Jumat, 07 Juli 2017

Peta Pemikira Ekonomi Islam

PETA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Adiwarman Karim, salah seorang pakar Ekonomi Islam Indonesia, dan penggagas The International Institut of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, yang menjelaskan peta pemikiran ekonomi Islam yaitu 3 madzhab ekonomi Islam yaitu Madzhab BaqrAsh-Shadr, Mainstream, serta analitis-kritis.
A.    Normatifisme
Normatifisme merupakan pemikiran ekonomi islam yang lebih mempopulerkan norma-norma yang terkandung dalam sumber-sumber Islam (Qur’an, Hadits, dan Fiqih). Oleh karenanya, metode yang dikembangkan pun akan lebih pada hal-hal yang konseptual dan tekstual pada aspek-aspek yang terjadi pada historis islam (masa Nabi, Sahabat dan kejayaan Islam). Bahkan, jika normatifisme dijadikan sebagai pemikiran yang absolut, maka ekonomi islam akan menjadi pilihan mutlak tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi perkembangan ekonomi kontemporer.[1]
Jika merujuk pada pendapat Andiwarman Karim, maka model pemikiran ini cenderung pada yang dikembangkan oleh Baqiras-Shadr dengan bukunya Iqtishaduna. Ia menjustifikasi bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap islam. Keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Ash-badr menolak statemen bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Hal tersebut sangat tidak relevan, karena firman Allah Swt. Dalam surat Al-Qamar (54;49) dinyatakan “Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya”.
Bahkan, alat solusi yang dikembangkan pada persoalan-persoalan ekonomi pun selalu akan bersifat “normatif” tanpa adanya metode-metode yang lebih berdimensi kompromistik.
Islam sebagai ajaran yang sangat lengkap sebagaimana telah dibahas pada kedudukan aqidah, syari’ah, dan akhlaq tentulah tidak sangat kurang dari proses perkembangan peradaban ekonomi. Akan tetapi, jika menganut pada faham “teologi proses”, maka sesungguhnya islam akan terbuka pada proses perkembangan zaman. [2]Seperti pemberlakuan “jizyah” yang dikenakan pada kaum penduduk non-muslim, “ghonimah” sebagai bagian dari perampasan perang tentu kurang lagi konstektual pada saat ini. Walaupun hal tersebut secara nomatif tidak bisa dinisbihkan sebagai bagian dari ajaran islam.
Demikian juga dalam mensikapi perkembangan lembaga keuangan kontemporer yang selama ini berbasis interest (bunga). Sistem yang terjadi pada saat ini, jika “riba” diterjemahkan secara normatif bahwa sesuatu yang berlebih dari nilai pinjaman adalah “riba”, maka sangat sulit untuk menciptakan lembaga keuangan. Dibutuhkan modifikasi dan rekayasa-rekayasa yang menjadikan norma islam menjadi aplikabel tanpa islam sebagai sistem alergi terhadap proses perkembangan transaksi-transaksi modern.

B.     Mix Normatifisme Emperisme ( Positivisme )
Tesis positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dalam positivisme, segala keberadaban segala kekuatan atau subjek di luar fakta atau penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta akan ditolak.Setiap definisi harus dalam ranah pengetahuan manusia, tidak ada nilai (value) di dalamnya. Ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictivedan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generasi-generasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Selama ini, metodologi filosofi positivisme mengadopsi ilmu alam dan dengan menggunakan matematika, terutama statistika sebagai cara untuk menguji hipotesis dan sebagai landasan utama pengembangan sistem[3].
Akan tetapi, Islam tidak selamanya harus postivisme. Dalam islam, ada kehadiran Tuhan sebagai bagian yang berkuasa atas segala alam (innallaha ala kullisya’inqadir;  sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), tetapi Tuhan juga menciptakan kekuasaan yang terletak pada manusia (innallahaidyughayyirumabiqoamin hatta yughoyyirumabianfusihim; Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka merubah nasib dengan diri mereka sendiri).
Oleh karenanya, menghadapi problem-problem ekonomi dapat dirujukkan pada konseptual yang bersifat normatif dan diselesaikan dengan paradigma yang positivistik.
Metode normatifisme-positifismedapat dilihat pada karya-karya M. UmerChapra, M. Abdul Mannan, M. NejatullahSiddiqi, MonserKhaf, Muhammad Yunus dan lain-lain. Pada saat ini, faham ini juga menjadi bagian yang paling banyak diminati oleh ilmuan Islam di bidang ekonomi. Oleh karenanya, Adiwarman menyebutnya dengan madzhabmainstream, aliran besar yang banyak dijadikan landasan berpikir.
Dalam metode ini, fakta-fakta ekonomi yang digali tidak begitu berbeda dengan pendapat konvensional, hanya saja yang membedakan adalah cara penyelesaian permasalahan (method of problem solving).
Hal ini berbeda dengan penentuan skala prioritas dalam ekonomi konvensional yang tergantung pada individu dengan atau tanpa pendekatan agama tapi dengan “mempertuhankan hawa nafsu dan materi”. Mazhab ini berpendapat dalam ekonomi islam, keputusan pilihan tidak dapat dilakukan semaunya saja. Prilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk ekonomi, harus merujuk pada ajaran Allah Swt. Lewat Al-Qur’an dan Sunnah.[4]
Mazhab ini juga setuju dengan kemunculan masalah ekonomi karena ketebatasan sumber daya yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas . Namun, keterbatasan sumber manusia tersebut, hanya terjadi pada berbagai tempat dan waktu saja, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2:155), yang artinya: “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”.
Selain keterbatasan merupakan ujian dari Allah Swt., juga sifat manusia yang berkeinginan tidak terbatas dianggap sebagai sifat yang alamiah. Disebutkan dalam al-Qur’ansurat At-Takatsur (102:1-5), yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”. [5]

C.    Mazhab Kritis
Dipelopori oleh Timur kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), yaitu mengkritisi kedua mazhab di atas. Mereka berpendapat yang perlu dikritisi tidak saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi Islam itu sendiri.[6]
Dari sekian literatur dan perkembangan perekonomian Islam di dunia, tampaknya madzhabnormatifisme-positivisme lebih fleksibel dan dominan dalam berkiprah.
Seperti yang ditulis oleh Muhammad Muslehuddin, bahwa sesungguhnya esensi daripada ekonomi Islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun (established) dan ditegakkan berdasarkan syariah, dan (kemungkinan) menerima unsur ekonomi lainnya selama tidak bertentangan dengannya.[7]
Teori Kritis.
Kritis adalah konsep kunci utama memahami teori kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris atas kebudayaan dan masyarakat modern. Dalam arti sempit, Istilah Teori Kritis sudah lama diterapkan dalam rentang yang sangat luas terhadap beberapa teori dan disiplin ilmu yang berbeda. Teori Kritis merujuk kepada pandangan yang diusung oleh Mazhab Frankfurt terutama tulisan-tulisan awal yang dibuat oleh Max Horkheimer, Theodor W Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Krits sendiri didefinisikan sebagai jenis teori sosial yang berasal dari para pemikir Marxis Barat di Institut Riset Sosial, Universitas Frankfurt. Itulah sebabnya gagasan Teori Kritis juga disebut sebagai gagasan Mazhab Frankfurt.
Istilah teori kritis ini pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk sainstisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjunis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai otang terakhir dalam tradisi.



[1],Ahmad Dahlan,PenganatarEkonomi Islam (Purwokerto: STAIN press,2009) hal 69
[2]Ibid hal 70-71
[3]Ahmad Dahlan, PengantarEkonomi Islam, (Purwokerto: STAIN Press, 2009)hal 71
[4]Ibid hal 72
[5]Ibid hal 73
[6]AdiwiramanKarim, EkonomiMikroMakroislam (Jakarta:IIIT Indonesia, 2002)hal 13
[7]Ahmad Dahlan, PengantarEkonomi Islam (Purwokerto: STAIN Press, 2009)hal 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar