Kamis, 06 Juli 2017

Makalah Konsep Masyarakat Muslim

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Kita sadar bahwa membangun masyarakat akan selalu berhubungan dengan personalnya. Manusia sejak diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini selalu membutuhkan adanya sekelompok masyarakat agar dapat memudahkan segala kebutuhannya dan melanggengkan hidupnya. Manusia tidak bisa lari dari kehidupan berjamaah dan merupakan keharusan bahwa setiap insan harus menyatu dengan mereka, saling membantu dan menolong dalam segala aspek kehidupan mereka.
Semua manusia berasal dari sumber yang satu, kemudian berkembang menjadi berbagai macam warna, ras, budaya dan bangsa. Manusia di dunia diciptakan beragam dan berbeda-beda. Allah menciptakan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bukanlah untuk bersaing menonjolkan keunggulanya lalu menimbulkan pertikaian, akan tetapi agar mereka saling mengenal satu sama lain lalu bersaudara.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Konsep Ummah ?
2.    Bagaimana Konsep Imamah ?
3.    Bagaimana Konsep Masyarakat Muslim ?
C.  Tujuan
1.    Mengetahui Konsep Ummah.
2.    Mengetahui Konsep Imamah.
3.    Mengetahui Konsep Masyarakat Muslim.
D.  Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Ummah
Ali Syari’ati berpendapat bahwa Ummah berasal dari kata bahasa Arab amma yang artinya bermaksud, menghendaki (qasada) dan berniat keras (‘azima). Ia juga menyatakan bahwa Ummah mempunyai tiga pemahaman, yaitu: “gerakan”, “tujuan” dan “ketetapan hati yang sadar”. Karena kata amma pada mulanya mencakup arti “kemajuan” maka tentunya ia memperlihatkan diri sebagai kata yang terdiri atas empat pemahaman, yaitu: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan.
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata Ummah terambil dari kata bahasa Arab amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata yang sama lahir kata lain, ummu yang berarti ibu dan imam yang berarti pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota masyarakat.  . 
Definisi tentang Ummah secara luas dan kompleks dikemukakan oleh Ziauddin Sardar. Ia menyatakan bahwa Ummah adalah persaudaraan Islam, seluruh masyarakat Muslim, yang dipersatukan oleh persamaan pandangan-dunia (din), yang didasarkan pada sebuah gagasan universal (tauhid) dan sejumlah tujuan bersama untuk mencapai keadilan (‘adl) dan ilmu pengetahuan (‘ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai pengemban amanah (khalifah) Tuhan di muka bumi. [1]

B.  Konsep Imamah
Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan.
Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam.
1.    Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan.
2.    At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan.
3.    Ibn Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat.
 Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.

C.  Masyarakat Islam
1.    Definisi Masyarakat Muslim
Masyarakat Islami adalah masyarakat terbuka yang menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa memandang asal usul suku bangsa dan perbedaan agama.[2] Masyarakat Islam merupakan kelompok manusia dimana hidup terjaring kebudayaan Islam, yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaannya. Dalam artian kelompok itu bekerja sama dan hidup bersama berasaskan prinsip Al Qur’an dan Hadist dalam kehidupan.[3]
Masyarakat Islam menurut Murtadha Muthahhari adalah suatu kelompok manusia yang terjalin sejak lama dalam suatu tempat dan sistem kemasyarakatannya berpegang pada kebenaran wahyu Allah. Kebenaran yang dimaksud adalah keadilan, persatuan atas dasar keimanan, amar ma’ruf nahi munkar dan moralitas.[4] Masyarakat dalam pandangan Islam merupakan alat atau sarana untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama. Karena itulah masyarakat harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi bagi kesatuan dan kerja sama umat menuju adanya suatu pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan.[5]
Bukanlah disebut masyarakat Islam apabila selalu diliputi perasaan dendam, yang muncul akibat kezaliman sosial dan perlakuan buruk sebagian orang terhadap sebagian yang lainnya. Cara seperti ini tidak diakui keberadaannya dalam Islam.[6]
Karakteristik masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakat bahu-mambahu untuk memainkan peranan turut membangun masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang mencerminkankerukunan umat beragama. Kedamaian dan kerukunan menjadi karakteristik utama dari masyarakat yang bercorak Islami.
Ada beberapa komponen penting yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami.
1.    Kawasan, wilayah, teritorial yang kondusif (al-Bi’ah, al-Qura).
2.    Ummat (al-Ummah, ahl).
3.    Syariat (al-Syari’ah, aturan).
4.    Kepemimpinan (al-Imamah).[7]

2.    Prinsip-Prinsip Masyarakat Muslim
a.    Berketuhanan Yang Maha Esa, Q.S. Al-Ikhlas (112): 1
“Katakanlah bahwa Allah itu Maha Esa”.
b.    Umat yang satu (satu kesatuan umat), Q.S. Al-Baqarah (2): 213
 
“Manusia itu adalah umat yang satu”
c.    Menjungjung tinggi keadilan, Q.S. An-Nisa (4): 135
 
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”.
d.   Menegakan amar-ma’ruf nahi-munkar, Q.S. Ali Imran (3): 104
 “Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah berbuat kejahatan”.
e.    Musyawarah, Q.S. Asyura (42): 38
“Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka”.
f.     Tolong menolong dalam kebaikan, Q.S. Al-Maidah (5) : 2
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
g.    Toleransi, Q.S. Al-Kafirun (109): 6
 “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.
h.    Persamaan Harkat, Q.S. Hujarat (49): 13
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantarakamu disisi Allah ialah orang yang paling bertqwadiantara kamu”.
i.      Harmonis dan damai, Q.S. Al-Baqarah (2): 143
“Dan demikianlah Allah telah menjadikan kamu umat yang tengah-tengah”.
j.      Berakhlak mulia, Q.S. Al-Ahzab (33): 21
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.

Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk agar umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan kasih sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam menjadikan peran sosialnya dalam lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi, karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru menjadikan hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak langsung merupakan jalan ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar.

3.    Tugas Masyarakat Islam dan Nilai – Nilai Kemanusiaan
a.    Tugas Masyarakat Islam Terhadap Tata Kehidupan Islami
Sesungguhnya tugas masyarakat Islam adalah memasyarakatkan adab-adab Islami dan mendidik putra-putrinya agar memiliki adab-adab yang baik.[8] Masyarakat Islam berkewajiban membersihkan tata kehidupan masyarakat dan tradisinya dari hal-hal asing yang mempengaruhi tabiatnya yang seimbang dan adil, baik dipengaruhi oleh masa-masa jatuhnya pemikiran dan kemunduran peradaban Islam maupun akibat serangan musuh. Yakni dengan munculnya peradaban barat modern.[9]
Masyarakat Islam berkewajiban menjaga adab dan tradisi Islam dengan segenap undang-undang dan peraturannya. Apabila masyarakat senderung bersikap main-main dalam tata kehidupannya dan menyerahkan kendali kehidupan kepada orang-orang yang merusak dan berbuat semaunya, sengguh mereka akan segera terlepas dari risalah masyarakat Islam yang benar dan lurus.[10]
Masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya yang murni, dan tradisinya yang kukuh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan.[11]
b.    Tugas Masyarakat Islam Terhadap Simbol-Simbol KeIslaman
Peran masyarakat Islam terhadap simbol-simbol keIslaman itu tergambar dalam beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut,
1)   Pertama, memperkuat simbol-simbol keIslaman, meluruskan, serta menyebarkannya dengan berbagai sarana penerangan dan pendidikan. Sebagaimana Rasulullah memperkuat rasa persaudaraan diantara kaum muslimin itu dengan berdoa setiap selesai shalat, “Ya Allah, Tuhan kami, Rabb dan pemilik segala sesuatu, saya bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba-Mu itu bersaudara.
2)   Kedua, mewujudkan simbol-simbol keIslaman dalam realita yang dapat dirasakan dan mewujudkan suasana ukhuwah yang kondusif.[12] Perasaan kasih sayang dan cinta diantara kerabat harus diwujudkan dalam bentuk silaturahmi, saling mengunjungi, dan lan sebagainya.[13]
3)   Ketiga, hendaknya masyarakat Islam tidak memberi kesempatan terhadap segala sikap yang bertentangan dengan Islam, yang muncul dan mempengaruhi masyarakat.[14]
4)   Keempat, hendaknya masyarakat  Islam menutup jendela yang berembus darinya angin permusuhan dan perpecahan , serta berupaya memberantas berbagai faktor perusak nilai-nilai persaudaraan Islam dan faktor peruntuhan solidaritas Islam.[15]

Nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai yang tegak diatas penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kemuliaan manusia, baik berupa kebebasan dan kemerdekaannya, nama baik dan eksistensinya, kehormatan hak-haknya, juga pemeliharaan darah, harta, serta kerabat dan keturunannya, dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat.[16]
Bagian dari nilai nilai kemanusiaan meliputi, yaitu ilmu, amal, kebebasan, musyawarah, keadilan dan persaudaraan.
1.    Ilmu
Imu merupakan salah satu nilai luhur yang dibawa Islam dan tegak di atas kehidupan manusia, baik secara moril maupun materiil, duniawi maupun ukhrawi.Islam menjadikannya jalan menuju keimanan yang memotivasi untuk beramal, sekaigus sebagai karunia yang membuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Sesungguhnya Islam adalah agama ilmu dan Al-Qur’an adalah kitab Ilmu.[17]
2.    Amal
Amal yang dituntut disini adalah mencurahkan segala upaya positif untuk merealisasikan tujuan-tujuan syariat diatas bumi. Tujuan-tujuan itu sebagaimana disyaratkan Al-Qur’an, dikumpulkan dalam tiga hal sebagaimana disebutkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Adz-Dzari’ah ilaMakarin Asy-Syariah, sebagai berikut :
Pertama, Ibadah
Allah Swt, berfirman,
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Adz-Azariat : 56)
Kedua, Khilafah
Allah Swt, berfirman,
Sesungguhnya Aku akan menciptakan di bumi seorang khalifah....(Al-Baqoroh : 30)
Ketiga, Pemakmuran (‘imarah)
Allah Swt, berfirman,
......Dia-lah (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurannya....(Hud : 61) [18]

Amal yang diinginkan Islam adalah amal yang Saleh. Kata “saleh” dalam Al-Qur’an memiliki makna yang luas, meliputi segala sesuatu yang membawa maslahat kepada agama dan dunia serta individu dan masyarakat. Ia juga meliputi ibadah dan muamalah atau aktivitas hidup dunia dan akhirat.[19]
3.    Kebebasan
Kebebasan disini meliputi kebebasan beragama, berpikir, berpolitik, bertempat tinggal, dan segala bentuk kebebasan dalam kebenaran.[20] Kemerdekaan atau kebebasan memiliki arti luas salah satunya adalah membebaskan manusia dari segala cengkraman kekuatan batil, dan penindasan penguasa zalim atau dari kekuatan diklator.[21]
4.    Musyawarah
Bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri dalam pendapat dan dalam persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan pemikiran dengan orang lain. Hal ini dikarenakan pendapat dua orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap lebih mendekati kebenaran daripada pendapat seorang saja.[22] Islam telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan Individu, keluarga, masyarakat, dan bernegara.[23]
5.    Keadilan
Islam memerintahkan seorang muslim agar berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara haknya, hak tuhannya, dan hak orang lain. Dan Islam juga memerintahkan bersikap adil kepada keluarga, dan terhadap semua makhluk ciptaan Allah.[24]
6.    Persaudaraan
Hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai, dan saling menolong.[25] Al-Qur’an juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain diantara keduanya. Allah Swt, berfirman : Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara....... (Al-Hujarat : 10)[26]






BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakat bahumambahu untuk memainkan peranan turut membangun masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang mencerminkan kerukunan umat beragama. Di samping dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama.
Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk agar umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan kasih sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam peran sosialnya dalam lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi, karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru menjadikan hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak langsung merupakan jalan ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar.










DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Syaefudin. 1986. Wawasan Islam, Bandung : Mizan.

Djatnika, Rachmat. 1996. Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Pustaka Panjimas.

Gazalba, Sidi. 1976. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang : 1976.

Kaelany HD,M.A. 2000. Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Qardhawi, Yusuf. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak, Solo : Era Intermedia.


 



[2] Endang Syaefudin Anshari, Wawasan Islam, (Bandung : Mizan, 1986), hal. 72.
[3] Drs. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang 1976), hlm.126.
[5] Drs. Kaelany HD,M.A., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), hlm.159-160.
[6] Dr. Yusuf Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak, (Solo : Era Intermedia, 2003), hlm.139.
[7] Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996), hal. 253.
[8] Dr. Yusuf Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak, (Solo : Era Intermedia, 2003), hlm.167.
[9] Ibid.,hlm.168.
[10] Ibid.,hlm.170-171.
[11] Ibid.,hlm.172
[12] Ibid.,hlm.133.
[13] Ibid.,hlm.134.
[14] Ibid.,hlm.135.
[15] Ibid.,hlm.137-138.
[16] Ibid.,hlm.174.
[17] Ibid.,hlm.175.
[18] Ibid.,hlm.182.
[19] Ibid.,hlm.183.
[20] Ibid.,hlm.187.
[21] Diklator adalah seorang pemimpin negara yang memerintah secara otoriter/tirani dan menindas rakyatnya.
[22] Dr. Yusuf Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak, (Solo : Era Intermedia, 2003), hlm.195.
[23] Ibid.,hlm.196.
[24] Ibid.,hlm.214.
[25] Ibid.,hlm.221.
[26] Ibid.,hlm.222.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar