PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Disadari
atau tidak sesungguhnya Allah memahami bahwa kehidupan duniawi manusia
senantiasa berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Adanya kehidupan yang
bervariasi ini sesungguhnya mengajarkan umat Islam untuk saling memahami,
tolong menolong dan hormat menghormati karena secara naluriah manusia berwatak
saling membutuhkan. Sehingga segala aturan Allah mengarah pada terapainya
kebaikan, kesejahteraan, keutamaan serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan
dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.
Demikian
pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan
di dunia dan akhirat. Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha,
termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis seseorang
dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu
yang diharapkan. Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya melakukan
kerjasama yang terorganisasi dengan baik. Dalam konteks itu, maka prinsip Mudharabah,
Musyarakah dan Murabahah menjadi salah satu pilihan yang baik bagi
basyarakat ketika akan melakukan kerjasama dalam bidang muamalah.
B.
Metodologi
Bagaimana Konsep dan Aplikasi Penerapan Model Kerjasama dalam Islam
dengan Prinsip Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah?
C.
Tujuan
Untuk Mengetahui Konsep dan Aplikasi Penerapan Model Kerjasama dalam
Islam dengan Prinsip Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah.
PEMBAHASAN
A.
Mudharabah
1.
Pengertian
Mudharabah
Secara
etimologi kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa
arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya
memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah,
mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna bergantung pada kata
yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.[1]
Definisi
secara terminologi bagi mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh
beberapa ulama madzhab, diantaranya :
a.
Menurut
Madzhab Hanafi, yaitu suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan
dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
b.
Madzhab
Maliki memaknainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam
jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan
uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungan.[2]
c.
Madzhab
Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada
pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi
milik bersama antara keduanya.
d.
Menurut
Madzhab Hanbali adalah penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah
yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan
bagian tertentu dari keuntungannya.[3]
Definisi yang dapat mewakili pengertian mudharabah adalah
suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan
karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al-mal) kepada
pengelola (mudharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan
ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut
dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha tersebut
tidak mendatangkan hasil maka kerugian sepenuhnya ditanggung pemilik modal
dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.[4]
Mudharabah adalah akad
yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, Ketika Nabi Muhammad
berprofesi sebagai pedagang beliau melakukan akad mudharabah dengan
Khadijah. Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu
Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi. Dalam kasus
ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-mal) sedangkan
Nabi Muhammad sebagai pelaksana Usaha (mudharib).[5]
2.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Sebagaimana
akad yang lain dalam Islam, akad mudharabah menjadi sah, maka harus memenuhi rukun dan
syarat mudharabah. Menurut madzhab hanafi, apabila rukun sudah terpenuhi
tetapi syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga akad
tersebut menjadi fasid (rusak).[6]
Adapun rukun perjanjian mudharabah adalah :
a.
Ijab dan Qabul
Ijab dan qabul antara kedua pihak memiliki syarat : (a) Ijab
dan qabul harus jelas menunjukan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah,
(b) Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak
sampai dan diketahui oleh pihak kedua, (c) Ijab dan qabul harus
sesuai maksud pihak pertama cocok dengan keinginan pihak kedua.[7]
b.
Adanya
Dua Pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha).
Para pihak
(shahib al-mal dan mudharib) disyaratkan : (a) cakap bertindak hukum
secara syar’i. (b) memiliki wilayah al-tawkil wa al-wikalah
(memiliki kewenangan mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberi kuasa),
karena penyerahan modal kepada mudharib merupakan suatu pemberian kuasa.
c.
Adanya
Modal. Adapun modal yang disyaratkan : (a) modal harus jelas jumlah dan
jenisnya, diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan sengketa
dalam pembagian laba. (b) harus berupa uang (bukan barang), mudharabah dengan
barang dapat menimbulkan kesamaran. (c) uang bersifat tunai bukan utang.[8] (d)
Modal diserahkan kepada sepenuhnya kepada pengelola secara langsung.
d.
Adanya
Usaha (al-‘aml). Mengenai jenis usaha ulama Syafi’i dan Maliki
mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang mereka menolak usaha
yang berjenis industri dengan anggapan bahwa kegiatan industri termasuk dalam
kontrak persewaan (ijarah) yang mana kerugian dan keuntungan ditanggung
oleh pemilik modal, sementara pegawainya digaji secara tetap. Tetapi Abu
Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan
kerajinan atau industri.[9]
e.
Adanya
Keuntungan. Disyaratkan (a) keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan
persentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungan
setelah dipotong besarnya modal. (b) keuntungan tidak ditentukan dalam jumlah
nominal misal 1 juta, karena berarti shahib al-mal telah mematok untung
dari usaha yang belum jelas untung atau rugi. (c) Nisbah pembagian
ditentukan berdasarkan prosentase misal 60% : 40%.[10] (d)
keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh dijanjikan bahwa
seluruh keuntungan untuk salah satu pihak.[11]
3.
Bentuk-Bentuk
Mudharabah
a.
Mudharabah muthlaqah
Dalam mudharabah
muthlaqah, pekerja (mudharib) bebas untuk mengelola modal yang diberikan
oleh pemilik modal (shahib al-mal) dengan usaha apa saja yang menurutnya
akan mendapatkan keuntungan dan di daerah mana saja yang diinginkan.
b.
Mudharabah muqayyadah
Disebut dengan
istilah restricted, yaitu kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Pemilik
modal memberi batasan kepada pekerja untuk mengikuti syarat-syarat yang
dikemukakan oleh pemilik modal, seperti harus membeli barang kepada orang
tertentu.[12]
4.
Kesepakatan
dan Implikasi Kontrak Mudharabah
Sebagai
sebuah kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan
bersatu dalam tujuan, maka diperlukan beberapa kesepakatan, diantaranya :
a.
Manajemen.
Pengelolaan usaha dalam kerjasama mudharabah membutuhkan kreatifitas dan
keterampilan tertentu. Dalam kaitannya dengan manajemen, kebebasan mudharib
dalam merencanakan, merancang, mengatur dan mengelola usaha merupakan faktor
yang menentukan.[13]
b.
Tenggang
Waktu (Duration). Satu hal yang harus mendapat kesepakatan adalah
lamanya waktu usaha, karena tidak semua modal itu dana mati yang tidak
dibutuhkan oleh pemiliknya. Penentuan waktu adalah sebuah cara untuk memacu mudharib
bertindak lebih efektif dan terencana.[14]
c.
Jaminan
(dliman).
Para
ulama bereda pendapat mengenai keharusan adanya tanggungan dalam mudharabah.
Para fuqaha pada dasarnya tidak setuju adanya tanggungan. Alasannya mudharabah
merupakan kerjasama saling menanggung, satu pihak menanggung modal dan yang
satu menanggung kerja. Namun jaminan menjadi menjadi perlu ketika modal yang
rusak melampaui batas. Menurut Imam Malik dan Syafi’i, jika shahib al-mal
bersikeras terhadap adanya jaminan dari mudharib dan menetapkannya
sebagai bagian dari kontrak, maka kontrak menjadi tidak sah.
Ketika
sebuah kontrak telah disepakati, maka kontrak tersebut menjadi sebuh hukum yang
tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Kesepakatan kontrak mudharabah yang
menjadi hukum tersebut membawa beberapa implikasi, diantaranya:
a.
Mudharib sebagai Amin (orang yang dipercaya)
Seorang mudharib
menjadi amin untuk modal yang telah diserahkan kepadanya. Modal yang
diserahkan adalah amanah yang harus dijaga oleh mudharib.[15] Dengan
diposisikannya mudharib sebagai amin dapat memunculkan kesadaran
dan sikap kehati-hatian pengelola dalam megolah usahanya utamanya memisahkan
antara modal pribadi dan orang lain dalam penghitungan keuntungannya.
b.
Mudharib sebagai wakil
Mudharib adalah wakil dari sahib al-mal menjelaskan bahwa mudharib
merupakan tangan kanan dari shahib al-mal, tentu dia tidak menanggung
papun dari modal ketika terjadi kerugian. Namun menurut mayoritas fuqaha
seorang wakil tetap akan mendapat upah dari kerjanya.
c.
Mudharib sebagai mitra dalam laba
Mudharib akan mendapatkan bagian laba dari usaha yang telah dia lakukan,
sebab mudharabah sendiri adalah pertemanan dalam laba. Dengaan
menjadikannya mudharib sebagai mitra dalam laba maka besar atau kecilnya
laba akan sangat tergantung pada ketrampilan mudharib dalam menjalankan
usahanya.[16]
5.
Berakhirnya
Akad Mudharabah
Akad
mudharabah dinyatakan batal dalam hal-hal sebagai berikut :
a.
Modal
usaha habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh pengelola.
b.
Salah
satu dari orang yang berakad meninggal dunia.[17] Jika
pemilik modal wafat, menurut Jumhur Ulama, akad tersebut batal, karena akad mudharabah
sama dengan wakalah (perwakilan) yang gugur disebabkan wafatnya orang
yang mewakilkan, dan akad mudharabah tidak bisa diwariskan. Ulama Madzab Maliki berpendapat jika salah
seorang yang berakad meningal dunia, akadnya tidak batal, dan akad mudharabah
bisa diwariskan
c.
Salah
seorang yang berakad menjadi gila.
B.
Musyarakah
1.
Pengertian Musyarakah
Menurut bahasa musyarakah
berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain
sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[18]
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau
keterampilan usaha) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai kesepakatan.[19]
2.
Jenis-Jenis Musyarakah
a.
Musyarakah Pemilikan
Musyarakah pemilikan tercipta karena
warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu aset
oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau
lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dalam keuntungan yang
dihasilkan dari aset tersebut.[20]
Musyarakah pemilikan kadang
bersifat ikhtiaryyah (sukarela) atau jabariyyah (tidak sukarela),
apabila harta bersama (warisan/hibah/wasiat) dapat dibagi, namun para mitra
memutuskan untuk tetap memilikinya bersama, maka musyarakah pemilikan
tersebut bersifat ikhtiari. Akan tetapi apabila barang tersebut tidak
dapat dibagi-bagi dan mereka terpaksa untuk memilikinya bersama maka musyarakah
pemilikan tersebut bersifat jabari.[21]
b.
Musyarakah Akad (Kontrak)
Musyarakah akad tercipta dengan cara
kesepakatan di antara dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka
memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan
kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi lima macam, yaitu :
1)
Syirkah al-’inan
Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih di
mana setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama
sebagaimana kesepakatan. Akan tetapi porsi masing-masing pihak baik dalam dana
maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan harus identik dengan
kesepakatan mereka.
2)
Syirkah al-mufawadhah
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih
di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara
sama sebagaimana kesepakatan. Dengan dengan demikian syarat utama dari jenis
musyarakah ini adalah kesamaan dana, tanggung jawab, laba dan kerugian.
3)
Syirkah al-a’mal
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang profesi
untuk menerima pekerjaan secara bersama dan membagi keuntungan dalam pekerjaan
itu. Misalnya, kerjasama dua arsitek untuk mengarap sebuah proyek. Jenis musyarakah
ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau shana’i.
4)
Syirkah al-wujuh
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih
yang memiliki reputasi dan prestis yang baik serta ahli dalam berbisnis. Mereka
membeli barang secara kredit dari perusahaan dan menjual barang tersebut secara
tunai. Mereka membagi keuntungan dan kerugian secara sama berdasarkan jaminan
kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.
5)
Syirkah al-mudharabah
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih
di mana terdapat pihak yang menyediakan modal dan ada pula pihak yang
menyediakan keterampilan kerja.[22]
3.
Pembubaran Syirkah
Syirkah menjadi batal karena
meninggalnya salah seorang persero (syarik), atau karena salah seorang
diantara mereka gila, atau dikendalikan pihak lain karena al-mahjur atau
karena salah seorang di antara mereka membubarkannya.
Apabila syirkah
tersebut terdiri atas dua orang, sementara syirkah adalah bentuk akad yang
mubah, maka dengan adanya hal-hal semacam ini, akad tersebut batal dengan
sendirinya sebagaimana akad wakalah. Bila salah seorang syarik
meninggal dan mempunyai ahli waris yang telah dewasa, ahli warisnya bisa
meneruskan syirkah tersebut. Dia juga bisa diberi izin untuk ikut dalam
mengelola, di samping dia berhak menuntut bagian keuntungan. Jika salah seorang
syarik menuntut pembubaran, syarik yang lain harus memenuhi
tuntutan tersebut.
Apabila syirkah itu
terdiri atas beberapa syarik, lalu salah seorang di antara mereka
menuntut pembubaran, sedangkan yang lain tetap bersedia melanjutkan syirkah-nya
itu, syarik yang lain statusnya tetap sebagai syarik, di mana
syirkah yang telah dijalankan sebelumnya telah rusak, kemudian diperbarui di
antara syarik yang masih bertahan untuk mengadakan syirkah
tersebut.
Perlu dibedakan antara
pembubaran dalam syirkah mudharabah dan syirkah yang lain. Dalam syirkah
mudharabah, apabila pengelola menuntut dilakukan penjualan sedangkan syarik
yang lain menuntut bagian keuntungan, tuntutan pengelola tersebut harus
dipenuhi sebab keuntungan tersebut adalah haknya, karena keuntungan tidak
terwujud selain dalam penjualan. Adapun dalam syirkah yang lain, apabila
salah seorang di antara mereka menuntut bagian keuntungan, sedangkan yang lain
menuntut dilakukan penjualan, tuntutan bagian keuntungan tersebut harus
dipenuhi, sedangkan tuntutan penjualan tidak demikian.[23]
4.
Contoh aplikasi syirkah
a.
Aplikasi syirkah dalam bisnis
Siddiqi (1996) menuliskan
bahwa Islam telah membolehkan semua bentuk bisnis untuk dilaksanakan oleh satu
orang individu, bisnis tersebut juga boleh jika dilakukan secara bersama-sama
atau dengan mengambil bagian di dalamnya.
Aplikasi bisnis seperti ini diantaranya adalah Syirkah Mudharabah
untuk industri, perdagangan dan perniagaan, muzara’ah (pembagian hasil
panen), serta musaqat (pertanian) dalam bisnis pertanian. Begitu pula Syirkah
abdan atau sana’i dalam kerajinan pada umumnya atau industri.[24]
b.
Aplikasi dalam perbankan
1)
Pembiayaan Proyek. Musyarakah dalam hal ini
biasanya diterapkan untuk pembiayaan proyek nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.[25]
2)
Modal Venture. Pada lembaga keuangan khusus yang
dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah
diterapkan dalam skema modal venture. Penanaman modal dilakukan untuk jangka
waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan investasi atau menjual bagian
sahamnya baik secara singkat maupun bertahap.[26]
C.
Murabahah
1.
Pengertian
Murabahah
Pengertian murabahah secara lafdzi berasal dari
masdar ribhun (keuntungan). Murabahah
adalah masdar dari Rabahu – Yurabihu –
Murabahatan (memberi keuntungan). Sedangkan secara istilah, Wahbah al
Zuhailiy mengutip beberapa definisi yang diberikan oleh para imam mujtahid.
Diantaranya adalah :
a.
Ulama’
Hanafiyah mengatakan, murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang
kepada orang lain sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik
awal ditambah dengan keuntungan yang diinginkan.
b.
Ulama’
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat Murabahah adalah jual beli yang dilakukan
seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan
syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Sehingga dapat dipahami bahwa murabahah
merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu, yaitu keharusan
adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli
sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh
penjual harus atas kesepakatan kedua belah pihak.[27]
2.
Dasar
Hukum
Sebagaimana diketahui murabahah adalah salah satu
jenis dari jual beli, khususnya jual beli
amanah. Maka landasan syar’i akad murabahah adalah keumuman dalil
syara’ tentang jual beli. Diantaranya :
a.
Al
Qur’an
-
Q.S
Al Baqoroh ayar 275
“....Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba....”
-
Q.S An-Nisa Ayat 29
“
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka di antara kamu.......”
b.
Hadis
-
Ketika
Rasulullah akan hijrah, Abu Bakar, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah
berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar
menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi
apapun", Rasulullah bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak
mau".
-
Sebuah
riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan Bahwa boleh
melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk
setiap sepuluh dirham harga pokok. [28]
c.
Kaidah
Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلاَتِ
الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهاَ
3.
Rukun
dan Syarat Murabahah
Rukun murabahah ada 5 yaitu penjual (Ba’i),
Pembeli (Musytari), Objek jual Beli (Mabi’), Harga (Tsaman),
Ijab Qabul.[30] Syafi’i Antonio
menetapkan persyaratan murabahah sebagai berikut :
a.
Penjual
memberi tahu biaya modal atau harga pembelian awal kepada calon pembeli beserta
besarnya keuntungan.
b.
Kontrak
pertama harus syah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak
harus bebas dari riba.
d.
Penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian.
e.
Penjual
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang.[31]
4.
Jenis
Murabahah
a.
Murabahah
tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak,
bank syariah menyediakan barang dagangannya. Penyedian barang ini tidak
terpengaruh atau terikat langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
b.
Murabahah
berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan melakukan transaksi
murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang, sehingga
penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah berdasarkan
pesanan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu murabahah berdasarkan pesanan dan
bersifat mengikat , maksudnya apabila telah pesan harus beli. Dan murabahah
berdasarkan pesanan dan bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah
telah memesan baran, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau
membatalkan barang tersebut.[32]
5.
Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah
a.
Pembiayaan
Murabahah
Akad
murabahah digunakan oleh bank untuk memfasilitasi nasabah melakukan pembelian
dalam rangka memenuhi kebutuhan :
1)
Barang
konsumsi seperti rumah, kendaraan/alat transportasi, alat-alat rumah tangga dan
sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun).
2)
Pengadaan
barang dagang, bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak termasuk
proses produksi).
3)
Barang
modal seperti pabrik, mesin, dan sejenisnya.
4)
Barang
lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah.[33]
b.
Uang
Muka dan Potongan dalam Murabahah
1)
Apabila
nasabah memberikan uang muka (Urbun), maka uang muka tersebut diperlukan
sebagai pengurang hutang nasabah.
2)
Bank
dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah. Uang muka menjadi bagian
pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan (tidak
diperkenankan sebagai pembayar angsuran). Tetapi apabila murabahah batal, uang
muka dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai
dengan kesepakatan,
3)
Apabila
setelah akad transaksi murabahah, pemasok memberikan potongan harga atas barang
yang dibeli oleh bank dan telah dijual kepada nasabah, maka potongan harga
menjadi hak nasabah.
4)
Bank
dapat memberi potongan harga (Muqossah), apabila nasabah melakukan
pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah
disepakati, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.[34]
c.
Contoh
Kasus Penerapan Akad Murabahah Pada Bank Syariah
Bapak Kholid akan mengajukan pembiayaan untuk membeli
mobil seharga Rp. 150.000.000;. disepakati Bapak Kholid akan membeli mobil
tersebut ke diller mobil (Supplier) yang telah menjadi mitra bank
syariah, yang kemudian akan dikirim kepada Bapak Kholid dengan nama kepemilikan
barang langsung Bapak Kholid.
Bapak Kholid membayar
mobil secara tangguh kepada bank selama 15 bulan, dengan cicilan pokok
sebesar Rp. 10.000.000; per bulan. Dikarenakan membayar secara tangguh,
maka terdapat kewajiban lain yang harus dibayarkan yaitu membayar keuntungan
tambahan kepada bank. Keuntungan tambahan ini seringkali disebut profit
margin atau mark-up price. Disepakati selama 15 bulan, Bapak Kholid
harus membayar keuntungan sebesar Rp. 21.000.000.
Sehingga
dalam 15 bulan Bapak Kholid akan membayar total sebesar Rp.171.000.000.
Perubahan harga mobil yang semula Rp.150.000.000 menjadi Rp. 171.000.000
disebut mark-up price. Atau harga yang dinaikan atas dasar pertimbangan
banyak aspek yang ditawarkan oleh pihak bank
kepada nasabah pada saat negosiasi.[35]
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas mengenai model kerjasama dalam Islam yang didalamnya terdapat
beberapa bentuk kerjasama diantaranya adalah Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah.
Mudharabah adalah suatu akad
yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan karakter
tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al-mal) kepada pengelola (mudharib)
untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut
mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan
sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil maka kerugian
sepenuhnya ditanggung pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana
atau keterampilan usaha dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Sedangkan Murabahah
merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu, yaitu keharusan
adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli
sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh
penjual harus atas kesepakatan kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. Yazid, M.Ag. 2009. Fiqh
Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Dahlan, Ahmad. 2012. Bank
Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, Yogyakarta : Teras.
Muhammad. 2004. Etika
Bisnis Islami, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Muhammad. 2009. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah :
Panduan Teknis Pembuatan Akad / Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah, Yogyakarta
: UII Press.
Naf’an. 2014. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Yogyakarta
: Graha Ilmu, 2014.
Rosyidin, Ahmad Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan
Mudharabah, Yogyakarta : Global Pustaka Utama.
Wiroso. 2005. Jual beli Murabahah, Yogyakarta : UII Press.
[1] Muhammad, Etika
Bisnis Islami, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 80.
[2] Ibid., hlm.
82.
[3] Ibid., hlm.
83.
[4] Ibid., hlm.
84.
[5] Naf’an, Pembiayaan
Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014), hlm. 114.
[6] Ibid., hlm.
117.
[7] Muhammad, Etika
Bisnis Islami...hlm. 85.
[8] Ibid., hlm.
86.
[9] Ibid., hlm.
87.
[10] Ibid., hlm.
88.
[11] Ibid., hlm.
89.
[12] Ahmad Dahlan
Rosyidin. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah, (Yogyakarta : Global
Pustaka Utama, 2004), hlm. 33-34.
[13] Muhammad, Etika
Bisnis Islami...hlm. 89.
[14] Ibid., hlm.
90.
[15] Ibid., hlm.
91.
[16] Ibid., hlm.
92.
[17] Ahmad Dahlan
Rosyidin. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah...hlm. 37.
[18] Naf’an, Pembiayaan
Musyarakah dan Mudharabah...hlm. 96.
[19] Muhammad, Etika
Bisnis Islami...hlm. 78.
[20] Ibid., hlm.
78.
[21] Naf’an, Pembiayaan
Musyarakah dan Mudharabah...hlm. 100-101.
[22] Muhammad, Etika
Bisnis Islami...hlm. 79.
[23] M. Ismail
Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta
: Gema Insani Press, 2002), hlm. 131-132.
[24] Ibid., hlm.
132.
[25] Muhammad, Etika
Bisnis Islami...hlm. 79.
[26] Ibid., hlm.
80.
[27] M. Yazid
Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009), hlm. 85-86.
[28] Ibid., 87-90.
[29] Wiroso, Jual
beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm.45-46.
[30] Muhammad, Model-Model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah Panduan Teknis Pembuatan Akad / Perjanjian
Pembiayaan Pada Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.58.
[31] M. Yazid
Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah...hlm.
90-92.
[32] Wiroso, Jual
beli Murabahah... hlm.37-38.
[33] Muhammad, Model-Model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah...hlm. 67-68.
[34] Ibid.
Hlm. 70.
[35] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, (
Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.193-194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar