Rabu, 24 Mei 2017

Model Kerjasama dalam Islam

PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Disadari atau tidak sesungguhnya Allah memahami bahwa kehidupan duniawi manusia senantiasa berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Adanya kehidupan yang bervariasi ini sesungguhnya mengajarkan umat Islam untuk saling memahami, tolong menolong dan hormat menghormati karena secara naluriah manusia berwatak saling membutuhkan. Sehingga segala aturan Allah mengarah pada terapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.
Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan akhirat. Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya melakukan kerjasama yang terorganisasi dengan baik. Dalam konteks itu, maka prinsip Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah menjadi salah satu pilihan yang baik bagi basyarakat ketika akan melakukan kerjasama dalam bidang muamalah.

B.       Metodologi
Bagaimana Konsep dan Aplikasi Penerapan Model Kerjasama dalam Islam dengan Prinsip Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah?
C.      Tujuan
Untuk Mengetahui Konsep dan Aplikasi Penerapan Model Kerjasama dalam Islam dengan Prinsip Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah.




PEMBAHASAN


A.      Mudharabah
1.        Pengertian Mudharabah
Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.[1]
Definisi secara terminologi bagi mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh beberapa ulama madzhab, diantaranya :
a.         Menurut Madzhab Hanafi, yaitu suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
b.        Madzhab Maliki memaknainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungan.[2]
c.         Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.
d.        Menurut Madzhab Hanbali adalah penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[3]

Definisi yang dapat mewakili pengertian mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al-mal) kepada pengelola (mudharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil maka kerugian sepenuhnya ditanggung pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.[4]
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, Ketika Nabi Muhammad berprofesi sebagai pedagang beliau melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-mal) sedangkan Nabi Muhammad sebagai pelaksana Usaha (mudharib).[5]
2.        Rukun dan Syarat Mudharabah
Sebagaimana akad yang lain dalam Islam, akad mudharabah  menjadi sah, maka harus memenuhi rukun dan syarat mudharabah. Menurut madzhab hanafi, apabila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga akad tersebut menjadi fasid (rusak).[6] Adapun  rukun perjanjian  mudharabah adalah :
a.         Ijab dan Qabul
Ijab dan qabul antara kedua pihak memiliki syarat : (a) Ijab dan qabul harus jelas menunjukan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah, (b) Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak sampai dan diketahui oleh pihak kedua, (c) Ijab dan qabul harus sesuai maksud pihak pertama cocok dengan keinginan pihak kedua.[7]
b.        Adanya Dua Pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha).
Para pihak (shahib al-mal dan mudharib) disyaratkan : (a) cakap bertindak hukum secara syar’i. (b) memiliki wilayah al-tawkil wa al-wikalah (memiliki kewenangan mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberi kuasa), karena penyerahan modal kepada mudharib merupakan suatu pemberian kuasa.
c.         Adanya Modal. Adapun modal yang disyaratkan : (a) modal harus jelas jumlah dan jenisnya, diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba. (b) harus berupa uang (bukan barang), mudharabah dengan barang dapat menimbulkan kesamaran. (c) uang bersifat tunai bukan utang.[8] (d) Modal diserahkan kepada sepenuhnya kepada pengelola secara langsung.
d.        Adanya Usaha (al-‘aml). Mengenai jenis usaha ulama Syafi’i dan Maliki mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang mereka menolak usaha yang berjenis industri dengan anggapan bahwa kegiatan industri termasuk dalam kontrak persewaan (ijarah) yang mana kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal, sementara pegawainya digaji secara tetap. Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri.[9]
e.         Adanya Keuntungan. Disyaratkan (a) keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungan setelah dipotong besarnya modal. (b) keuntungan tidak ditentukan dalam jumlah nominal misal 1 juta, karena berarti shahib al-mal telah mematok untung dari usaha yang belum jelas untung atau rugi. (c) Nisbah pembagian ditentukan berdasarkan prosentase misal 60% : 40%.[10] (d) keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh dijanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak.[11]
3.        Bentuk-Bentuk Mudharabah
a.         Mudharabah muthlaqah
Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja (mudharib) bebas untuk mengelola modal yang diberikan oleh pemilik modal (shahib al-mal) dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendapatkan keuntungan dan di daerah mana saja yang diinginkan.
b.        Mudharabah muqayyadah
Disebut dengan istilah restricted, yaitu kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Pemilik modal memberi batasan kepada pekerja untuk mengikuti syarat-syarat yang dikemukakan oleh pemilik modal, seperti harus membeli barang kepada orang tertentu.[12]
4.        Kesepakatan dan Implikasi Kontrak Mudharabah
Sebagai sebuah kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan, maka diperlukan beberapa kesepakatan, diantaranya :
a.         Manajemen. Pengelolaan usaha dalam kerjasama mudharabah membutuhkan kreatifitas dan keterampilan tertentu. Dalam kaitannya dengan manajemen, kebebasan mudharib dalam merencanakan, merancang, mengatur dan mengelola usaha merupakan faktor yang menentukan.[13]
b.        Tenggang Waktu (Duration). Satu hal yang harus mendapat kesepakatan adalah lamanya waktu usaha, karena tidak semua modal itu dana mati yang tidak dibutuhkan oleh pemiliknya. Penentuan waktu adalah sebuah cara untuk memacu mudharib bertindak lebih efektif dan terencana.[14]
c.         Jaminan (dliman).
Para ulama bereda pendapat mengenai keharusan adanya tanggungan dalam mudharabah. Para fuqaha pada dasarnya tidak setuju adanya tanggungan. Alasannya mudharabah merupakan kerjasama saling menanggung, satu pihak menanggung modal dan yang satu menanggung kerja. Namun jaminan menjadi menjadi perlu ketika modal yang rusak melampaui batas. Menurut Imam Malik dan Syafi’i, jika shahib al-mal bersikeras terhadap adanya jaminan dari mudharib dan menetapkannya sebagai bagian dari kontrak, maka kontrak menjadi tidak sah.  

Ketika sebuah kontrak telah disepakati, maka kontrak tersebut menjadi sebuh hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Kesepakatan kontrak mudharabah yang menjadi hukum tersebut membawa beberapa implikasi, diantaranya:
a.         Mudharib sebagai Amin (orang yang dipercaya)
Seorang mudharib menjadi amin untuk modal yang telah diserahkan kepadanya. Modal yang diserahkan adalah amanah yang harus dijaga oleh mudharib.[15] Dengan diposisikannya mudharib sebagai amin dapat memunculkan kesadaran dan sikap kehati-hatian pengelola dalam megolah usahanya utamanya memisahkan antara modal pribadi dan orang lain dalam penghitungan keuntungannya.
b.        Mudharib sebagai wakil
Mudharib adalah wakil dari sahib al-mal menjelaskan bahwa mudharib merupakan tangan kanan dari shahib al-mal, tentu dia tidak menanggung papun dari modal ketika terjadi kerugian. Namun menurut mayoritas fuqaha seorang wakil tetap akan mendapat upah dari kerjanya.
c.         Mudharib sebagai mitra dalam laba
Mudharib akan mendapatkan bagian laba dari usaha yang telah dia lakukan, sebab mudharabah sendiri adalah pertemanan dalam laba. Dengaan menjadikannya mudharib sebagai mitra dalam laba maka besar atau kecilnya laba akan sangat tergantung pada ketrampilan mudharib dalam menjalankan usahanya.[16]
5.        Berakhirnya Akad Mudharabah
Akad mudharabah dinyatakan batal dalam hal-hal sebagai berikut :
a.         Modal usaha habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh pengelola.
b.        Salah satu dari orang yang berakad meninggal dunia.[17] Jika pemilik modal wafat, menurut Jumhur Ulama, akad tersebut batal, karena akad mudharabah sama dengan wakalah (perwakilan) yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan, dan akad mudharabah tidak bisa diwariskan.  Ulama Madzab Maliki berpendapat jika salah seorang yang berakad meningal dunia, akadnya tidak batal, dan akad mudharabah bisa diwariskan
c.         Salah seorang yang berakad menjadi gila.

B.       Musyarakah
1.        Pengertian Musyarakah
Menurut bahasa musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[18] Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau keterampilan usaha) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.[19]
2.        Jenis-Jenis Musyarakah
a.         Musyarakah Pemilikan
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan dari aset tersebut.[20]
Musyarakah pemilikan kadang bersifat ikhtiaryyah (sukarela) atau jabariyyah (tidak sukarela), apabila harta bersama (warisan/hibah/wasiat) dapat dibagi, namun para mitra memutuskan untuk tetap memilikinya bersama, maka musyarakah pemilikan tersebut bersifat ikhtiari. Akan tetapi apabila barang tersebut tidak dapat dibagi-bagi dan mereka terpaksa untuk memilikinya bersama maka musyarakah pemilikan tersebut bersifat jabari.[21]
b.        Musyarakah Akad (Kontrak)
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di antara dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi lima macam, yaitu :
1)        Syirkah al-’inan
Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih di mana setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama sebagaimana kesepakatan. Akan tetapi porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan harus identik dengan kesepakatan mereka.
2)        Syirkah al-mufawadhah
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama sebagaimana kesepakatan. Dengan dengan demikian syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana, tanggung jawab, laba dan kerugian.
3)        Syirkah al-a’mal
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang profesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan membagi keuntungan dalam pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua arsitek untuk mengarap sebuah proyek. Jenis musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau shana’i.
4)        Syirkah al-wujuh
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestis yang baik serta ahli dalam berbisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka membagi keuntungan dan kerugian secara sama berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.
5)        Syirkah al-mudharabah
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih di mana terdapat pihak yang menyediakan modal dan ada pula pihak yang menyediakan keterampilan kerja.[22]
3.        Pembubaran Syirkah
Syirkah menjadi batal karena meninggalnya salah seorang persero (syarik), atau karena salah seorang diantara mereka gila, atau dikendalikan pihak lain karena al-mahjur atau karena salah seorang di antara mereka membubarkannya.
Apabila syirkah tersebut terdiri atas dua orang, sementara syirkah adalah bentuk akad yang mubah, maka dengan adanya hal-hal semacam ini, akad tersebut batal dengan sendirinya sebagaimana akad wakalah. Bila salah seorang syarik meninggal dan mempunyai ahli waris yang telah dewasa, ahli warisnya bisa meneruskan syirkah tersebut. Dia juga bisa diberi izin untuk ikut dalam mengelola, di samping dia berhak menuntut bagian keuntungan. Jika salah seorang syarik menuntut pembubaran, syarik yang lain harus memenuhi tuntutan tersebut.
Apabila syirkah itu terdiri atas beberapa syarik, lalu salah seorang di antara mereka menuntut pembubaran, sedangkan yang lain tetap bersedia melanjutkan syirkah-nya itu, syarik yang lain statusnya tetap sebagai syarik, di mana syirkah yang telah dijalankan sebelumnya telah rusak, kemudian diperbarui di antara syarik yang masih bertahan untuk mengadakan syirkah tersebut.
Perlu dibedakan antara pembubaran dalam syirkah mudharabah dan syirkah yang lain. Dalam syirkah mudharabah, apabila pengelola menuntut dilakukan penjualan sedangkan syarik yang lain menuntut bagian keuntungan, tuntutan pengelola tersebut harus dipenuhi sebab keuntungan tersebut adalah haknya, karena keuntungan tidak terwujud selain dalam penjualan. Adapun dalam syirkah yang lain, apabila salah seorang di antara mereka menuntut bagian keuntungan, sedangkan yang lain menuntut dilakukan penjualan, tuntutan bagian keuntungan tersebut harus dipenuhi, sedangkan tuntutan penjualan tidak demikian.[23]
4.        Contoh aplikasi syirkah
a.         Aplikasi syirkah dalam bisnis
Siddiqi (1996) menuliskan bahwa Islam telah membolehkan semua bentuk bisnis untuk dilaksanakan oleh satu orang individu, bisnis tersebut juga boleh jika dilakukan secara bersama-sama atau dengan mengambil bagian di dalamnya.  Aplikasi bisnis seperti ini diantaranya adalah Syirkah Mudharabah untuk industri, perdagangan dan perniagaan, muzara’ah (pembagian hasil panen), serta musaqat (pertanian) dalam bisnis pertanian. Begitu pula Syirkah abdan atau sana’i dalam kerajinan pada umumnya atau industri.[24]
b.        Aplikasi dalam perbankan
1)        Pembiayaan Proyek. Musyarakah dalam hal ini biasanya diterapkan untuk pembiayaan proyek nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.[25]
2)        Modal Venture. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal venture. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan investasi atau menjual bagian sahamnya baik secara singkat maupun bertahap.[26]

C.      Murabahah
1.        Pengertian Murabahah
Pengertian murabahah secara lafdzi berasal dari masdar ribhun (keuntungan). Murabahah adalah masdar dari Rabahu – Yurabihu – Murabahatan (memberi keuntungan). Sedangkan secara istilah, Wahbah al Zuhailiy mengutip beberapa definisi yang diberikan oleh para imam mujtahid. Diantaranya adalah :
a.         Ulama’ Hanafiyah mengatakan, murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah dengan keuntungan yang diinginkan.
b.        Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat Murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Sehingga dapat dipahami bahwa murabahah merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu, yaitu keharusan adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh penjual harus atas kesepakatan kedua belah pihak.[27]  
2.        Dasar Hukum
Sebagaimana diketahui murabahah adalah salah satu jenis dari jual beli, khususnya jual beli amanah. Maka landasan syar’i akad murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Diantaranya :
a.         Al Qur’an
-            Q.S Al Baqoroh ayar 275
“....Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”

-            Q.S An-Nisa Ayat 29

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.......”
b.        Hadis
-            Ketika Rasulullah akan hijrah, Abu Bakar, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
-            Sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan Bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok. [28]
c.         Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهاَ

“ Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”[29]
3.        Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun murabahah ada 5 yaitu penjual (Ba’i), Pembeli (Musytari), Objek jual Beli (Mabi’), Harga (Tsaman), Ijab Qabul.[30] Syafi’i Antonio menetapkan persyaratan murabahah sebagai berikut :
a.         Penjual memberi tahu biaya modal atau harga pembelian awal kepada calon pembeli beserta besarnya keuntungan.
b.        Kontrak pertama harus syah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.         Kontrak harus bebas dari riba.
d.        Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.         Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.[31]
4.        Jenis Murabahah
a.         Murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya. Penyedian barang ini tidak terpengaruh atau terikat langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
b.        Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang, sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat mengikat , maksudnya apabila telah pesan harus beli. Dan murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah telah memesan baran, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.[32]
5.        Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah
a.         Pembiayaan Murabahah
Akad murabahah digunakan oleh bank untuk memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan :
1)        Barang konsumsi seperti rumah, kendaraan/alat transportasi, alat-alat rumah tangga dan sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun).
2)        Pengadaan barang dagang, bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak termasuk proses produksi).
3)        Barang modal seperti pabrik, mesin, dan sejenisnya.
4)        Barang lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah.[33]
b.        Uang Muka dan Potongan dalam Murabahah
1)        Apabila nasabah memberikan uang muka (Urbun), maka uang muka tersebut diperlukan sebagai pengurang hutang nasabah.
2)        Bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan (tidak diperkenankan sebagai pembayar angsuran). Tetapi apabila murabahah batal, uang muka dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan,
3)        Apabila setelah akad transaksi murabahah, pemasok memberikan potongan harga atas barang yang dibeli oleh bank dan telah dijual kepada nasabah, maka potongan harga menjadi hak nasabah.
4)        Bank dapat memberi potongan harga (Muqossah), apabila nasabah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.[34]
c.         Contoh Kasus Penerapan Akad Murabahah Pada Bank Syariah
Bapak Kholid akan mengajukan pembiayaan untuk membeli mobil seharga Rp. 150.000.000;. disepakati Bapak Kholid akan membeli mobil tersebut ke diller mobil (Supplier) yang telah menjadi mitra bank syariah, yang kemudian akan dikirim kepada Bapak Kholid dengan nama kepemilikan barang langsung Bapak Kholid.
 Bapak Kholid membayar mobil secara tangguh kepada bank selama 15 bulan, dengan cicilan pokok sebesar Rp. 10.000.000; per bulan. Dikarenakan membayar secara tangguh, maka terdapat kewajiban lain yang harus dibayarkan yaitu membayar keuntungan tambahan kepada bank. Keuntungan tambahan ini seringkali disebut profit margin atau mark-up price. Disepakati selama 15 bulan, Bapak Kholid harus membayar keuntungan sebesar Rp. 21.000.000.
Sehingga dalam 15 bulan Bapak Kholid akan membayar total sebesar Rp.171.000.000. Perubahan harga mobil yang semula Rp.150.000.000 menjadi Rp. 171.000.000 disebut mark-up price. Atau harga yang dinaikan atas dasar pertimbangan banyak aspek yang ditawarkan oleh pihak bank  kepada nasabah pada saat negosiasi.[35]

KESIMPULAN


Berdasarkan uraian diatas mengenai model kerjasama dalam Islam yang didalamnya terdapat beberapa bentuk kerjasama diantaranya adalah Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah.  Mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al-mal) kepada pengelola (mudharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil maka kerugian sepenuhnya ditanggung pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana atau keterampilan usaha dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Sedangkan Murabahah merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu, yaitu keharusan adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh penjual harus atas kesepakatan kedua belah pihak.











DAFTAR PUSTAKA


Afandi, M. Yazid, M.Ag. 2009. Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Pustaka.

Dahlan, Ahmad. 2012. Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, Yogyakarta : Teras.

Muhammad. 2004.  Etika Bisnis Islami, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Muhammad. 2009. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah : Panduan Teknis Pembuatan Akad / Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press.

Naf’an. 2014. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014.

Rosyidin, Ahmad Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah, Yogyakarta : Global Pustaka Utama.

Wiroso. 2005. Jual beli Murabahah, Yogyakarta : UII Press.

Yusanto, M. Ismail dan M. Karebet Widjajakusuma. 2002.  Menggagas Bisnis Islami, Jakarta : Gema Insani Press.



[1] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 80.
[2] Ibid., hlm. 82.
[3] Ibid., hlm. 83.
[4] Ibid., hlm. 84.
[5] Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014), hlm. 114.
[6] Ibid., hlm. 117.
[7] Muhammad, Etika Bisnis Islami...hlm. 85.
[8] Ibid., hlm. 86.
[9] Ibid., hlm. 87.
[10] Ibid., hlm. 88.
[11] Ibid., hlm. 89.
[12] Ahmad Dahlan Rosyidin. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2004), hlm. 33-34.
[13] Muhammad, Etika Bisnis Islami...hlm. 89.
[14] Ibid., hlm. 90.
[15] Ibid., hlm. 91.
[16] Ibid., hlm. 92.
[17] Ahmad Dahlan Rosyidin. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah...hlm. 37.
[18] Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah...hlm. 96.
[19] Muhammad, Etika Bisnis Islami...hlm. 78.
[20] Ibid., hlm. 78.
[21] Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah...hlm. 100-101.
[22] Muhammad, Etika Bisnis Islami...hlm. 79.
[23] M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 131-132.
[24] Ibid., hlm. 132.
[25] Muhammad, Etika Bisnis Islami...hlm. 79.
[26] Ibid., hlm. 80.
[27] M. Yazid Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 85-86.
[28] Ibid., 87-90.
[29] Wiroso, Jual beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm.45-46.
[30] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah Panduan Teknis Pembuatan Akad / Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.58.
[31] M. Yazid Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah...hlm. 90-92.
[32] Wiroso, Jual beli Murabahah... hlm.37-38.
[33] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah...hlm. 67-68.
[34] Ibid. Hlm. 70.
[35] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, ( Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.193-194.