Jumat, 04 Maret 2016

Makalah Dinasti Fathimiyah

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Kejayaan Islam (the golden age of Islam) ditandai dengan penyebaran agama Islam hingga ke benua Eropa. Pada masa itulah berdiri sejumlah pemerintahan atau kekha-lifahan Islamiyah. Seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Turki Utsmani dan Ayyubiyah. Selain penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan kegemilangan peradaban Islam.
Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul sebagai cendekiawan dan memiliki pengaruh besar dalam dunia peradaban hingga saat ini. Namun, setelah perebutan kekuasaan dan kepemimpinan yang kurang cakap, akibatnya pemerintahan Islam mengalami kemunduran. Salah satunya adalah dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah sejarah Pembentukan Dinasti Fatimiyah ?
2.    Bagaimanakah kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah ?
3.    Mengapa Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran ?
4.    Apa yang menjadi faktor penyebab Kehancuran Dinasti Fathimiyah ?

C.      Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis dapat menentukan tujuan pembahasan makalah sebagai berikut :
1.    Mengetahui sejarah Pembentukan Dinasti Fatimiyah.
2.    Mengetahui kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah.
3.    Mengetahui penyebab kemunduran Dinasti Fatimiyah.
4.    Mengetahui faktor penyebab Kehancuran Dinasti Fathimiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Pembentukan Dinasti Fathimiyah
Dinasti Fathimiyah berkuasa tahun 297-567 H/ 909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan Syiria. Dinamakan dinasti Fathimiyah karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Ali Fathimiyah, puteri Rasululloh SAW, istri Ali bin Abi Thalib dan Fatimiyah dari Ismail  anak Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali. Awalnya kelompok ini dibangun dan dibentuk menjadi sistem agama dan politik oleh Abdullah Ibn Maimun. Setelah itu berubah menjadi gerakan kekuatan, dengan tokohnya Said ibn Husein. Kemudian sekte ini menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti Fathimiyah.
Awal munculnya dinsti Fathimiyah dimulai dari seorang pendukung dari Yaman bernama Abu Abdullah Al-Husein yang berhasil mengibarkan pidato dan mendapatkan kekuatan di Afrika Utara. Kemudian ia mengangkat Said Ibn Husein sebagai pemimpin atau imam pertana dengan gelar Ubaidullah Al Mahdi. Said berhasil mengusir Zidatullah, seorang penguasa Aglabiyah terakhir dari negerinya yang merupakan kekuatan islam di sunni diwilayah Afrika. Pada mulanya dinasti Fatimiyah berbasis di Ifrikiyah. Kemudian berpusat di Maroko, dengan alasan keamanan, pemerintahannya dipindahkan ke Mesir setelah dapat menaklukan dinasti Ikhsyidiyah dan kemudian mendirikn ibukota bari di Qahorah (Qairo).[1]

B.       Kemajuan Yang di Capai Dinasti Fathimiyah
1.    Bidang Politik
Bila dicermati ada sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para penguasa awal khilafah Fathimiyah ini untuk memperlancarkan stabilitas politik, yaitu antara lain Al-Mahdi, Khalifah pertama, melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang programnya, termasuk tokoh-tokoh penting awal yang juga sama-sama sangat besar jasanya dalam pembentukan Khilafah Fathimiyah. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerinthan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat di lihat dari tindakan al-Mahdi dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan.
Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembangan wilayah kekuasaan. Pengembangan wilayah kekuasaan ini berkaitan erat dengan kemiliteran. Perluasan wilayah kekuasaan diarahkan untuk meguasai daerah-daerah strategis, dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan posisi Khilafah Fathimiyah.  Dengan begitu stabilitas politik Fathimiyah tetap terjaga.
2.    Bidang Administrasi
Pemerintah dinasti Fathimiyah dipimpin oleh seorang Khalifah. Kemudian untuk menjalankan pemerintahan, seorang khalifah dibantu oleh seorang wazir.[2] Secara Administratif posisi wazir dalam kekhalifahan ini menjadi sangat penting karena membantu khalifah dalam penyelesaian urusan-urusan srategis. Ada wazir yang membawahi urusan militer dan birokrasi, lembaga keuangan dan lembaga peradilan.
3.    Bidang Ekonomi
Perekonomian pemerintah Fathimiyah dapat dibilang cukup bagus. Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya wilayah yang dikuasai dan stabilitas politik yang mapan. Kondisi ini berdampak majunya bidang ekonomi, termasuk didalamnya kemajuan bidang perdagangan dan sektor industri. Tentu faktor ekonomi ini juga menopang lamanya eksistensi dinasti ini bertahan hingga dua setengah abad.
Salah satu khalifah yang sangat menaruh perhatian terhadap peningkatan perekonomian rakyat adalah Khalifah al-Mu’iz. Pada masa kekuasaan khalifah al-Mu’iz melakukan usaha-usaha peningkatan bidang pertanian, ia melakukan pembangunan saluran irigasi baru dalam meningkatkan hasil pertanian. Ia juga membangun pabrik-pabrik dan industri, sehingga terjadi meningkatkan volume kegiatan perdagangan di beberapa kota. Demikian juga hubungan perdagangan dengan negara-negara lain, seperti Eropa dan India juga mengalami peningkatan.
Selain itu penguasa Fathimiyah juga berhasil mengembangkan pelabuhan, seperti Iskandariyah. Pelabuhan Iskandariyah sangat penting artinya dalam pertumbuhan perekonomian Fathimiyah. Karena itu, tingkat kemakmuran yang dicapai oleh khalifah Fathimiyah cukup bagus.
4.    Bidang Pendidikan
Di antara contoh perhatian pemerintah Fathimiyah dalam bidang pendidikan adalah lahirnya Universitas al-Azhar kairo. Universitas ini berawal dari pembangunan sebuah masjid yang selanjutnya dikembangkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan tinggi. Nama Al-Azhar, dimaksudkan sebagai penghargaan terhadap Fathimiyah al-Zahra, puteri Nabi Muhammad SAW. Lembaga lain yang lahir pada zaman Fathimiyah adalah darul Hikmah, lembaga ini merupakan sebuah perpustakaan terkenal yang di dirikan oleh khalifah al-Hakim sekitar tahun 1004 M.
Diantara bidang keilmuan yang berkembang pada masa khilafah Fathimiyah diantaranya adalah matematika, astronomi, fisika, optika, kedokteran, dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini berkembang pula bidang-bidang lain seperti seni arsitektur, seni sastra, seni musik dan sebagainya.

C.      Kemunduran Dinasti Fathimiyah
Para sejarawan menyimpulkan kemunduran dinasti Fathimiyah ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah :
1.    Figur Khalifah Yang Lemah
Dalam sejarah Khilafah Fathimiyah terdapat beberapa khalifah yang dianggap sebagai figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah diangkat dalam usia yang relatif masih muda.[3] Adapun kelemahan itu karena khalifah terlena dengan kemewahan istana serta melakukan sikap-sikap yang sewenang-wenang dan cenderung amoral, yang menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadap khilafah Fathimiyah khususnya kepada Khalifahnya. Pengangkatan khalifah dalam usia yang masih muda ini merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis keturunan.
Sebagai akibat dari pengangkatan khalifah di usia muda itu menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir. Karena faktor usia khalifah masih muda terkadang muncul sikap sewenang-wenang khalifah. Seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Hakim, dia terkenal sebagai khalifah yang keras dan sewenang-wenang. Sikapnya cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsunya.  
Sikap kesewenangan al-Hakim ditunjukan dengan kebenciannya kepada orang-orang Mesir sendiri, bertindak sewenang-wenang dan merendahkan mereka, harta dan nyawa dirampas. Hal ini berakibat pada buruknya keamanan pemerintahan, menurunnya ketentraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap yang amoral.
2.    Perebutan Kekuasaan di Tingkat Istana
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di usia muda mengakibatkan peranan wazir menjadi sangat penting  dan kompetetif,  sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi. Ini terutama terjadi di antara para wazir yang sangat ambisius terhadap jabatan dan mereka ingin mendapatkan pengaruh di istana, terlebih lagi dengan melihat kondisi khalifah yang sangat lemah. Antar wazir berlomba saling menjatuhkan di antara para wazir sendiri. Ada juga wazir yang berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah menunjuk penggati dirinya.[4] Dan dari pertentangan inilah secara berangsur-angsur dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran.
3.    Konflik di Tubuh Militer
Pada saat al-Aziz menjabat sebagai khalifah keempat, dia membuat kebijakan untuk merekrut  orang-orang Turki dan Negro. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan para pegawai istana yang telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian besar berasal dari suku Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekruitmen ini menimbulkan kemelut di dalam tubuh militer dan antara mereka terus-menerus terjadi perselisihan yang melemahkan kekuasaan Fathimiyah. Tentu saja kemelut di kalangan militer ini berdampak pada stabilitas pemerintahan yang tidak aman lagi.
4.    Bencana Alam Berkepanjangan
Faktor lain yang ikut andil dalam melemahkan eksistensi khilafah Fathimiyahadalah bencana ala. Pada masa al-Muntashir, selama tujuh tahun (1065-1072 H), Mesir ditimpa musibah kelaparan akibat kekeringan. Sungai Nil yang merupakan urat nadi wilayah Mesir saat itu mengalami kekeringan yang menyebabkan pertanian mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit merajalela dimana-mana. Penguasa mengalami kesulitan mengatasi kondisi yang demikian. Musibah ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan Fathimiyah.
5.    Keterlibatan Non-Islam dalam Pemerintahan
Di antara sekian banyak khalifah Fathimiyah yang terkenal memiliki andil dalam memajukan dinasti ini adalah khalifah al-Aziz. Dia memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan Dinasti Fathimiyah. Di antara kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz sering memberikan pos-pos penting dan strategis kepada orang-orang non-Islam. Tampaknya kebijakan ini memang turut memajukan Fathimiyah tetapi pada sisi lain ini justru menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan kemunduran dinasti ini, karena kebijakan ini ternyata menimbulkan kecmburuan, kejengkelan dan bahkan kemarahan di kalangan kaum muslimin. Benih-benih kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial politik Fathimiyah.    

D.      Kehancuran Dinasti Fathimiyah
Setelah kekuasaan berjalan sekitar dua setengah abad, kemudian khilafah Fathimiyah mengalami kehancurannya. Kehancuran khalifah ini terjadi  pada masa kekhalifahan al-Adhid.[5]
Diantara faktor yang menyebabkan dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran, antara Lain :
1.    Perpecahan yang terjadi di kalangan pemimpin.
2.    Kebijakan mengimpor tentara dari Turki dan Negro yang tidak patut aturan dan pertikaian dengan pasukan suku Berber.
3.    Munculnya perang salib yang disebabkan oleh dirusaknya gereja masa pemerintahan Al-Manshur.
4.    Al-Adhid (Raja Terakhir Fathimiyah) meminta bantuan Shalahuddin al-Ayyubi untuk mempertahankan Mesir dari tentara salib, yang kemudian peperangan dimenangkan Shalahuddin. Maka pemerintahan Mesir berpindah ke tangan bani Ayyubiyah.[6]
5.    Perlawanan masyarakat Mesir yang semakin meluas terhadap ajaran Syiah yang di bawa oleh Daulah Fathimiyyah.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husayn (Ubaidillah al-Mahdi) berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah.
2.    Kemajuan Dinasti Fatimiyah puncaknya terjadi pada masa Al-Aziz. Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernama Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina dan berhasil meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya.. Dinasti Fatimah mengalami kemajuan antara lain karena: militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil.
3.    Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain: sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer, terjadinya persaingan perebutan wazir, adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir, terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer, adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni, datangnya serbuan dari tentara salib, lemahnya para khilafah, perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana.



DAFTAR PUSTAKA

Fudi, Imam. 2012. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Yogyakarta : Teras.

Khoiriyah. 2012. Reoritasi wawasan Sejarah Islam Dari Abad Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, Yogyakarta : Teras.






[1] Khoiriyah, M.Ag, Reoritasi wawasan Sejarah Islam Dari Abad Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.171-172.
[2] Wazir adalah Menteri atau Pejabat Pemerintahyang Tinggi.
[3] Terdapat beberapa nama khalifah yang diangkat dalam usia muda, diantaranya adalah Khalifah al-Hakim yang diangkat dalam usia 11 tahun, usia yang masih belia untuk ukuran seorang pmimpin negara. Demikian juga al-Zahir yang menjadi khalifah dalam usia 16 tahun, al-Muntashir dalam usia 11 tahun, al-Musta’li dalam usia 9 tahun, al-Amir dalam usia 5 tahun, al-Zafir dalam usia 16 tahun, al-Faiz dalam usia 4 tahun, dan al-Adhid, Khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9 tahun.
[4] Misalnya yang terjadi pada penggantian khalifah al-Muntashir, di mana setelah al-Muntashir meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan setelah al-Afdal yang menjabat sebagai wazir kala itu mengatur penggantian l-Muntashir, padahal al-Muntashir telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi al-Afdal justru menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk para pejabat senior untuk menerima keputusannya itu. 
[5] Prof.Dr. Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 4-15.
[6] Khoiriyah, M.Ag, Reoritasi wawasan Sejarah Islam Dari Abad Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.176-177.

Peran Pancasila Sebagai Sistem Etika

PERAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
DI INDONESIA


A.      Pengertian Etika
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak, adat ataupun kesusilaan. Secara umum, etika adalah suatu cabang filsafat, yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut, atau dapat diartikan bahwa etika adalah sebuah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan.
Menurut Suseno, Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1.    Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.    Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun makhluk sosial (etika sosial)
a.    Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya.
b.    Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

B.       Pengertian Nilai, Norma, dan Moral.
1.    Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berguna, berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (norma moral atau etika), religius (nilai agama), yang memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap serta perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak.
Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik. Disamping teori nilai diatas, Prof. Dr. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a.    Nilai Material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b.    Nilai Vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c.    Nilai Kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai Kerohanian dapat dirinci sebagai berikut :
1)   Nilai kebenaran atau kenyataan, yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta).
2)   Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevoels, dan aesthesis)
3)   Nilai kebaikan moral yang bersumber pada unsur kehendak manusia (karsa)
4)   Nilai Religius, yang bersumber pada kepercayaan/keyakinan manusia, dengan disertai penghayatan melalui akal dan budi nuraninya. Nilai Religius ini merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tertinggi dan mutlak.
Nilai akan lebih bermanfaat dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka harus lebih di kongkritkan lagi secara objektif, sehingga memudahkannya dalam  menjabarkannya dalam tingkah laku, misalnya kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat istiadat dll.
2.    Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin “mores” yang berarti norma-norma baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak ataupun kesusilaan manusia.
3.    Pengertian Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padanan  dan  pengendali  sikap  dan  tingkah  laku manusia.  Agar  manusia mempunyai harga, moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Sedangkan derajat kepribadian sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya, maka makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang tercermin  dari  sikap  dan  tingkah lakunya.  Oleh  karena  itu,  norma  sebagai penuntun, panduan atau pengendali sikap dan tingkah laku manusia.

C.      Hubungan Antara Nilai, Norma dan Moral
Nilai atau Value termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value). Didalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercaya yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, (The believed capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri.sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada pada sesuatu itu.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku bak disadari ataupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta, dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniyah) manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat konkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jika nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia. 
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikonkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Maka wujud yang lebih konkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Terdapat berbagai macam norma, dan dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum.
Selanjutan nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan norma dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996). Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos (1987), bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Etika merupakan tingkah laku yang bersifat umum universal berwujud teori dan bermuara ke moral, sedangkan moral bersifat tindakan lokal, berwujud praktek dan berupa hasil buah dari etika. Dalam etika seseorang dapat memahami dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral. Kekurangan etika adalah tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang, sebab wewenang ini ada pada ajaran moral.
Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri, tetapi tidak demikian halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan pemikiran yang kritis terhadap etika. Terdapat suatu kemungkinan bahwa seseorang mengikuti begitu saja pola-pola moralitas yang ada dalam suatu masyarakat tanpa perlu merefleksikannnya secara kritis.
  Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada ditangan pihak-pihak yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika jikalau dibandingkan dengan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau dibandingkan dengan moral.
Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma, dan moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.

D.      Nilai Etika Yang Terkandung Dalam Pancasila
Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-hari yang menjadi pegangan. Adapun nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila tertuang dalam berbagai tatanan sebagai berikut:
1.        Tatanan bermasyarakat
2.        Tatanan bernegara
3.        Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri
4.        Tatanan pemerintah daerah
5.        Tatanan hidup beragama
6.        Tatanan bela Negara
7.        Tatanan pendidikan
8.        Tatanan berserikat
9.        Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintah
10.    Tatanan  sosial
Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai dan makna-makna yang dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari adalah :
1.    Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara garis besar mengandung makna bahwa Negara melindungi setiap pemeluk agama (yang tentu saja agama diakui di Indonesia) untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya. Tanpa ada paksaan dari siapa pun untuk memeluk agama, bukan mendirikan suatu agama. Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. Dan bertoleransi dalam beragama, yakni saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
2.    Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Mengandung makna bahwa setiap warga Negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, karena Indonesia berdasarkan atas Negara hukum. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bertingkah laku sesuai dengan adab dan norma yang berlaku di masyarakat.
3.    Sila Ketiga : Persatuan Indonesia.
Mengandung makna bahwa seluruh penduduk yang mendiami seluruh pulau yang ada di Indonesia ini merupakan saudara, tanpa pernah membedakan suku, agama ras bahkan adat istiadat atau kebudayaan. Penduduk Indonesia adalah satu yakni satu bangsa Indonesia. cinta terhadap bangsa dan tanah air. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rela berkorban demi bangsa dan negara. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.
4.    Sila Keempat : Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Mengandung maksud bahwa setiap pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, bukan hanya mementingkan segelintir golongan saja yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan anarkisme. tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Melakukan musyawarah, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
5.    Sila Kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.
Mengandung maksud bahwa  setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap lini kehidupan. mengandung arti bersikap adil terhadap sesama, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Seluruh kekayaan alam dan isinya dipergunakan bagi kepentingan bersama menurut potensi masing-masing. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Penghidupan disini tidak hanya hak untuk hidup, akan tetapi juga kesetaraan dalam hal mengenyam pendidikan.

Apabila nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila di implikasikan di dalam kehidupan sehari-hari maka tidak akan ada lagi kita temukan di Negara kita namanya ketidak adilan, terorisme, koruptor serta kemiskinan. Karena di dalam Pancasila sudah tercemin semuanya norma-norma yang menjadi dasar dan ideologi bangsa dan Negara. Sehingga tercapailah cita-cita sang perumus Pancasila yaitu menjadikan Pancasila menjadi jalan keluar dalam menuntaskan permasalahan bangsa dan Negara.