Jumat, 07 Juli 2017

Riba Dalam Ekonomi Islam

PRAKTEK RIBA DALAM EKONOMI ISLAM


A.    Tinjauan tentang riba
 Riba secara bahasa bermakna tambahan.secara linguistik bahasa riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknik riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau tambahan modal secara batil.
Dari beberapa definisi riba dapat disimpukan bahwa, riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam. Batil disini adalah bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.[1]
Syara’ telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnya jelas – jelas haram.
Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu mengeksploitasi tenaga orang lain, dimana dia mendapatkan upah tanpa harus mencurahkan tenaga sedikitpun. Disamping karena harta yang menghasilkan riba itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi. Dan itu bertentangan dengan kaidah al-gharam bil ghanami.[2]
Oleh karena itu, mengelola data perseroan yang Islami semisal transaksi mudlarabah dan musaqat dengan segala macam persyaratannya adalah mubah. Sebab,pengelolaan semacam ini bisa dimanfaatkan oleh suatu jama’ah, dimana tidak ada sedikitpun tenaga orang lain yang di eksploitir. Bahkan, ia merupakan sarana yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan tenaga mereka sendiri, dimana ia bisa menderita kerugian, begitu pula bisa mendapatkan keuntungan. Ini berbeda dengan riba.[3]

B.     Pandangan Beberapa Fukaha Mengenai Definisi Riba
Ibnu Al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Quran  menjelaskan bahwa riba yang dimaksud dalam Al-Quran adalah penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syariah. Menurut Imam Nawawi menjelaskan bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunah adalah tambahan atas harta pokok karena ada unsur waktu. Pendapat yang agak berbeda muncul dari Yusuf Qardhawi. Menurut beliau yang dimaksudkan dengan riba adalah “setiap pinjaman yang disyaratkan sebelumnya keharusan memberikan keharusan”.

C.    Praktik Riba Dalam Sejarah
1.      Riba sebelum islam
 Jauh sebelum islam datang, riba sudah dikenal orang. Riba secara sederhana diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang mengambil bentuk penggabungan uang, pada masa Romawi sekitar abad ke-5 SM sehingga abad ke-4 SM, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduk yang mengambil bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximsl legal rate) . meskipun demikian pengambilannya tidak diperkenankan dengan cara bunga berbunga.
Pada zaman jahiliah, praktek riba yang terjadi berupa transaksi pinjam meminjam dengan satu perjanjian, peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati. Pada saat jatuh tempo si peminjam (kreditor) meminta jumlah pinajamn yang dulu diberikan kepada peminjam (debitor). Jika debitor mengatakan belum sanggup membayar, kreditor akan memberi tenggang waktu dengan syarat  debitor bersedia membayar sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi. Menurut Al-Razi, menuturkan bahwa pada zaman jahiliah jika debitor berhutang seratus dirham kemudian tidak memiliki uang untuk membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, kreditor akan menentukan tambahan atas jumlah pinjaman. Bila pinjaman ini diterima, kreditor baru menentukan tenggang waktu yang baru. Hal ini terjadi berulang-ulang sehingga pinjaman yang hanya seratus dirham itu kelan akan diterima kembali oleh kreditor dalam jumlah berlipat ganda.
Objek  riba tidak hanya berupa uang, tetapi juga dapat berupa hewan ternak. Al tabari menuturkan riwayat dari Ibn Zaaid yang menirukan ayahnya bahwa riba pada zaman jahiliah adalah dalam lipat ganda dan umur hewan ternak, seperti unta. Bila tiba masa yang sudah disepakati kreditor menemui debitor dan menagih piutang serta tambahan. Jika debitor memiliki uang maka ia membayar hutang tersebut. Tetapi bila tidak punya onta maka ia dianggap mempunyai hutang onta lebih tua dari yang dipinjamnya dulu. Kalau yang semula yang dipinajm adalah onta yang berumur satu tahun masuk tahun kedua, karena debitor belum sanggup membayar, maka hutangnya menjadi onta bintu labun (onta berumur dua tahun masuk tahun ketiga). Kalau pada saatnya nanti ia belum sanggup juga untuk melunasi hutang itu, maka hutangnya menjadi onta yang lebih tua lagi dengan sebutan hiqqah (unta berumur tiga tahun masuk tahun keempat). Bila pada saatnya hutangnya belum mampu dilunas, maka onta itu menjadi jaza’ah (onta yang memasuki umur lima tahun). Begitu seterusnya sehingga nilai hutang debitor bertambah terus selagi ia belum dapat melunasi hutangnya.
2.      Riba Pada Zaman Kerasulan
Seorang sahabat yang kaya dan pernah mempunyai hubungan dengan riba adalah Usman bin Affan. Ia mengambil riba melaui pinjam meminjam kurma.  Ia sebagai pihak  pemilik kebun kurma untuk digarap oleh orang lain. Pada saat memetik hasilnya, si peminjam yang juga penggarap berkata jika sepimilik hanya mengambil separuh hasilnya saja dan menyerahkan sisanya kepada penggarap, maka kelak penggarap selaku peminjam akan mengembalikan kurma itu dua kali lipat dari jumlah tersebut ketika akad. Ketika berita ini di dengar Nabi, maka Nabi melarang perjanjian tersebut. Pemberi pinjaman hanya boleh menerima pinjaman sejumlah yang ia pinjamkan.
Pada masa kenabian, riba juga pernah dilakukan oleh penduduk Mekkah dan kota dagang TaĆ­f , transaksi ini terjadi antara keluarga Saqif pemegang pengendali ekonomi di Taif dan juga keluarga Al Mughiroh dan Abbas bin Abdul Muthalib yang merupakan saudagar kaya di Mekkah. Selain sebagai saudagar kaya mereka juga dikenal sebagai pemungut riba.
 Di Madinah transaksi riba umunya dilakukan orang Yahudi. Hal ini terjadi ketika orang Yahudi diminta bantuannya untuk persiapan militer di Madinah karena akan adanya penyerangan dari penduduk Mekkah. Namun Yahudi menolak permintaan tersebut, mereka bersedia memberi pinjaman 80 dinar dengan bunga sebesar 50 persen dalam jangka waktu satu tahun.[4]

D.    Larangan Melakukan Riba
Dalam kebijakannya di Madinah, nabi Muhammad SAW melarang riba dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dikarenak riba tidak sesuai dengan nilai-nilai ekonomi islam yang berlandaskan pada kemanusiaan, kebersamaan ,dan keadilan.
Fenomena praktek riba yang terjadi menunjukan bahwa riba merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya diri dan menindas kaum miskin yang lemah. Praktek riba secara psikologis telah memaksa satu pihak menerima perjanjian yang tidak disadari oleh kerelaan. Hal inilah yang menjauhkan praktek riba dari nilai keadilan dan kebersamaan, nilai yang dianut ekonomi islam.


1.      Larangan Riba dalam Al-Quran
Sebagaiman kita ketahui bahwa al-Quran merupakn firman Allah bagi manusia. Al-Quran juga merupakan sumber dari segala sumber  hukum. Termasuk juga di dalamnya terdapat hukum yang mengatur tentang keharaman melakukan riba.
Dalam Al-Quran terdapat ayat yang berbicara mengenai masalah larangan riba. Yaitu surat ar-Rum ayat 39. Dalam surat ar-Rum dikatakan bahwa “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak dapat menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikan) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Dalam ayat ini belum terlihat adanya keharaman melakukan riba, namun sekadar menggambarkan bahwa riba yang dalam sangkaan orang menghasilkan penambahan harta dalam pandangan Allah tidak benar. Akan tetapi zakatlah yang mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Kata zakat disini bukanlah zakat yang diwajibkan melainka sedekah biasa mengingat ayat ini turun pada periode Mekah sedangkan kewajiban zakat baru ditetapkan setelah Nabi hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun ke-2.
Selanjutnya adalah surat Al Imran ayat 130, “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ayat 130 dalam surat Al Imran secar tegas menyatakan keharaman riba. Menurut penilaian Al-Qurtubi ayat ini merupakan kalimat sisipan ketika Al-Quran mengisahkan Perang Uhud. Hal yang sama diriwayatkan Ibun Hisyam. Menurutnya ayat tersebut turun ketika terjadi Perang Uhud. Jika memang demikian, maka ayat ini merespons sikap orang Yahudi yang tidak ikut bertanggung jwab dalam mempertahankan Madinah namun justru mengambil kesemapatan dengan memberikan pinjaman riba kepada orang islam untuk persiapan orang tersebut.
Untuk pemahaman yang lebih komprehensif , maka perlu dilakukan pendekatan munasabat. Penedekatn munasabat dalam masalah riba dapat dilakukan dengan pendekatan munasabat antar kelompok-kelompok ayat, dalam hal ini ayat-ayat riba dengan ayat sebelum dan sesudahnya sebagaimana oleh dicobakan oleh Muhammad Abduh.
Dengan kerangka munasabat, maka riba dalam Al-Quran menunjukan karakter berikut:
a.       Riba menjadikan pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, seperti tidak dapat membedakan jual beli yang jelas dengan riba yang haram
b.      Riba merupakan transaksi utang piutang dengan tambahan yang diperjanjikan di depan dengan dampak zulm, ditandai dengan “lipat ganda”. Dalam surat Al Imran sifat lipat ganda  ditekankan sedangkan zulm  ditekankan pada syrat Al Baqarah. Dengan demikian ada relevansi antara lipat ganda dan zulm.
c.        Dari sikap Al-Quran yang selalu menghadapakan riba dengan sedekah, zakat atau infak, maka diketahui bahwa riba mempunyai watak menjauhkan persaudaraan bahkan menuju permusuhan. Sebab sedekah dan padanannya yang merupakan antitesis riba mempunyai watak yang mengakrabkan persaudaraan dan menciptakan iklim tolong-menolong.
2.      Larangan Riba dalam Hadist dan Sunnah
Terdapat banyak hadist yang terkait dengan masalah riba. Di antaranya adalah HR. Muslim dari jabir berkata bahwa: Rasullalah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,” mereka itu semuanya sama.
a.       Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan atau cash. Barang siapa member tambahan atau meminta tambahan sesungguhnya telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (HR. Riwayat Muslim)
b.      Hadist lain, yaitu diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullalah SAW berkata”pada malam perjalanan mi’raj aku melihat orang-otrang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya di penuhi ular-ular  yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab mereka adlah orang yang memakan riba.” Hadist terakhir ini secara tidak langsung menyatakan ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan dunia namun juga kebahagiaan akhirat.
Dari hadist tersebut yang terkait dengan masalah riba pada intinya terdapat beberapa larangan Nabi agar kegiatan ekonomi yangtidak sejalan dengan Al-Quran ditinggalakan orang. Larangan tersebut dapat dibedakan atas:
1)      Larangan riba dari segi zat sesuatu. Misalnya Al-Quran melarang orang makan babi, maka Nabi pun melarang memperjual belikannya.
2)      Larangan dari segi bentuk kegiatan. Meskipun benda yang di perdagangkan halal dari segi zatnya, namaun bentuk transaksinya mengandung penipuan, dan spekulasi sehingga terlarang.
3.      Riba Dalam pemikiran Hukum
Dalam masalah riba ini yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan penalaran ta’lili. Penalaran ta’lili  merupakan upaya untuk mengetahui latar belakang terjadinya sesuatu, meskipun para fuqaha berpendapat  bahwa perintah dan larangan Allah secara umum adalah untuk kesejahteraan umat  manusia.
Dalam kasus riba para fuqaha sepakat diharamkan karena mengandung unsur zulm. Sehingga zulm merupakan sifat yang melekat pada riba sehingga riba menjadi haram. Riba sebagai kelaziman zulm  yaitu tambahan diperjanjikan di muka. Dan ternyata sifat itu relevan dengan riba. Karena sebenarnya yang menjadi persoalan  adalah zulm atau ketidakadilan, ketidaksetaraan yang bertentangan dengan hukum islam, bukan tambahan.
Berdasarkan penafsiran Al-Quran dan juga fakta empiris dewasa ini, maka zulm  yang merupakan sifat yang melekat pada riba dapat mengambil bentuk sebagai berikut:
a.       Penetapan bunga yang terlalu tinggi.
b.      Isi perjanjian yang berat sebelah, seperti bila peminjam tidak dapat mengembalikan peminjaman berikut bunganya dalam waktu yang disepakati, ia menjadi budak bagi si pemberi pinjaman.
c.        Pihak peminjam dan pemberi pinjaman berada pada posisi yang tidak sejajar seperti ketika perjanjian dilaksanakan peminjam berada pada posisi yang terpakasa menerima perjanjian, kemungkinan karena kurang memahami dengan baik isi perkjanjian atau karena kebutuhan yang mendesak.
4.      Riba dari Prespektif Ekonomi
Al Fakhr Ar Razi mengemukakan pendapatnya tentang sebab dilarangnya riba dalam pandangan ekonomi. Adapun sebab-sebabnya:
a.       Riba memungkinkan seseorang melaksanakn kepemilikan harta orang lain tanpa imbalan. Transaksi yang melibatakan riba sama sengan merampas harta milik orang lain karena dalam transaksi ini satu rupiah ditukar dua rupiah baik secara kredit dan tunai.
b.      Riba merusak moral karena riba mengakibatkan si pemilik uang tidak mau bekerja keras melainkan hanya berpangku tangan mengharapkan hasil yang diperoleh riba.
c.       Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan uang dengan bunga yang sangat tinggi, hal ini tentu saja akan sangat merusak sikap tolong-menolong saling menghormati, sifat baik manusia dan juga rasa berhutang budi.
d.      Terjadi dikotomi antar si kaya yang semakin kaya dan si miskin yang semakin miskin.
Al-Tabataba’i berpendapat bahwa riba akan membawa masyarakat kepada kehancuran masyarakat ekonomi lemah dan mengalirnya harta mereka ke harta orang-orang kaya. Sedangkan menurut Mustafa al-Maraghi riba diharamkan adalah untuk menjaga supaya investasi bias eksis dalm sektor riil bukan saja sektor moneter. Kemudian meurutnya, riba bisa mendatangkan permusuhan dan peretengkaran di masyarakat.
Dalam analisis dengan menggunakan teori ekonomi bahwa kenaikan suku bunga akan berengaruh terhadap kenaikan harga dan inflasi. Terjadi inflasi mengakibatkan daya beli riil dari pendapatan yang semakin menurun sehingga bisa jadi kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi. Maka hal ini menimbulkan dampak sosial negatife di masyarakat seperti korupsi, pencurian, dan sebagainya.[5]

E.     Macam – macam Bentuk Riba
Menurut fuqaha  Syafi’iyyah, riba itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Riba al-fadhl
Riba al-fadhl yaitu tambahan/selisih yang ditimbulkan dalam praktek pertukaran komodisi yang sama jenisnya, semisal emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam dan sebagainya, di mana salah satu pihak mendapatkan kemanfaatan dari tambahan atau selisih yang terjadi dalam transaksi tersebut. Diharamkannya praktek pertukaran sesama jenis ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya  praktek muammalah yang menjurus ke bentuk takhayyul dan talbis khususnya bagi individu-individu tertentu yang lemah akal dan keimanannya dalam konteks sekarang mungkin bisa dipahami sebagai komunitas yang mempunyai daya tawar yang lemah.
2.      Riba an-nasi’ah
Riba an-nasi’ah adalah tambahan/manfa’ah yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran pelunasan.  Riba an-nasi’ah juga dapat terjadi di wilayah dzimma hutang piutang salah satunya adalah praktek  riba jahiliyyah di mana pihak yang berhutang meminta penundaan pelunasaan hutang kepada si pemberi hutang dengan memberikan biaya tambahan dari uang pokoknya. Begitu seterusnya yang terjadi jikalau pihak yang berhutang pada waktu jatuh tempo tak mampu melunasi pinjamannya, sehingga pada akhirnya hutang yang nominal pokoknya sebetulnya tidak terlalu besar, namun seiring dengan penundaan dan pelunasan yang berkali-kali diajukan pihak penghutang kepada pemberi hutang, maka pada akhirnya bunga atau tambahan yang dibebankan kepada si penghutang menjadi berlipat-lipat besanya dibandingkan dengan jumlah pokok pinjaman awal.
3.      Riba al-Yad
Riba al-Yad adalah praktek pertukaran sesama jenis yang tidak dilakukan secara kontan. Dalam riba al-Yad tidak  bisa memenuhi syarat yaddan bi yaddin (harus saling menerima komoditi yang dipertukarannya alias pertukaran tersebut terjadi harus secara kontan, tidak ada boleh salah satu pihak  menta’jil penyerahan komoditinya).[6]



F.     Aktifitas Non ribawi Menurut Perbankan Islam
Bunga merupakan bentuk eksploitasi terhadap keringat orang-orang fakir,  merupakan senjata sosialis untuk menghancurkan sistem ribawi. Menghambat propaganda kaum kapitalis terhadap sistem yang dijalankan yang mencegah para pelaku bisnis untuk mendaptkan keuntungan. Namun sistem tersebut hanya menguntungkan bagi kaum pemodal dan tidak memberi kesempatan para pelaku bisnis untuk menikmati buah dari bisnis yang dijalankan.
Dalam prinsip operasional perbankan syariah tidak dikenal konsep money creation. Namun, perbankan akan melakukan akad kerja sama untuk menjalankan suatu bisnis, ia bertindak sebagai sohibul mal yang menyediakan dana bagi kelancaran bisnis. Seperti dalam bisnis perdagangan, perbankan akan menaruh uangnya dan akan digunakan untuk mendatangkan barang, jika barang tersebut telah terjual maka uang perbankan akan kembali dan mendapatkan margin tertentu, dngan demikian perbankan tidak ikut menciptakan inflasi namun berusaha untuk memeranginya.
Berdasarkan penjelasan di atas, perbankan syariah bisa menjalankan operasionalnya  walaupun tanpa unsur bungayaitu dengan langkah sebagai berikut:
a.       Memberdayakan dana zakat, dan menyisihkan sebagian untuk memenuhi kebutuhan pinjaman konsumtif.
b.      Melakukan nasionalisasi perbankan, sehingga pemerintah mempunyai hak penuh untuk mengatur operasional perbankan, termasuk peredaran dan fungsi uang.
c.       Menghilangkan variabel bunga atas dana nasabah yang dititipkan pada perbankan.[7]



        PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ditinjau dari berbagai penjelasan yang kami paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Macam-macam riba yaitu: Riba Yad, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.
Di masa sekarang ini riba banyak di temukan di bank konvensional. Faktor-faktor yang melatar belakangi perbuatan memakan hasil riba, yaitu nafsu dunia kepada harta benda, serakah harta, tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan, imannya lemah, serta selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.
Kemudian berbagai dampak yang disebabkan oleh adanya riba dalam perekonomian, yaitu menimbulkan adanya inflasi, krisis ekonomi, adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi, berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran, serta menjerumuskan negara- negara kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam.





DAFTAR PUSTAKA

Huda dkk. Nurul, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Media Grafika.

An-Nabhani. Taqyuddin, MEMBANGUN SISTEM EKONOMI ALTERNATIF;Perspektif Islam, Surabaya:Risalah Gusti, 1996.

Mustofa dkk. Ahmad, Reorientasi Ekonmi syariah, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Abdul Sam’I Al misri.1990. Pilar-Pilar Ekonomi Islam .Jakarta: Pustaka Pelajar.






[1] Nurul huda dkk, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Media Grafika, hlm 238-239
[2] Maksud kaidah al-gharam bil ghanami adalah bila ada keuntungan, maka akan ada keuntungan.
[3] Taqyuddin An-Nabhani, MEMBANGUN SISTEM EKONOMI ALTERNATIF;Perspektif Islam, Surabaya:Risalah Gusti, 1996. hlm. 200.
[4] Ibid.,hlm 239-242
[5] Ibid.,hlm 242-252.
[6] Ahmad mustofa dkk, Reorientasi Ekonmi syariah, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,hlm 21-24.
[7] Abdul Sam’I Al misri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1990), hlm.203-206.

Peta Pemikira Ekonomi Islam

PETA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Adiwarman Karim, salah seorang pakar Ekonomi Islam Indonesia, dan penggagas The International Institut of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, yang menjelaskan peta pemikiran ekonomi Islam yaitu 3 madzhab ekonomi Islam yaitu Madzhab BaqrAsh-Shadr, Mainstream, serta analitis-kritis.
A.    Normatifisme
Normatifisme merupakan pemikiran ekonomi islam yang lebih mempopulerkan norma-norma yang terkandung dalam sumber-sumber Islam (Qur’an, Hadits, dan Fiqih). Oleh karenanya, metode yang dikembangkan pun akan lebih pada hal-hal yang konseptual dan tekstual pada aspek-aspek yang terjadi pada historis islam (masa Nabi, Sahabat dan kejayaan Islam). Bahkan, jika normatifisme dijadikan sebagai pemikiran yang absolut, maka ekonomi islam akan menjadi pilihan mutlak tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi perkembangan ekonomi kontemporer.[1]
Jika merujuk pada pendapat Andiwarman Karim, maka model pemikiran ini cenderung pada yang dikembangkan oleh Baqiras-Shadr dengan bukunya Iqtishaduna. Ia menjustifikasi bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap islam. Keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Ash-badr menolak statemen bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Hal tersebut sangat tidak relevan, karena firman Allah Swt. Dalam surat Al-Qamar (54;49) dinyatakan “Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya”.
Bahkan, alat solusi yang dikembangkan pada persoalan-persoalan ekonomi pun selalu akan bersifat “normatif” tanpa adanya metode-metode yang lebih berdimensi kompromistik.
Islam sebagai ajaran yang sangat lengkap sebagaimana telah dibahas pada kedudukan aqidah, syari’ah, dan akhlaq tentulah tidak sangat kurang dari proses perkembangan peradaban ekonomi. Akan tetapi, jika menganut pada faham “teologi proses”, maka sesungguhnya islam akan terbuka pada proses perkembangan zaman. [2]Seperti pemberlakuan “jizyah” yang dikenakan pada kaum penduduk non-muslim, “ghonimah” sebagai bagian dari perampasan perang tentu kurang lagi konstektual pada saat ini. Walaupun hal tersebut secara nomatif tidak bisa dinisbihkan sebagai bagian dari ajaran islam.
Demikian juga dalam mensikapi perkembangan lembaga keuangan kontemporer yang selama ini berbasis interest (bunga). Sistem yang terjadi pada saat ini, jika “riba” diterjemahkan secara normatif bahwa sesuatu yang berlebih dari nilai pinjaman adalah “riba”, maka sangat sulit untuk menciptakan lembaga keuangan. Dibutuhkan modifikasi dan rekayasa-rekayasa yang menjadikan norma islam menjadi aplikabel tanpa islam sebagai sistem alergi terhadap proses perkembangan transaksi-transaksi modern.

B.     Mix Normatifisme Emperisme ( Positivisme )
Tesis positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dalam positivisme, segala keberadaban segala kekuatan atau subjek di luar fakta atau penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta akan ditolak.Setiap definisi harus dalam ranah pengetahuan manusia, tidak ada nilai (value) di dalamnya. Ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictivedan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generasi-generasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Selama ini, metodologi filosofi positivisme mengadopsi ilmu alam dan dengan menggunakan matematika, terutama statistika sebagai cara untuk menguji hipotesis dan sebagai landasan utama pengembangan sistem[3].
Akan tetapi, Islam tidak selamanya harus postivisme. Dalam islam, ada kehadiran Tuhan sebagai bagian yang berkuasa atas segala alam (innallaha ala kullisya’inqadir;  sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), tetapi Tuhan juga menciptakan kekuasaan yang terletak pada manusia (innallahaidyughayyirumabiqoamin hatta yughoyyirumabianfusihim; Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka merubah nasib dengan diri mereka sendiri).
Oleh karenanya, menghadapi problem-problem ekonomi dapat dirujukkan pada konseptual yang bersifat normatif dan diselesaikan dengan paradigma yang positivistik.
Metode normatifisme-positifismedapat dilihat pada karya-karya M. UmerChapra, M. Abdul Mannan, M. NejatullahSiddiqi, MonserKhaf, Muhammad Yunus dan lain-lain. Pada saat ini, faham ini juga menjadi bagian yang paling banyak diminati oleh ilmuan Islam di bidang ekonomi. Oleh karenanya, Adiwarman menyebutnya dengan madzhabmainstream, aliran besar yang banyak dijadikan landasan berpikir.
Dalam metode ini, fakta-fakta ekonomi yang digali tidak begitu berbeda dengan pendapat konvensional, hanya saja yang membedakan adalah cara penyelesaian permasalahan (method of problem solving).
Hal ini berbeda dengan penentuan skala prioritas dalam ekonomi konvensional yang tergantung pada individu dengan atau tanpa pendekatan agama tapi dengan “mempertuhankan hawa nafsu dan materi”. Mazhab ini berpendapat dalam ekonomi islam, keputusan pilihan tidak dapat dilakukan semaunya saja. Prilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk ekonomi, harus merujuk pada ajaran Allah Swt. Lewat Al-Qur’an dan Sunnah.[4]
Mazhab ini juga setuju dengan kemunculan masalah ekonomi karena ketebatasan sumber daya yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas . Namun, keterbatasan sumber manusia tersebut, hanya terjadi pada berbagai tempat dan waktu saja, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2:155), yang artinya: “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”.
Selain keterbatasan merupakan ujian dari Allah Swt., juga sifat manusia yang berkeinginan tidak terbatas dianggap sebagai sifat yang alamiah. Disebutkan dalam al-Qur’ansurat At-Takatsur (102:1-5), yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”. [5]

C.    Mazhab Kritis
Dipelopori oleh Timur kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), yaitu mengkritisi kedua mazhab di atas. Mereka berpendapat yang perlu dikritisi tidak saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi Islam itu sendiri.[6]
Dari sekian literatur dan perkembangan perekonomian Islam di dunia, tampaknya madzhabnormatifisme-positivisme lebih fleksibel dan dominan dalam berkiprah.
Seperti yang ditulis oleh Muhammad Muslehuddin, bahwa sesungguhnya esensi daripada ekonomi Islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun (established) dan ditegakkan berdasarkan syariah, dan (kemungkinan) menerima unsur ekonomi lainnya selama tidak bertentangan dengannya.[7]
Teori Kritis.
Kritis adalah konsep kunci utama memahami teori kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris atas kebudayaan dan masyarakat modern. Dalam arti sempit, Istilah Teori Kritis sudah lama diterapkan dalam rentang yang sangat luas terhadap beberapa teori dan disiplin ilmu yang berbeda. Teori Kritis merujuk kepada pandangan yang diusung oleh Mazhab Frankfurt terutama tulisan-tulisan awal yang dibuat oleh Max Horkheimer, Theodor W Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Krits sendiri didefinisikan sebagai jenis teori sosial yang berasal dari para pemikir Marxis Barat di Institut Riset Sosial, Universitas Frankfurt. Itulah sebabnya gagasan Teori Kritis juga disebut sebagai gagasan Mazhab Frankfurt.
Istilah teori kritis ini pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk sainstisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjunis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai otang terakhir dalam tradisi.



[1],Ahmad Dahlan,PenganatarEkonomi Islam (Purwokerto: STAIN press,2009) hal 69
[2]Ibid hal 70-71
[3]Ahmad Dahlan, PengantarEkonomi Islam, (Purwokerto: STAIN Press, 2009)hal 71
[4]Ibid hal 72
[5]Ibid hal 73
[6]AdiwiramanKarim, EkonomiMikroMakroislam (Jakarta:IIIT Indonesia, 2002)hal 13
[7]Ahmad Dahlan, PengantarEkonomi Islam (Purwokerto: STAIN Press, 2009)hal 74