Senin, 18 September 2017

Perikatan (Akad / Kontrak) dalam Islam

PERIKATAN
(AKAD / KONTRAK)

A.      Pengertian Akad
Menurut bahasa ‘Aqd mempunyai beberapa arti antara lain :
1.         Mengikat
 الرَّبْطُ هُوَ جَمْعُ طَرْفَى حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِالآخَرِ حَتَّى يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
“Rabath (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung  lalu keduanya menjadi satu benda”.
2.        Sambungan
اَلْمَوْصِلُ الّذِىْ يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا
Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3.        Janji
بِلى مَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّه يُحِبُّ المُتَّقِيْنَ
“Siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang taqwa.”

Adapun pengertian akad menurut istilah yakni terdapat definisi banyak beragam diantaranya;
Yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutip oleh Nasrun Haroen. Definisi akad yakni : Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.
Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al Juhailli dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Rachmat Syafei. Yang terjemahannya adalah sebagai berikut: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Sedangkan, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy definisi akad ialah; “perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.”
Dapat disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak. Dasar hukum dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat 1 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ

Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Dalam ayat diatas juga ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup aqad secara vertikal, yaitu janji prasetia kita manusia sebagai hamba kepada Allah. Dan aqad secara horizontal, yaitu perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan antar sesamanya.
Karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah, oleh karena itu akad merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik.

  -حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.(أخرجه البخارى ومسلم)

Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu ‘anhuma. Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dua orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.” (HR Bukhori dan Muslim)
“Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR. Bukhari)
Hadist diatas menjelkaskan bahwa akad yang di adakan oleh para pihak harus di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya akad yang diadakan tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.

B.       Rukun Akad
 Secara bahasa rukun adalah”yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”. Secara definisi rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.[1] Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad adalah al-aqidain, mahallul ‘aqd dan sighat al-aqd, Musthafa az-Zarqa menambahkan maudhu’ul ‘aqd (tujuan akad).
1.        Aqidain
Adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum.[2]
a.         Manusia
Manusia (syakhshiah thabi’iyah) dikatakan sebagai subjek hukum karena memang fitrah perbuatan manusia terikat oleh hukum syara’.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."
Tafsir Quraish Shihab : Kemudian, setelah terjadi perselisihan di antara Ahl al-Kitâb itu, Kami menjadikanmu, Muhammad, sebagai seorang utusan yang berada di atas ajaran syariat agama yang jelas yang telah Kami syariatkan kepadamu dan kepada rasul-rasul sebelummu. Maka dari itu, ikutilah syariatmu yang benar dan diperkuat dengan hujah-hujah dan bukti-bukti itu. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui jalan yang benar. [3]
b.        Badan Hukum Syariah
Badan hukum dikatakan sebagai subjek hukum karena terdiri dari kumpulan orang-orang yang melakukan perbuatan hukum (tasharruf)).  Ketentuan menjadikan badan hukum sebagai subjek hukum, tidak boleh bertentangan dengan prinsip akad yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.[4]
2.        Mahal Al-‘Aqd
Mahal Al-‘Aqd (objek akad) adalah sesuatu yang oleh syara dijadikan objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Objek akad dapat terbagi menjadi dua, yaitu harta benda, dan manfaat perbuatan itu sendiri.[5] Menurut para fuqaha, agar sesuatu dapat dijadikan sebagai objek akad maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.         Sesuatu yang menjadi objek akad harus sesuai dengan prinsip syariah (masyru’). Karenanya apabila objek akad sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, keberadaan objek akad akan memberi kemaslahatan bagi manusia. Begitu pula sebalinya apabila bertentangan pasti akan menimbulkan kemudharatan.[6]
b.        Adanya kejelasan objek akad sehingga dapat diserah terimakan. Dasar hukum kejelasan objek akad :
لا َتَشْتَرُ وا السَّمَكَ فىِ الْمَاءِ فَاِنَّهُ غُرُوْرٌ (رواه أحمد)
“Janganlah kalian membeli ikan yang masih dalam air karena merupakan penipuan (gharar)” (HR. Ahmad).

Selain gharar, ketidakjelasan objek akad akan menjadi penghalang terjadinya serah terima kepemilikan. Dalam suatu riwayat, Hakim bin Hizam berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membeli barang daganganny, apa yang dihalalkan dan diharamkan daripadanya?” Kemudian Rasulullah bersabda :
فَإِذَا اشْتَرَ يْتَ شَيْئًافَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
“Jika engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau jual lagi sebelum barang tersebut berada ditanganmu.” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Hibban)
مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli makanan, maka dia tidak boleh menjualnya sebelum dia menerima barang tersebut.” (HR. Muslim)[7]

Berdasarkan hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa mengakadkan sesuatu yang belum diketahui, maka hukumnya batal. Tapi ada pengecualian terhadap akad-akad tertentu seperti salam dan istisna, dengan syarat sebelum pembuatan barang harus dijelaskan klasifikasinya. Objek akad dapat digolongkan menjadi 2 macam :
1)        Bentuk objek akad berupa harta benda. Apabila objek tersebut berupa harta bergerak (mal al-manqul), maka akad dilakukan dengan cara penyerahan harta tersebut. Apabila bentuknya harta benda yang tidak bergerak (mal al-‘uqar/mal ghairu manqul), maka penyerahan cukup dengan cara pengalihan hak (sertifikat) kepemilikan bendanya.
2)        Apabila objek akad berupa manfaat, maka penyerahannya dilakukan dengan cara menggunakan benda tersebut. Apabila berupa perbuatan, maka dilakukan dengan cara menjalankan amanah pekerjaan sesuai dengan manfaat yang diharapkan pihak lain.
c.         Adanya syarat kepemilikan sempurna terhadap objek akad.
Ketentuan ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam Ketika mengadu kepada rasulullah, “ada seorang yang datang kepadaku, kemudian dia menanyakan apakah saya ingin menjual barang, dimana barang tersebut bukan milik saya”. Kemudian setelah mendengar pengaduan tersebut Rasululloh SAW Bersabda “janganlah menjual suatu barang yang bukan milikmu”. (HR Tirmidzi)

Dari keterangan hadis tersebut jelas bahwa pada dasarnya Islam melarang transaksi terhadap objek akad yang bukan menjadi kewenangannya.[8] Mngadakan sesuatu tanpa sepengetahuan pemiliknya dinamakan dengan akad fudhuli. Dengan akad fudhuli menyebabkan keabsahan hukum akad menjadi terganggu (mauquf) pemiliknya. Karena akad ini akan dianggap sah apabila pemiliknya mengizinkan, tetapi apabila tidak mendapat izin dari pemiliknya maka akad menjadi batal.
اْلأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِىْ مِلْكِ الْغَيْرِ بَا طِلُ
Menyuruh bertindak hukum tasharruf) pada harta orang lain merupakan kebatilan.
3.        Sighat Al-‘Aqd
Sighat akad merupakan hasil ijab dan qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Ijab ialah pernyataan pertama yang disampaikan oleh salah satu pihak yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan perikatan. Qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan persetujuan/kesepakatan terhadap akad.
Dalam fiqh muamalah terdapat ketentuan hukum agar ijab qabul memenuhi syarat sebagai rukun akad, yaitu :
a.         Keharusan adanya kejelasan makna dalam ijab qabul (jala al-ma’na)[9]
Menurut para fuqaha terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam akad, yaitu :
1)        Ijab qabul dengan menggunakan lafadz. Dalam akad pernyataan ijab dan qabul yang paling utama ialah melalui perkataan para pihak dalam suatu majelis.
اِعْمَالُ الْكَلاَمِ أَوْلَى مِنْ اِهْمَالِهِ
“Mempergunakan maksud perkataan adalah lebih utama daripada tidak menggunakannya.”
2)        Melalui tulisan. Pengecualian berlaku bagi para aqid yang tidak dapat menggunakan kehendak secara lisan atau perkataan, karena suatu sebab, maka akad boleh disampaikan melalui tulisan.
اَلْكِتَا بَةُ كَالْخِطَابَ
Tulisan itu sama dengan ucapan.”karena itu dalam kaidah lain dinyatakan bahwa”Tulisan bagi orang yang berhalangan hadir sepadan dengan ucapan bagi yang hadir.
3)        Ijab qabul dengan menggunakan isyarat.
اْلإِشَارَةُ اَلْمَعْهُوْدَةُ لِأَخْرَسَ كَالْبَيَانِ بِالِّسَانِ
“Isyarat yang jelas dari seorang yang bisu sepadan dengan keterangan lisan”
4)        Melakukan perbuatan. Dalam akad, terkadang tidak menggunakan ucapan maupun tulisan, melainkan langsung dengan perbuatan memberi atau menerima (ta’athi) yang menunjukan saling meridai.[10] Misalnya dalam toko swalayan penjual menetapkan harga suatu barang, kemudian pembeli tanpa menawar langsung membeli buku tersebut.
b.        Kesesuaian antara ijab dan qabul (Tathabuq baina al-ijab wa al-qabul).
Tanpa adanya kesesuaian ijab dan qabul maka akad tidak akad mungkin terjadi. Misal dalam transaksi penyusunan kontrak jual beli ada seorang yang ingin membeli barang, tetapi sang penjual belum mengabulkan karena penawaran harganya dianggap belum sesuai. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan penyusunan kontrak tidak terlaksana.[11]
c.         Para pihak hadir dalam suatu majelis akad (majlis al-‘aqd).
Pengertian majlis tidak terbatas pada ruang dan waktu, mengingat perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan seseorang untuk melakukan transaksi bisnis jarak jauh, misalnya e-commerce.[12]

C.      Penggolongan Akad
1.        Dilihat dari keabsahan menurut syara’ maka akad dibagi menjadi dua, akad shahih dan akad tidak sahih.
a.         Akad shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad menurut ulama Hanafi dan Maliki terbagi menjadi :
1)        Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan)., yaitu akad yang langsung dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
2)        Akad mawquf , yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad tersebut, seperti : akad yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah muwayyiz.
b.        Akad yang tidak syah., yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syarat-syaratnya sehingga seluruh akibat hukum akad tersebut tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Menurut ulama Hanafi akad ini ada 2 :
1)        Akad Batil, yaitu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’.
2)        Akad Fasid, akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas.
2.        Dilihat dari segi penamaannya
a.         Akad Musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti Jual beli, sewa menyewa, perikatan, hibah, wakalah, wakaf, hiwalah, ji’alah, wasiat dan perkawinan.
b.        Akad ghairu Musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat seperti istisna, bai’ al-wafa’, dan lain-lain.
3.        Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak
a.         Akad Musyara’ah, yaitu akad yang dibenarkan syara umpamanya jual beli, jual harta yang ada hartanya dan termasuk juga hibah serta gadai.
b.        Akad mamnu’ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang yang masih di dalam kandungan.
4.        Dilihat dari sifat bedanya
a.         Akad ‘aniyah, yaitu akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan melaksanakan apa yang diakadkan tersebut. Contoh denda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
b.        Akad ghairu ‘aniyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan pada akad itu sendiri.
5.        Dilihat dari bentukatauk atau cara melakukan
a.         Akad –akad yang harus dilakukan dengan cara tertentu misal pernikahan nyang harus di lakukan di hadapan para saksi , akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah yang oleh undang undfang mengharuskkan hak itu di catat  di kantir agraria
b.        Akad –akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak perlu  di tempat yang di tentukan.
6.        Dilihat dari dapat tidak nya di batalkan akad
a.         Akad yang tidak dapat di batalkan yaitu  ‘aqduzziwaj. Akad nikah tidak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan 2 belah pihak.
b.        Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dan akad-akad lainnya.
c.         Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, Rahn dan Kafalah  merupakan keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak merupakan keharusan oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang yang memegang tanggungan).
d.        Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak kedua. Yaitu seperti : wadiah, ‘ariyah, dan wakalah.
7.        Dilihat dari segi tukar menukar hak.
a.         Akad mu’awadlah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli, sewa menyewa, shulh dengan harta, atau shulh terhadap harta dengan harta.
b.        Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c.         Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tapi menjadi mu’awadlah pada akhirnya, seperti qardl dan kafalah. Qardl dan kafalah melanya adalah tabarru’, tetapi pada akhirnya menjadi mu’awadlah ketika si kafil meminta kembali uang kepada si madin.
8.        Dilihat dari segi keharusan membayar ganti dan tidaknya akad
a.         Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya. Seperti jual-beli qardh menjadi dlaman pihak kedua sesudah barang itu diterima. Bila terjadi kerusakan maka barang ditanggung oleh pihak pertama.
b.        Akad amanah, yaitu tanggung jawab yang ditanggung oleh yang punya, bukan oleh yang memegang baranng. Misal syirkah, wakalah.
c.         Akad yang dipengaruhi oleh berbagai unsur, dari satu segi mengadung dhamanah, dan dari segi lain merupakan amanah. Contoh : ijarroh, rahn
9.        Dilihat dari segi tujuannya.
a.         Yang tujuannya tamlik seperti jual-beli, mudharabah
b.        Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja, seperti rahn dan kafalah. Akad tersebut dilakukan untukengolohkan kepercayaan si dain ata si murtahin
c.         Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan wasiat.
d.        Yang tujuanya memelihara, yaitu wadi'ah.
10.    Dilihat dari segi berlakunya
a.         Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu lama. Misal jual beli walaupun dengan harga yang ditanggungkan.
b.        Akad mustamirrah dinamakan juga akad zamaniah, yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contoh ijarah, ‘ariyah, wakalah, dan syirkah.
11.    Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain.
a.         Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misalnya jual beli ijarah, wadi’ah, ariyah.
b.        Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain, misalnya rahn dan kafalah. Rahn tidak dapat dilakukan apabila tidak ada utang.
12.         Dilihat dari maksud dan tujuannya
a.       Akad tabarru, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata mengharapkan ridlo dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari return ataupun motif. Misal hibah, wakaf, wasiat, ibra, wakalah, kafalah, hawalah, rahn dan qirad.
b.      Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semua. Seperti murabahah, salam, istisna dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudharabah dan musyarakah.

D.      Mani’ Nufudz (Penghalang Akad)
Mani’ nufudz banyak macamnya. Namun demikian dapat kita kembalikan kepada dua macam saja, yaitu ikrah (paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain). Ikrah, adalah cacat yang terjadi pada keridlaan (kehendak) yang paling penting dalam fiqh Islam. Para fuqaha mengadakan pembahasan tersendiri tentang ikrah ini. Mengenai haqqul ghair ini perlu dijelaskan sedikit. Haqqul ghair mempunyai tiga keadaan :
1.        Haqqul ghair, akad yang berpautan dengan benda. Seperti menjual milik orang lain, tindakan orang sakit menjelang maut, dan seperti tasharruf orang murtad menurut jumhur atau menurut Abu Hanifah.
2.        Berpautan dengan maliyah, benda obyek akad; bukan dengan benda (‘ain) nya, hanya dengan maliyah-nya, dengan hartanya, seperti tasharruf si madin yang tidak majhur secara yang menimbulkan kerugian pihak dain, lantaran hak-hak si dain itu berpautan dengan maliyah benda itu, bukan dengan zatnya benda itu.
Uang si dain bukan bersangkut dengan rumah si madin, tetapi bersangkut dengan harta si madin. Maka jika si madin dapat membawakan harta-harta yang lain untuk bayar hutang, sahlah tabarru’nya itu. Ini perbedaan perpautan hak dengan ‘ain, dengan perpautan hak dengan maliyah ‘ain. Kalau berpautan dengan hak si dain berpautan dengan maliyah si madin, maka kalau simadin itu bisa membayar walaupun dengan bukan yang itu, niscaya si madin dapat bertasharruf dengan hartanya itu.
3.        Berpautan dengan dapat tidaknya tasharruf itu sendiri, bukan dengan benda, yang dikatakan dalam istilah fiqh shalahiatul tasharruf (boleh bertasharruf), seperti tasharruf si majhur alaih, baik karena masih kecil, maupun karena safih (boros), atau lantaran hutang. Apabila wali atau washi setuju, maka persetujuan ini berlaku surut. Ini penting kita perhatikan.[13]

E.       Berakhirnya akad
Berakhirnya akad karena fasakh adalah rusak atau putusnya akad yang mengikat antara muta’aqidain (kedua belah pihak yang melakukan akad) yang disebabkan karena adanya kondisi atau sifat-sifat tertentu yang dapat merusak iradah. AkaD yang batal adalah akad yang menurut dasar dan sifatnya tidak diperbolehkan seperti akad yang tidak terpenuhi salah satu rukun atau syaratnya. Sedangkan berakhirnya akad adalah berakhirnya ikatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad (mujib dan qabil) setelah terjadinya atau berlangsungnya akad secara sah.
Para fuqaha berpendapat bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
1.        Telah jatuh tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah disepakati, apabila akad tersebut memiliki proses waktu. Seperti pada akad ijarah yang telah habis masa kontraknya.
2.        Terealisasinya tujuan daripada akad secara sempurna. Misalnya pada akad tamlikiyyah yang bertujuan perpindahan hak kpemilikan dengan pola akad jual beli, maka akadnya berakhir ketika masing-masing pihak yang telah melakukan kewajiban dan menerima haknya. Penjual telah menyerahkan barangnya dan pembeli memberikan staman/harga yang telah disepakati.
3.        Barakhirnya akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang berakad. Prinsip umum dalam fasakh ialah masing-masing pihak kembali kepada keadaan seperti sebelum terjadi akad atau seperti tidak pernah berlangsung akad.
4.        Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang bisa berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad, di antaranya adalah akad sewa menyewa, ar-rahn, al-kafalah, ays-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah. Akad juga akan berakhir dalam bai’al-fudhuli (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal.
5.        Berakhirnya akad dengan sebab tidak adanya kewenangan dalam akad yang mawquf. Akad mauquf  akan berakhir jika yang berwenang wilaya al akad tidak mengizinkan. Demikian juga pada akad fuduli yaitu akad yang dilakukan oleh orang yang bertindak pada hak orang lain tanpa disuruh atau diminta melakukannya seketika berakhir jika tidak adanya izin dari yang berwenang.




[1] Gemala Dewi, SH., LL.M., dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2005), Hlm. 50.
[2] Ibid., hlm. 51.
[3] Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009), Hlm. 24.
[4] Ibid., hlm. 29.
[5] Ibid., hlm 30.
[6] Ibid., hlm. 31.
[7] Ibid., hlm. 32.
[8] Ibid., hlm. 33.
[9] Ibid., hlm, 34.
[10] Ibid., hlm. 35.
[11] Ibid., hlm. 36.
[12] Ibid., hlm. 37.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed. Revisi, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 82.