Kamis, 06 Juli 2017

Makalah Logika : Kesesatan Berfikir

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada pemikiran awam sering ketika mendengar istilah sesat pikir dipahami sesuatu yang mengerikan karena segera dijumbuhkan dengan kekacauan. Namun dalam pandangan logika sesat pikir itu bisa terjadi karena dalam penarikan kesimpulan terdapat kaidah-kaidah logis yang dilanggar, hal itu kemudian akan membawa kepada suatu kesimpulan yang sesat. Sesat pikir (fallacy) dalam pandangan logika berarti sebuah kesalahan logika.
Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur fallacy, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikir yang berakibat buruk terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bisa mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar.

B.       Rumusan Masalah
Dalam paparan diatas dapat dijadikan sumber pembahasan yaitu bagaimana kesesata-kesesatan berpikir dalam ilmu logika?

C.      Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami kesesatan berpikir dalam ilmu logika.

D.      Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Sesat Berfikir
Sesat pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berfikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.[1]
Kesesatan merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai fallacia/fallacy, di mana beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal:
1.        Ketidaktepatan bahasa: pemilihan terminology yang salah
2.        Ketidaktepatan relevansi: pemilihan premis yang tidak tepat yaitu membuat premis dari proposisi yang salah. Proses kesimpulan premis yang caranya tidak tepat, premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang dicari.

Mengikuti John Locke, mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada akhirnya termanifestasi dalam perilaku yang juga sesat.
1.        Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek sesungguhnya jarang berpikir sendiri dan berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain.
2.        Kedua, kesesatan di mana subjek bertindak seakan sangat menghargai rasio, tetapi kenyataannya tidak menggunakan rasionya dengan baik.
3.        Ketiga, adalah kesesatan yang terjadi akibat subjek tidak terbuka untuk melihat persoalan secara komprehensif, terpaku hanya pada pendapat atau pendekatan tertentu orang tertentu, atau sumber tertentu.[2]

Menurut Lorens Bagus, sesat pikir mengakomodir enam hal yaitu : Pertama, menyatakan bahwa suatu gagasan adalah sesat yang berarti fakta yang diacu oleh gagasan itu tidak ada. Kedua, tidak sesuai dengan kebenaran. Ketiga, tidak mempunyai evidensi (fakta) yang baik. Keempat, berarti salah. Kelima, basis dari dua perangkat nilai kebenaran yang menyangkal nilai kebenaran yang ditentukan bagi suatu kenyataan. Dan keenam, lain dari kebenaran. Apabila melihat pengertian-pengertian sesat berpikir versi Lorens Bagus maka sesat berpikir terjadi dengan dua hal yaitu ketika tidak terjadi kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan serta kedidakkonsistenan pada penggunaan alur-alur formal dalam logika.[3]

B.       Klasifikasi Pelaku Fallacy
Dalam pembahasan terkait kesesatan berpikir (fallacy), Ada dua pelaku, yaitu  Sofisme dan Paralogisme.
1.        Sofisme
Sofisme adalah sesat pikir yang sengaja dilakukan untuk menyesatkan orang lain, padahal si pemuka pendapat sendiri tidak sesat, disebut demikian karena yang pertama-tama mempraktekan adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir berpidato pada zaman Yunoni kuno. Mereka selalu berusaha mempengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang disampaikan melalui pidato-pidato agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator ulung.
2.        Paralogisme
Paralogisme adalah pelaku sesat pikir yang tidak menyadari akan sesat pikir yang dilakukannya. Fallacy sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi amoral, seperti mengubah opini public, memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan, karakter, memech belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan, janji palsu dan meraih kekuasaan. Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur fallacy, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikiran yang berakibat buruk terhadap pandangan duniannya. Seorang yang berfikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berfikr benar, dan bahkan bisa mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berfikir yang benar karena itu, al Quran seringkali mencela bahwa, “sebagian besar manusia tidak berakal, tidak berfikir dan sejenisnya”[4]

C.      Sumber –Sumber Kesesatan
Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukan langsung adanya kesesatan semantic dengan mengungkapakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat , apakah universal atau particular. Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang-tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta. [5]

D.      Klasifikasi Kekeliruan Berfikir
1.        Kekeliruan Formal
a.         Kekeliruan Karena Menggunakan Empat Term.
Kekeliruan berpikir karena menggunakan empat term dalam silogisme. Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharusakan hanya terdiri tiga term, seperti:
Semua perbuatan mengganggu orang lain dianca, dengan hukuman. Menjual barang di bawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual haraga di bawah tetangganya diancam dengan hukuman.[6]
b.        Kekeliruan Karena Kedua Term Penegak Tidak Mencakup.
Kekeliruan berpikir karena tidak satupun dari kedua term penengah  mencakup, seperti:
Semua anggota PBB adalah Negara merdeka. Negara itu tentu menjadi anggota PBB karena memang Negara merdeka.
c.         Kekeliruan Karena Proses Tidak Benar
Kekeliruan berpikir karena term premis tidak mencakup (undis tributed) tetapi dalam konklusi mencakup, seperti:
Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena itu dia bukan binatang melata.
d.        Kekeliruan Karena Menyimpulkan Dari Dua Premis Yang Negative
Kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konsklusi.[7]
Tidak satupun barang yang murah baik itu murah dan semua barang di toko itu tidak murah, jadi semua brang di toko itu baik.
e.         Kekeliruan Karena Mengakui Akibat.
Kekeliruan berpikir dalam silogisme hipotetika karena menggunakan akibat kemudian membenarkan pula sebabnya, seperti:
Bila kita bisa berkendaraan seperti cahaya, maka kita bsa mendarat di bulan. Kita telah dapat mendarat di bulan brarti kita telah dapat berkendaraan seperti cahaya.
f.         Kekeliruan Karena Menolak Sebab.
Kekeliruan berpikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti:
Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah jadi harga tidak naik.[8]
g.        Kekeliruan Dalam Bentuk Disyungtif.
Kekeliruan berpikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternatife pertama, kemudian membenarkan alternatife lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternatife pertama bisa juga terlaksananya alterantif yang lain, seperti:
Dia menulis cerita atau pergi ke Surabaya. Di tidak pergi ke Surabaya, jadi ia tentu menulis cerita.
h.        Kekeliruan Karena Tidak Konsisten.
Kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang di akui, seperti:
Anggaran Dasar organisasi kita sudah kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit.

2.        Kekeliruan Informal
a.         Kekeliruan Karena Membuat Generalisasi Yang Terburu-Buru.
Yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti[9] :
Dia orang Islam mengapa membunuh. Kalau begitu orang islam memang jahat.
b.        Kekeliruan Karena Memaksakan Praduga
Kekeliruan berfikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan, seperti :
Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa istrinyalah yang melukainya dalam suatu percecokan karena diketahuinya selama ini orang itu kurang harmonis hubungannya dengan istrinya, padahal sebenarnya karena goresan besi pagar.
c.         Kekeliruan Karena Mengundang Permasalahan
Kekeliruan berpikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya, seperti[10] :
Allah itu mesti ada karena ada bumi. (di sini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada dengan dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi ciptaan Allah).
d.      Kekeliruan Karena Menggunakan Argumen Yang Berputar.
Kekeliruan berpikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan sebagai premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya, seperti :
Ekonomi negara X tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai yang korupsi ? jawabnya karena ekonomi negara kurang baik.
e.         Kekeliruan Karena Berganti Dasar
Mengambil kesimpulan melompat dari dasar-dasar semula, seperti :
pantas ia cantik karena pendidikannya tinggi.
f.         Kekeliruan Karena Mendasarkan Pada Otoritas
Kekeliruan berfikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut, seperti
Bangunan ini sungguh kokoh, sebab dokter Haris mengatakan demikian. (dokter Haris adalah ahli Kesehatan, bukan insinyur bangunan)
g.        Kekeliruan Karena Mendasarkan Diri Pada kekuasaan.
Seperti menolak pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan :
Kau masih juga membantah pendapatku. Kau baru saja satu tahun duduk di bangku perguruan tinggi, aku sudah lima tahun.[11]
h.        Kekeliruan karena Menyerang Pribadi
Kekeliruan berpikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya, seperti :
Dia adalah seorang yang brutal, jangan dengarkan pendapatnya.
i.          Kekeliruan Karena Kurang Tahu.
Kekeliruan berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar, seperti :
Sudah beberapa kali kau kemukakan alasanmu tetapi tidak terbukti gagasanku salah. Inilah buktinya bahwa pendapatku benar.[12]
j.          Kekeliruan Karena Pertanyaan Yang Ruwet
Kekeliruan berfikirkarena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti :
Jam berapa kau pulang semalam ? (yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi)
k.        Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana
Karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak terlalu cukup bukti.
Kendaraan buatan Honda adalah terbaik, karena paling banyak peminatnya.[13]
l.        Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat
Menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya, seperti :
Daging yang kita makan ini adalah dibeli kemarin.
Daging yang dibeli kemarin adalah daging mentah, jadi hari ini kita makan daging mentah.
m.      Kekeliruan Karena Argumen Yang Tidak Relevan.
Mengajukan argumen yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang menjadi pokok pembicaraan, seperti :
Pisau silet itu berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris oleh pisau silet dan tidak pernah oleh peluru.[14]
n.        Kekeliruan Karena Salah Mengambil Analogi.
Kekeliruan berpikir karena menganalogikan dua permasalahan yang keligatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar.
Seniman patung memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni, maka Tuhan pun memerlukan bahan dalam menciptakan alam semesta.
o.        Kekeliruan Karena Mengundang Belas Kasihan.
Kekeliruan berpikir karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang diharapkan.[15]

3.        Kekeliruan Karena Penggunaan Bahasa
Kekeliruan karena bahasa terjadi karena beberapa hal, biasanya kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda dan arti yang sama pun bisa ada pada kata-kata yang berbeda. Berikut ini beberapa kesesatan karena bahasa :
a.         Kesesatan Karena Aksen atau Tekanan.
Perbedaan arti dan kessatan penalaran terjadi dalam ucapan tiap-tiap suku kata yang diberikan tekanan, karena perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti.[16] Contoh:
Ibi, Ayah pergi (yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah pembicara sedang pergi. Seharusnya tidak ada penekanan pada ibu, sebab maknanya menjadi pemberitahuan ibu bahwa ayah baru saja pergi).[17]
b.        Kesesatan Karena Term Ekuivok.
Term ekuivok (term yang mempunyai lebih dari satu arti) adalah apabila dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contoh:
Malang itu kota indah. Orang miskin itu nasibnya malang. Jadi orang miskin itu nasibnya indah.
c.         Kesesatan Karena Metafora (kiasan).
Kesesatan dalam kiasan terjadi karena dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau arti sebaliknya.[18]
d.        Kesesatan Karena Amfiboli.
Kesesatan amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu demikian rupa, sehingga artinya menjadi bercabang. Contoh:
Mahasiswa yang duduk diatas meja yang paling depan. Apa yang paling depan, mahasiswa atau mejanya ?[19]
e.         Kekeliruan karena Komposisi
Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti :
Setiap kapal perang telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut negara itu siap tempur.
f.         Kekeliruan dalam pembagian
Keseluruhan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya, seperti :
Kompleks ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas.[20]

E.       Strategi Menghindari Sesat Berfikir
Sesat pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Seperti rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan. Maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar jeli dan cermat terhadap berbagai kesalahan dalam menalar, juga supaya kita mampu mengidentifisi dan menganalisis kesalahan tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari penalaran palsu.
Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan relevansi, misalnya kita harus tetap bersikap kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, penelitian terhadap peranan bahasa dan penggunaanya merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan kenekaragaman pengguanaan bahasa dapat kita manfaatkan untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari sebuah argumen.
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi sangat “halus” banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memilii rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus dapat mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.[21]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti “sesat pikir”. Fallacy didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang di akibatkan oleh ketidak disiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam pembahasan terkait kesesatan berpikir (fallacy), Ada dua pelaku, yaitu Sofisme dan Paralogisme. secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
 Kesesatan merupakan kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir dikarenakan penyalah gunaan bahasa atau penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika, di kenal juga sebagai fallacia/falaccy, di mana beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari  sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: ketidak tepatan bahasa: pemilihan terminology yang salah, dan ketidaktepatan relevansi.





DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Islam : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mundiri. 2014. Logika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Suharto, Heru. 1994. Kesesatan-kesesatan Dalam Berfikir, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sumaryono, E. 1999. Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta : Kanisius.

Surajiyo dkk. 2006.  Dasar-Dasar Logika, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wagiman.2009. Pengantar Studi Logika : Mempelajari, Memahami dan Mempraktekannya, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
 



[1] E. Sumaryono, Dasar-Dasar Logika, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm.9.
[2] Mohammad adib, Filsafat Islam : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 178-179
[3] Wagiman, Pengantar Studi Logika : Mempelajari, Memahami dan Mempraktekannya, (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009), hlm.145.
[4] Heru Suharto, Kesesatan-kesesatan Dalam Berfikir, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 89.
[5] Surajiyo dkk., Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 107
[6] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 211.
[7] Ibid., hlm. 212.
[8] Ibid., hlm. 213.
[9] Ibid., hlm. 214.
[10] Ibid., hlm. 215.
[11] Ibid., hlm. 216-217.
[12] Ibid., hlm. 218.
[13] Ibid., hlm. 219.
[14] Ibid., hlm. 220.
[15] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 221.
[16] Surajiyo dkk, Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 108.
[17] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 223.
[18] Surajiyo dkk, Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 108.
[19] Ibid., hlm. 109.
[20] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 222.
[21] E. Sumaryono. Dasar-Dasar Logika, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar