Kamis, 06 Juli 2017

Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah, Muamalah & dalam menentukan Skala Prioritas

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-cabang fikih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah atau juga disebut al-dhabith oleh sebagian ulama. Sebagai landasan aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli ushul maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah diterapkan kepada masyarakat luas.

B.       Rumusan Masalah
Bagaimana Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah, Muamalah atau Transaksi dan dalam menentukan Skala Prioritas ?

C.      Tujuan
Untuk Mengetahu Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah, Muamalah atau Transaksi dan dalam menentukan Skala Prioritas.

D.      Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.

PEMBAHASAN

A.      Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Ibadah Mahdhah
Yang dimaksud ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT yang bersifat ritual (peribadatan), seperti : shalat, zakat, puasa, dan haji. Kaidah ini mimiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya bahwa Allah tidak bisa disembah kecuali dengan cara yang telah ditentukan. Banyak kaidah yang berhubungan dengan bidang fikih mahdhah, diantaranya :
1.         
الأَ صْلُ فِي العِبَادَةِ التَوْقِيْف وَالإِتْبَاع
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntutan syariah”[1]
Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan kaidah :
اَلأَصْلُ فِي العِبَادَةِ البُطْلآ نُ حَتَّى يَقُو مَ الدَّ لِيْلُ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”
Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah mahdah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.[2]
2.         
اَلْإِ يْثَارُفِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِ هَامَحْبُوبٌ
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan pada urusan selain ibadah adalah disenangi.”
Maksud dari kaidah ini bahwa dalam urusan ubudiyah atau pendekatan diri kepada Allah, apabila seseorang mengutamakan orang lain dari dirinya, maka dipandang makruh. Seperti mengutamakan orang lain untuk berdiri pada shaf awal diwaktu shalat jama’ah, mengutamakan atau mendahulukan orang lain dalam bershadaqoh kepada fakir miskin, mengutamakan orang lain dalam menutup ‘aurat pada hal dirinya masih belum menutup ‘aurat dan sebagainya. Sebalinya, dalam urusan selain ibadah yaitu urusan mu’amalat atau dalam urusan keduniaan pada umumnya mengutamakan orang lain dari padanya adalah dipandang sunnah, seperti mengutamakan orang lain dalam menerima/mengambil bagian dari harta zakat, mengutamakan orang lain dalam dunia perniagaan dengan harapan agar orang itu mendapat keuntungan dan sebagainya.[3]
3.         
تَقْدِيْمُ العِبَادَةِ قَبْلَ وُجُودِ سَبَبِهَا لاَيَصِحُّ
“Tidak sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya.”
Contoh : tidak sah shalat, haji, puasa ramadan sebelum datang waktunya. Kekecualian apabila cara-cara lain yang ditentukan karena ada kesulitan atau keadaan darurat, seperti jama taqdim, misalnya melakukan shalat ashar pada waktu dhuhur.[4]
4.         
لاَ قِيَاسَ فِي العِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ المعْنَى
“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya.”
Kaidah diatas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya untuk kasus yang bisa dipahami maknanya atau ‘illat hukumnya. Untuk kasus yang tidak bisa dipahami ‘illat hukumnya tidak bisa dianalogikan.[5] Contoh : tentang zakat tanaman yang bersifat ta’aqquli, artinya bisa dipahami maksudnya. Meskipun kemudian dalam memahaminya, ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafi’i zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah yang menjadi makanan pokok dalam negeri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, yang wajib dikeluarkan adalah tanaman yang bisa dikembangkan dan menghasilkan.[6]
5.         
كُلُّ مَا وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْئٌ فَقَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ
“Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib mengqadhanya.”
Ulama Syafi’iyah menggunakan kaidah ini secara ketat dalam setiap kewajiban, kecuali wanita yang meninggalkan shalat karena haid. Ulama lain memnerikan banyak kekecualian seperti tidak ada qadha untuk shalat wajib, sebab shalat harus dilakuka sesuai dengan kemampuan yang ada. Tetapi untuk kewajiban puasa ramadhan ulama sepakat ada qadha.[7]
6.         
العِبَادَةُ الوَارِدَةُ عَلَى وُجُوهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوزُ فِعْلَهَا عَلَى جَمِيْعِ تِلْكَ الوُجُوهِ الوَارِدَةِ فِيهَا
“Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuk tersebut.”
Maksudnya adalah dalam beribadah sering ditemukan tidak hanya satu cara. Dalam hal ini, boleh memilih salah satu cara yang didawamkannya (konsistem melakukannya). Boleh pula dalam satu waktu dengan cara tertentu dan pada waktu lain dengan cara yang lain. Boleh pula menggabungkan cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi. Contoh : seperti bacaan doa takbirat al-ihram, ada bermacam-macam doa yang diwiridkan, sehingga boleh memilihnya. Shalat ba’diyah jumat boleh dua rakaat atau empat rakaat.[8]

B.       Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Muamalah
Dalam kehidupan ekonomi/muamalah, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang sangat penting. Seiring perkembangan zaman, keperluan adanya qaidah yang lebih banyak tampaknya tidak dapat dihindarkan.[9] Banyak sekali usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Sudah tentu dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, melahirkan model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang disatu sisi tetap Islami dan mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah ini.[10]
1.         
الأَصْلُ فِى المُعَا مَلَةِ الإِبَاحَةُ إلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَ لِيْلٌ عَلَى تَحْرِ يْمِهَا
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah atau musyarakah), perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan seperti tipuan, judi dan riba.[11]
2.         
اَلْاَصْلُ فِى الْعَقْدِرِضَى الْمُتَعَا قِدَيْنِ وَنَتِيْجَتُهُ مَاإِلْتِزَمَاهُ بِالتَّعَاقُدِ
“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan hasilnya apa yang salingditentukan dalam akad tersebut.”
Maksud kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas kebebasan dan kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu pihak, bila itu terjadi maka transaksinya tidak sah.[12] Contohnya pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
3.         
البَاطِلُ لاَيَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.[13] Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh DSN, akad baru sah apabila lembaga keuangan lain mau menggunakan akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
4.         
الإِجَازَةُ اللاَحِقَةُ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”
Pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
5.         
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَيَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah ini adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada dipasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada dipasaran. Contoh : seorang menyewa kendaraan penumpanguntuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak.[14] Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
6.         
الخَرَاجُ بِالضَّمَانُ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi. Contohnya : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah hak pembeli.
7.         
إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila susuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya.”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
8.         
العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang objeknya, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dan akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
9.         
إلاَّبِالقَبْضِ لاَيَتِمُّ التَّبَرُّعُ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.[15]
10.     
الجَوَازُ الشَّرْعِى ينَافِى الضَّمَانَ
“Sesuatu hal yang dibolehkan oleh syara tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya A menggali sumur di tempat miliknya sendiri, kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.[16]
11.     
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَومِن مُقْتَضَاهُ فَهُوَجَائِزٌ
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebutbdibolehkan.”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerimaan gadai berhak untuk menjualna. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.[17]

C.      Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Menentukan Skala Prioritas
Dalam kehidupan ini, sering kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang tidak mudah. Pilihan itu dihadapkan kepada kita, baik dalam masalah yang bersifat individual, kehidupan keluarga, maupun masyarakat. Pilihan mana yang diambil mengacu kepada nilai-nilai yang dianut oleh yang bersangkutan tentang keyakinan akan kebenaran, kebaikan, kemaslahatan, dan hati nuraninya, yang tersimpul dalam kearifannya menentukan pilihannya. Dalam hal ini, pilihan tersebut mengedepankan skala prioritas.[18] Dibawah ini beberapa skala prioritas dalam memilih alternatif yang digali dari ilmu fikih yang disimpulkan oleh para ulama dalam kaidah fikih :
1.         
دَرْءُ المفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama kita dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti kita juga meraih kemlasahatan.[19]
2.         
المَصْلَحَةُ العَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى المصَلَحَةِ الخَاصَةِ
“Kemlasahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemlasahatan yang khusus”
Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila berebeturan antara kemaslahatan umum dengan kemaslahatan yang khusus, maka kemaslahatan yang umum yang di dahulukan, karena dalam kemaslahatan yang umum itu terkandung pula kemaslahatan yang khusus, tetapi tidak sebaliknya. Contoh : pencabutan hak milik pribadi demi kemaslahatan umum, seperti dalam teori ta’ashuf dari mazhab maliki yang membolehkan pemerintah/pengadilan merampas hak milik pribadi yang digunakan untuk kejahatan. Misal, pisau atau senjata lain yang digunakan untuk membunuh/melukai orang lain.[20]
3.         
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada mudlaratnya”
Dengan kaidah ini dimaksudkan, manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus dipilih atau diseleksi, manakala diantara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan. [21] Misalnya : merusak fisik itu adalah memudaratkan, tetapi membiarkan penyakit dalam perut yang bisa membawa kematian adalah lebih besar mudaratnya. Maka, dibolehkan mengoperasi manusia demi untuk mengeluarkan penyakit dalam tubuhnya.
4.         
مُرَا عَةُ المقَاصِدِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى رِعَايَةِ الوَسَائِلِ أَبَدًا
“Menjaga (memelihara) tujuan selamanya di dahulukan daripada memelihara cara (media) dalam mencapai tujuan.”
Dalam hukum islam ada 2 hal yang harus dibedakan, yaitu : al-maqashid (tujuan) dan ­al-wasa’il (cara mencapai tujuan). Tujuannya adalah meraih kemlasahatan dan menolak kemafsadatan. Untuk meraih kemaslahatan, ada media atau cara untuk mencapai kemlasahatan (fath al-dzari’ah). Untuk menolak kemafsadatan ada cara untuk menghindarinya (sadd al-dzari’ah).[22] Contoh : Shalat jum’at adalah wasilah berupa sadd al-dzari’ah agar orang tidak melakukan kesibukan lain pada waktu dikumandangkan azan shalat jumat selain bersegera untuk melaksanakan shalat jumat.[23]
5.         
المتَّفَقُ عَلَيْهِ مُقَدَّمٌ عَلَى المخْتَلَفِ فِيهِ
“apa yang disepakati didahulukan daripada perbedaan”
Kaidah ini adalah dibicarakan skala prioritas, yaitu apa yang disepakati didahulukan daripada perbedaan pendapat. Contoh: pembentukan OKI (Organisasi Konferensi Islam) karena adanya kesepakatan untuk sama-sama mewujudkan dunia islam dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi untuk hidup dalam keadaan damai yang diikat oleh persamaan agama yang dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah.[24]
6.         
حِفْظُ المو جُودِ أَوْلَى مِن تَحْصِيْلِ المفْقُودِ
“memilihara yang telah ada adalah lebih utama daripada mengharapkan (hasil) yang belum ada.”
Kaidah ini menegaskan untuk menjaga dan memanfaatkan apa yang telah di tangan daripada mengangan-angankan sesuatu yang belum tentu dan tidak cukup meyakinkan akan keberhasilannya.[25] Izzuddin bin Abd al-Salam mencontohkan penerapan dalam masalah penggantian kepemimpinan yang harus lebih baik dari pemimpin yang ada. Apabila ditinjau dari berbagai aspek, persyaratan kepemimpinan yang akan datang itu belum tentu lebih maslahat, maka diteruskanlah kepemimpinan yang sekarang ada untuk masa berikutnya.
7.         
إِذَا تَعَارَدَ المانِعُ وَالمقْتَضِ قَدِمَ المانِعُ
“Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yang mencegah dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukanlah yang mencegah”
Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila ada dalil atau bukti kenyataan yang bertentangan antara yang mencegah dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukan yang mencegah. Contoh : A menyewakan rumah kepada B untuk waktu 1 tahun. Kemudian sebelum habis waktu 1 tahun si A menjual rumah kepada si C. Maka si A tidak bisa menyewakan rumah kepada C sebelum habis kontraknya kepada si B. Dalam hal ini, yang mecegah penyarahannya adalah rumah si A yang sedang dikontrakan oleh si B, sedangkan yang mengharuskan penyerahan adalah rumah kontrakan tersebut telah dibeli oleh si C dari si A.[26]
8.         
الإِسْتَدَا مَةُ أَقْوَى مِنْ الإِبْتِدَاءِ
“Melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat daripada memulai”
Maksud kaidah tersebut adalah melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat dari pada memulai. Kaidah ini berhubungan dengan al-istishhab dalam ilmu ushul fiqh. Contohnya : seorang yang memiliki suatu benda atau hak tertentu, maka benda atau hak tersebut tetap menjadi miliknya selama tidak ada bukti-bukti lain yang membatalkan haknya tersebut. Misalnya, ada bukti dia telah menjualnya secara sah. Bahkan barang yang hilang atau dicuri orang, maka barang tersebut menjadi hak pemiliknya. Sebab, dia telah memilikinya sebelum benda itu hilang.[27]
9.         
الأَخْذُ بِالثِيقَة وَالعَمَلُ بِالإِحْتِيَاطِ فِي بَابِ العِبَادَةِ أَوْلَى
“Mengambil yang terpercaya dan berbuat dengan hati-hati dalam bab ibadah (hubungan manusia dengan Allah), itulah yang lebih utama.”
Kaidah ini menghendaki bahwa dalam masalah hubungan manusia dengan Allah harus mengambil dasar yang kuat dalilnya dan harus dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila seorang muslim telah melakukan ibadah haji misalnya tetapi dia slalu ingin melakukannya untuk yang kedua atau ketiga kalinya. Karena dia merasa pada haji yang pertama ada kekurangan sehingga batinnya tidak merasa puas. Padahal haji kedua dan seterusnya hukumnya sunnah.[28]


PENUTUP

A.      Kesimpulan
Banyak kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah, muamalah atau transaksi maupun dalam menetapkan skala priorotas. Semua kaidah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam mengambil suatu keputusan terhadap hal yang baru. Mengingat saat ini sudah semakin berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi maupun pola pikir manusia yang mengarahkan pada permasalahan baru yang harus ditemukan solusinya yang sesuai dengan kaidah fikih dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Kaidah-kaidah fiqh dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah maupun Sakala Priorotas sangat banyak dan menyeluruh. Salah satu manfaat dari adanya kaidah tersebut adalah akan mengetahui prinsip-prinsip umum kaidah fikih dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah maupun Sakala Priorotas serta mengetahui pokok masalah yang mewarnai kaidah fiqh dibidang tersebut yang kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah yang timbul. Adapun kedudukan kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai pelengkap, bahwa kaidah fikih yang digunakan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

















DAFTAR PUSTAKA



Djazuli, A. Prof. H. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencan.

Rahman, Asjmuni A. Drs. H. 1976. Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta : Bulan Bintang.

Andiko, Toha. Dr. H. M.Ag. 2011. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam, Yogyakarta : Teras.

Usman, Muhlish. Drs. H. MA. 1993. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta : Rajawali Pers.



[1] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 114.
[2] Ibid., hlm. 115.
[3] Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), hlm. 53-54.
[4] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.............................hlm. 117.
[5] Ibid., hlm. 116.
[6] Ibid., hlm. 117.
[7] Ibid., hlm. 120.
[8] Ibid., hlm. 119
[9] Dr. H. Toha Andiko, M.Ag., Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2011), hlm. 160-161.
[10] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih ....................hlm. 129.
[11] Ibid., hlm. 130.
[12] Drs. H. Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta : Rajawali Pers, 1993), hlm.184.
[13] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.....................hlm. 131.
[14] Ibid., hlm. 132.
[15] Ibid., hlm. 135.
[16] Ibid., hlm. 136.
[17] Ibid., hlm. 137.
[18] Ibid., hlm. 163.
[19] Ibid., hlm. 164.
[20] Ibid., hlm. 166.
[21] Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah)..... hlm. 30.
[22] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.......................hlm. 169-170.
[23] Ibid., hlm. 171.
[24] Ibid., hlm. 172-173.
[25] Ibid., hlm. 174.
[26] Ibid., hlm. 175.
[27] Ibid., hlm. 176-177.
[28] Ibid., hlm. 178.

1 komentar: