari downline, baik
ditinjau dari segi peluang merekrut member baru maupun bonus yang didapatkan.
Karena pada level tertentu downline tidak mungkin bisa mencari anggota
baru lagi, sehingga semua bonus dan point yang dijanjikan adalah impian belaka.[14]
3.
Perhitungan
bonus bagi upline seharusnya hanya didasarkan pada hasil penjualan
secara langsung, bukan dari hasil kinerja bawahan (downline) secara
berjenjang. Karena apabila bonus diperoleh dari sistem jaringan, tanpa kerja
pun pihak upline akan mendapat passive income dari kerja downline.
Sehingga pada level tertentu, piihak downline pasti akan dirugikan..[15]
4.
Makelar
di atas makelar dengan mengambil prosentase yang bukan haknya.
Aqad samsarah
(makelaran) adalah aqad yang melibatkan seorang makelar dengan pemilik barang (shahib
al-mâl) atau pembeli barang. Pada kasus MLM, seorang upline yang menempati
posisi sebagai makelar, akan mendapatkan komisi atas pembelian yang dilakukan
oleh bawahannya atau downline-nya, yang juga makelar. Ini menunjukkan bahwa
upline tersebut mendapatkan komisi (prosentase) dari pembeli tidak lain
downline yang sekaligus merupakan makelar juga. Praktek semacam ini tentunya
adalah praktek yang bertentangan dengan syariat Islam.
Karena
itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan.
Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah. Atau orang yang
mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda, kepentingan penjual dan
pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka
statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai
penengah, atau makelar.
5.
Di
dalam MLM terdapat unsur perjudian, karena seseorang ketika membeli salah satu
produk yang ditawarkan, sebenarnya niatnya
bukan karena ingin memanfaatkan atau memakai produk tersebut, tetapi dia
membelinya sekedar sebagai sarana untuk mendapatkan point yang nilainya jauh
lebih besar dari harga barang tersebut. Sedangkan nilai yang diharapkan
tersebut belum tentu ia dapatkan.
6.
Di
dalam MLM terdapat hal yang bertentangan dengan kaidah umum jual beli, seperti
kaidah : Al Ghunmu bi al Ghurmi, bahwa keuntungan itu sesuai dengan
tenaga yang dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada
pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level
paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut
anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang yang
berada pada level atas.
D.
Pandangan Para Ulama Mengenai Hukum MLM
1.
Fatwa
Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia) tentang MLM
yang Terlarang
Dalam
fatwa Al Lajnah Ad Daimah No. 22935 tertanggal 14/3/1425 H menerangkan
mengenai MLM yang terlarang terhimpun berbagai permasalahan berikut:
a.
Di
dalamnya terdapat bentuk riba fadhl dan riba nasi-ah. Anggota
diperintahkan membayar sejumlah uang yang jumlahnya sedikit lantas mengharapkan
timbal balik lebih besar, ini berarti menukar sejumlah uang dengan uang yang
berlebih. Ini jelas adalah bentuk riba yang diharamkan berdasarkan nash dan
ijma’. Karena sebenarnya yang terjadi adalah tukar menukar uang. Dan bukan
maksud sebenarnya adalah untuk menjadi anggota (seperti dalam syarikat) sehingga
tidak berpengaruh dalam hukum.
b.
Di
dalamnya terdapat bentuk ghoror yang diharamkan syari’at. Karena anggota
tidak mengetahui apakah ia bisa menarik anggota yang lain ataukah tidak.
Pemasaran berjenjang atau sistem piramida jika berlangsung, suatu saat akan
mencapai titik akhir. Anggota baru tidaklah mengetahui apakah ketika menjadi
bagian dari sistem, ia berada di level tertinggi sehingga bisa mendapat untung
besar atau ia berada di level terendah sehingga bisa rugi besar.
c.
Di
dalam MLM terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Karena yang sebenarnya untung adalah perusahaan (syarikat) dan anggota telah
ditentukan untuk mengelabui yang lain. Di dalam muamalah ini terdapat penipuan
dan pengelabuan terhadap manusia. Karena orang-orang mengira bahwa dengan
menjadi anggota nantinya mereka akan mendapatkan untung yang besar.
d.
Beda
Makelar dan MLM. Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsaroh
(makelar), maka itu tidak benar. Karena samsaroh adalah transaksi di mana pihak
pertama mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan
pembelinya). Adapun MLM, anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk
memasarkan produk tersebut. Hakekat sebenarnya dari samsaroh adalah memasarkan
produk. Berbeda dengan maksud MLM yang ingin mencari komisi. Karena itu, orang
yang bergabung dalam MLM memasarkan kepada orang yang akan memasarkan dan
seterusnya.
e.
Beda
Hibah dan Komisi MLM. Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam
kategori hibah (hadiah), maka ini tidak benar. Komisi MLM sebenarnya hanyalah
diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran MLM. Apapun namanya, baik itu
hadiah, hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah
hakikat dan hukumnya.[16]
2.
Fatwa
DSN No : 75/DSN MUI/VII 2009 tentang
PLBS
DSN
MUI telah menerbitkan fatwa DSN No : 75/DSN MUI/VII 2009 tentang PLBS (Penjualan langsung Berjenjang
Syariah). Dalam fatwa tersebut Sebuah perusahaan atau industry MLM dianggap halal
dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah apabila memenuhi 12 point
persyaratan. Yaitu :
a.
Adanya
obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa.
b.
Barang
atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau
yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
c.
Transaksi
dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba, dharar,
dzulm, maksiat.
d.
Tidak
ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga
merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh.
e.
Komisi
yang diberikan perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus
berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume/ nilai
hasil penjualan barang/ produk jasa, dan
harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS.[17]
f.
Bonus
yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas
jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan
barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan.
g.
Tidak
boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa
melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
h.
Pemberian
komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak
menimbulkan ighra’.[18]
i.
Tidak
ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama
dengan anggota berikutnya.
j.
Sistem
perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan
tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak
mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lainlain.
k.
Setiap
mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan
pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut.
l.
Tidak
melakukan kegiatan money game.[19]
E.
Analisis Perspektif Teori Hukum Islam
Upah,
hadiah ataupun bonus dalam bisnis MLM ini menurut hukum islam sesuai dengan
akad ijarah yaitu upah atas pemanfaatan suatu barang atau imbalan suatu
kegiatan, atau upah karena melakukan suatu aktifitas. Tapi dalam MLM dapat
dibedakan yaitu komisi sesuai dengan akad Ijarah, sedangkan bonus sesuai
dengan akad Ju’alah.[20] Secara
secara istilah ju’alah adalah suatu tanggungjawab dalam bentuk janji
memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap seseorang yang
berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Misalkan
dalam satu bulan seseorang akan mendapatkan bonus Rp. 200.000 jika mampu
mencapai target yang menjual sebanyak 10 Produk. Setiap menjual satu produk
akan mendapat komisis Rp. 100.000. jadi, jika seorang distributor dalam satu
bulan hanya bisa menjual 5 Produk maka hanya mendapat komisi sebesar Rp.
500.000. jika menjual 9 produk maka hanya mendapatkan komisi sebesar Rp.
900.000. tetapi jika dapat mencapai target yaitu menjual 10 Produk maka orang
tersebut akan mendapatkan komisis sebesar Rp. 1.000.000 ditambah dengan bonus
Rp. 200.000, sehingga mendapatkan Rp. 1.200.000.
Dari
contoh diatas bahwa komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada distributor
dapat dikategorikan ke dalam akad ijarah karena distributor telah
memasarkan produknya, sedangkan bonus Rp. 200.000 yang diberikan perusahaan
dapat dikategorikan ke dalam akad Ju’alah karena distributor telah
berhasil mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan.[21]
Dalam
literatur hukum islam, sistem MLM ini dapat dikategorikan pembahasan fiqh muamalah
dalam kitab Buyu’ mengenai perdagangan atau jual beli yang hukum asalnya
dari aspek hukum jual-belinya secara prinsip boleh berdasarkan kaidah Fiqih
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
أنّ
الأصلَ في العِباَداتِ البُطْلاَنُ إلاَّ ما شَرَعَهُ اللّهُ ورسولُه، وعَكْسُ
هذا، العُقُوْدُ والْمَطَاعِمُ، الأَصْلُ فيها الصِّحّةُ والحِلُّ إلاّ ما
أَبْطَلَهُ اللّهُ ورسولُهُ
“Pada dasarnya
semua ibadah hukumnya bathil (haram), kecuali apa yang disyari’atkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Dan sebaliknya, dalam semua transaksi (‘aqad, muamalah) dan
makanan pada dasarnya sah dan halal, kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya”.
Berdasarkan
kaedah fiqih di atas, jelas bahwa dalam wilayah muamalah, Islam memberikan
jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui
sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan atau bisnis lainnya.
Selama muamalah itu tidak melanggar prinsip-prinsip syari’ah, maka hukumnya
diperbolehkan. Oleh karena itu, dasar hukum yang dapat dijadikan panduan umat
islam terhadap Bisnis MLM ini antara lain adalah konsep jual beli, tolong
menolong, dan kerja sama (taawun).
Dalam Al-Qur’an
dasar hukum jual beli diantaranya terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 :
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah
Menghalalkan jual beli dan Mengharamkan riba.”
Sedangkan
dasar hukum ta’awun diantaranya QS Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.”[22]
Ada
dua aspek untuk menilai apakah bisnis MLM itu sesuai dengan prinsip syariah
atau tidak, yaitu :
1.
Aspek
produk atau jasa yang dijual
2.
Sistem
dari MLM itu sendiri.
Dari
aspek produk yang dijual, dalam hal ini objek dari MLM harus merupakan produk
yang halal dan jelas. Bukan produk yang dilarang oleh agama. Syarat objek dalam
MLM adalah pada prinsipnya selain objeknya harus barang halal, produk itu juga
harus bermanfaat, dapat diserahterimakan, dan mempunyai harga yang jelas. Oleh
karena itu, meskipun MLM tersebut dikelola atau memiliki jaringan distribusi
yang dijalankan oleh muslim, namun apabila objeknya tidak jelas bentuk, harga
atau manfaatnya, maka tidak sah.[23]
Dalam
menjalankan usahanya MLM syariah harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1.
Sistem
distribusi pendapatkan, haruslah dilakukan secara profesional dan seimbang.
Dengan kata lain tidak terjadi eksploitasi antar sesama.
2.
Apresiasi
distributor, haruslah apresiasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
misalnya tidak melakukan pemaksaan, tidak berdusta, jujur, dan tidak merugikan
pihak lain, serta berakhlak mulia.
3.
Penetapan
harga, kalaupun keuntungan (komisi dan bonus) yang akan diberikan kepada para
anggota berasal dari keuntungan penjualan barang, bukan berarti harga barang
yang dipasarkan harus tinggi. Hendaknya semakin besar jumlah anggota dan
distributor, maka tingkat harga semakin menurun, yang pada akhirnya kaum
muslimin dapat merasakan sistem pemasaran tersebut.
4.
Jenis
produk, yang ditawarkan haruslah produk yang benar-benar terjamin kehalalan dan
kesuciannya sehingga kaum muslimin merasa aman untuk menggunakan/mengkonsumsi
produk yang dipasarkan.[24]
Jadi,
pada dasarnya hukum dari MLM adalah mubah (boleh), asalkan tidak mengandung
unsur-unsur :
1.
Riba
2.
Gharar atau ketidak jelasan
3.
Dharar
atau merugikan/menzalimi pihak lain
F.
Kesimpulan
Multi Level Marketing tidak
bertentangan dengan hukum perikatan islam sepanjang memenuhi rukun dan
syarat-syarat perikatan menurut hukum Islam serta tidak mengandung unsur-unsur riba,
gharar, dharar dan jahalah. Selain itu, menyangkut keuntungaan yang
diperoleh masing-masing pihak mitra kerja dalam sistem MLM yang berjenjang ini
dapat disepadankan dengan ungkapan dalam QS. Al-baqarah ayat 261 :
مَّثَلُ
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
”Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah
seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada
seratus biji. Allah Melipatgandakan bagi siapa yang Dia Kehendaki, dan Allah
Maha Luas, Maha Mengetahui”.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muhammad. 2016. Strategi Pemasaran MLM (Multi Level
Marketing) Perspektif Ekonomi Islam: Studi Kasuus Pada PT. Natural Nusantara
cabang Purwokerto, Purwokerto : IAIN Purwokerto.
Dewan Syariah Nasional MUI. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, Jakarta
: Erlangga.
Dewi, Gemala SH., LL.M. 2005. Hukum Perikatan Islam Di
Indonesia, Jakarta : Prenada Media.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia)
tentang MLM yang Terlarang. Sumber : https://rumaysho.com/2490-meninjau-hukum-mlm.html
Kuswara. 2005. Mengenal MLM Syariah Dari Halal-Haram, Kiat
Berwirausaha, Sampai dengan Pengelolaannya, Tangerang : Qultum Media.
S, Burhanudin. 2009. Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta :
BPFE-Yogyakarta.
Santoso, Benny, S.T., M.Com. 2003. All About MLM Memahami Lebih Jauh MLM dan Pernak-Perniknya, Yogyakarta : Andi
[1] Gemala Dewi,
SH., LL.M., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Prenada
Media, 2005), Hlm. 187.
[2] Ibid,
Hlm. 188.
[3] Kuswara, Mengenal
MLM Syariah Dari Halal-Haram, Kiat Berwirausaha, Sampai dengan Pengelolaannya,
(Tangerang : Qultum Media, 2005), Hlm. 17.
[4] Benny Santoso,
S.T., M.Com., All About MLM Memahami Lebih Jauh MLM dan Pernak-Perniknya, (Yogyakarta
: Andi, 2003), Hlm. 26.
[5] Kuswara, Mengenal
MLM Syariah Dari Halal-Haram, Kiat Berwirausaha, Sampai dengan Pengelolaannya,
(Tangerang : Qultum Media, 2005), Hlm. 36.
[6] Benny Santoso,
S.T., M.Com., All About MLM Memahami Lebih Jauh MLM dan Pernak-Perniknya, (Yogyakarta
: Andi, 2003), Hlm. 47.
[7] Kuswara, Mengenal
MLM Syariah Dari Halal-Haram, Kiat Berwirausaha, Sampai dengan Pengelolaannya,
(Tangerang : Qultum Media, 2005), Hlm. 37.
[8] Benny Santoso,
S.T., M.Com., All About MLM Memahami Lebih Jauh MLM dan Pernak-Perniknya, (Yogyakarta
: Andi, 2003), Hlm. 51.
[9] Kuswara, Mengenal
MLM Syariah Dari Halal-Haram, Kiat Berwirausaha, Sampai dengan Pengelolaannya,
(Tangerang : Qultum Media, 2005), Hlm. 38.
[10] Ibid,
Hlm. 39.
[11] Burhanudin S, Hukum
Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009), Hlm. 269.
[12] Ibid,
Hlm. 270.
[13] Ibid,
Hlm. 272.
[15] Ibid,
Hlm. 273.
[16] Fatwa Al
Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia) tentang MLM yang
Terlarang. Sumber : https://rumaysho.com/2490-meninjau-hukum-mlm.html
[17] Dewan Syariah
Nasional MUI , Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta : Erlangga,
2014), Hlm. 813.
[18] Ighra’ adalah
memberikan iming-iming atau janji-janji manis yang berlebih-lebihan.
[19] Dewan Syariah
Nasional MUI , Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta : Erlangga,
2014), Hlm. 814.
[20] Muhammad Amin,
Strategi Pemasaran MLM (Multi Level Marketing) Perspektif Ekonomi Islam:
Studi Kasuus Pada PT. Natural Nusantara cabang Purwokerto, (Purwokerto :
IAIN Purwokerto, 2016), Hlm. 76.
[21] Ibid,
Hlm. 77.
[22] Gemala Dewi,
SH., LL.M., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Prenada
Media, 2005), Hlm. 189.
[23] Ibid,
Hlm. 190.
[24] Ibid,
Hlm. 191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar