Jumat, 07 Juli 2017

Teori Psikologi Sastra

PSIKOLOGI SASTRA

A.      Pendahuluan
1.        Latar Belakang
Sastra adalah kegiatan kreatif   yang menjadi alat mengekspresikan dan menyampaikan pesan ataupun perasaan manusia. Manusia berinteraksi dan bersosialisasi ,banyak sekali cerita dan inspirasi yang harus diutarakan karena sifat mendasar manusia sendiri sebagai makhluk sosial. Sehingga munculah karya sastra baik novel, puisi dan lain-lain yang dijadikan alat mengekspresikan dan mengutarakan pesan tersebut.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra.
Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan pengaplikasiannya.
2.        Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dijadikan pembahasan adalah bagaimana konsep dan teori mengenai psikologi sastra ?
3.        Tujuan
Untuk mengetahui konsep dan teori mengenai psikologi sastra.

B.       Teori
1.        Definisi Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan kreativitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.[1]
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).[2] 
Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis. Secara definitif menurut Nyoman Kutha Ratna, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra.[3]
Langkah memahami psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentrukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menentukan teori dan objek penelitian.[4]

2.        Landasan Pijak Psikologi Sastra
Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar. Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu kedalam sebuah cipta rasa.
Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup.[5] Sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan ditelaahn melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif, dapat menampilkan berbagai problem psikologis.[6]

3.      Hubungan Psikologis dengan Sastra
Psikonalia adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud, seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar.[7]
Psikologi dalam karya sastra mempunyai kaitan yang tercakup dalam dua aspek yaitu : unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.dalam aspek ekstrinsik berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor kepengaranngan dan proses kreativitasnya. Sementara unsur intrinsik membicarakan tentang unsur intrinsik yang terkandung dalam karya sastra seperti unsur tema, perwatakan dan plot.
Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang-orang, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. Dalam kaitannya dengan psikologi dalam karya sastra, Carl G. Jung menandaskan bahwa karena psikologi mempelajari poses-proses kejiwaan manusia, maka psikologi dapat diikutsertakan dalam studi sastra sebab jiwa manusia merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan dan kesenian.[8]
Hubungan antara sastra dengan psikologi, menurut Milner ada dua hal, pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terrhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “Pekerjaan Mimpi”. Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.[9]
Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional sastra. Ketiga memahami kejiwaan pembaca. Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat erat didalam menganalisis karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan pada psikologi praktis. Pada penerapanya sastra atau karya sastra-lah yang menetukan teori, bukan teori yang menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian dipilih dahulu objek karya sastra barulah kemudian menentukan kajian teori psikologis praktis yang relevan untuk menganalisis.[10]

4.        Gambaran Psikoanalisis Sigmund Freud
Psikoanalisis digagas oleh Sigmund Freud. Ia lahir di Moravia, 6 Mei 1856, dan wafat di London, 23 September 1939. Sebelum membahas substansi teori Psikoanalisis, ada baiknya dikemukakan asumsi-asumsi dasar Freud dalam memandang dan mempelajari manusia (hakikat manusia), yang kelak menjadi unsur yang melandasi teori Psikoanalisisnya.
Dasar asumsi pertamanya adalah materialisme. Freud mengakui adanya suatu perbedaan antara kondisi-kondisi kejiwaan dan kondisi-kondisi fisiologis, namun baginya hal itu hanyalah perbedaan dalam bahasa saja,[11] bukannya dualisme dua substansi (jiwa dan tubuh). Dasar asumsi kedua adalah sebuah penerapan determinisme (prinsip bahwa setiap kejadian memiliki penyebab bagi realitas kejiwaan). Segala sesuatu pada prinsipnya dapat dijelaskan oleh sesuatu yang ada dalam jiwa tersebut.
Dasar asumsi ketiga dan mungkin keistimewaan yang paling berbeda dari teori Freud adalah kondisi kejiwaan bawah sadar yang muncul dari asumsi kedua. Istilah “bawah sadar” dipakai untuk menunjukan keadaan yang tidak dapat menjadi sadar dalam keadaan normal. [12]
Alam bawah sadar dalam perspektif psikoanalisi Freud memberikan pengaruh besar bagi pola perilaku manusia. Hal ini mengamini apa yang disampaikan oleh Freud sebagaimana diungkapkan oleh Bertens bahwa “aspek tidak sadar menguasai sebagian besar ruang akal pikiran manusia”. Oleh karena itu, unsur tidak sadar memainkan peranan paling besar untuk menggambarkan tingkah laku manusia.
Sebagaimana penekanan bahwa alam bawah sadar memiliki peran yang sangat besar terhadap kondisi psikologis dan perilaku manusia, kita bisa lihat bagaimana Freud mengemukakan teori tentang mimpi.[13] Freud menjelaskan pengalamannya dia alam mimpi sebagai sesuatu yang berbeda dasi aktivitas di alamsadar maupun pra sadar. Saat itu, kita mempergunakan lapisan yang berasal dari wilayah lain dari pikiran kita, yang sangat dalam, tersembunti, banyak dan sangat kuat. Inilah yang dikatakan alam bawah sadar.[14]
Disamping itu Freud juga mengungkapkan bahwa mimpi adalah sebentuk reaksi dari pikiran untuk merangsang tindakan selama tidur. Freud menjelaskan proses-proses mental, atau cara kerja mimpi, yang dengan cara tersebut mimpi diubah dan dibuat menjadi tidak mengganggu. Proses-proses ini meliputi , Kondensi, Disaplacement, Representasi, dan Simbolisasi.
a.         Struktur Kepribadian Manusia[15]
Model pemikiran Freud yang baru tentang jiwa yang merupakan akibat dari refleksi ini dan refleksi lain yang seluruhnya terdiri atas tiga bagian, yaitu : ego, id, dan super ego.[16]
1)        Id (das Es)
Dalam inti kepribadian dan yang sungguh-sungguh tidak sadar adalah wilayah psikis yang disebut id. Id merupakan sisi kepribadian kita yang gelap dan tidak dapat ditelusuri. Id berisi energi yang diperolehnya dari naluri, tetapi tidak teratur dan tidak menghasilkan kemauan kolektif, tetapi hanyalah untuk mencapai kepuasan atau kebutuhan naluriah yang menjadi pokok perhatian dan prinsip pencarian kesenangan.[17]
Id mengandung segala sesuatu yang diwarisinya, yaitu yang sudah ada sejak lahir, dan terbentuk menurut aturan tertentu, karena itu naluri, yang berasal dari susunan saraf somatis dan yang pertama kali mendapatkan ekspresi kejiwaannya, mempunyai bentuk yang tidak kita ketahui.[18] Dalam pandangan atmaja id  merupakan acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan mampu menciptakan  simbol-simbol tertentu dalam karyanya.[19]
2)        Ego (das ich)
Ego adalah satu-satunya wilayah jiwa yang berhubungan dengan realitas. Ego adalah bagian pikiran yang mewakili alam bawah sadar. Ego bekerja menggunakan proses sekunder, yaitu pertimbangan, akal sehat, dan kekuatan untuk menunda respons spontan atas rangsangan luar atau terhadap desakan naluriah dari dalam.[20]
Ego bertugas menghasilkan perubahan yang cukup berguna didunia eksternal untuk kepentingannya sendiri (melalui aktifitas). Dalam memandang aktifitas-aktifitas internal, sehubungan dengan ide, ego melakukan tugasnya dengan melakukan kontrol atas tuntutan naluriah, dengan memutuskan apakah tuntutan tersebut layak  memperoleh kepuasan, menunda kepuasan tersebut sesuai dengan waktu dan situasi yang memungkinkan bagi dunia eksternal, atau menindas ketegangan perasaaan tersebut secara tuntas.[21]
3)        Superego (das Ueber Ich)
Super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadiaan yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).[22] Superego bagian dari jiwa manusia yang dihasilkan dalam menanggapi pengaruh orang tua, guru, dan figur-figur otoritas lainnya pada masa kanak-kanak.[23] Superego berbeda dengan ego dalam satu sisi yang penting. Dia tidak memiliki kontak dengan dunia luar. Karena itu dia tidak realistik dalam tuntutan-tuntutannya akan kesempurnaan. [24]
Suprego dalam konteks perilaku manusia menjadi sebuah sistem pembentuk nilai moral dan etika yang digunakan untuk membentuk kepribadian manusia yang paripurna. Superego cenderung untuk menentang baik id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. [25]
b.        Kecemasan : Perspektif Psikoanalisis Freud
Ego berperan penting dalam konteks timbulnya berbagai macam kecemasan yang melanda manusia. Hanya ego yang dapat mendeteksi atau merasakan setiap jenis kecemasan, sedangkan id, superego, dan dunia eksternal masing-masing terlibat hanya disalah satu dari tiga jenis kecemasan. Ketergantungan ego kepada id menghasilkan kecemasan neurotik, ketergantungan ego kepada superego menghasilkan kecemasan moralistik, dan ketergantungan ego kepada dunia eksternal menghasilkan kecemasan realistik.
1)        Kecemasan Neurotik
Freud membagi kecemasan ini menjadi 3 bagian, yaitu : kecemasan yang didapat karena adanya faktor dalam dan luar yang menakutkan, kecemasan yang berkaitan dengan objek tertentu yang bermanifestasi seperti fobia, kecemasan neurotik yang tidak berhubungan dengan faktor-faktor berbahaya dari dalam dan dari luar.[26]
2)        Kecemasan moralistik
Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang yang superegonya berkembang dengan baik cenderung merasa masalah jika mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma moral dengan mana mereka dibesarkan.[27]
Secara umum, kecemasan moral memiliki fungsi preventif untuk mengingatkan manusia agar tidak melakukan hal-hal yang destruktif, karena kecemasan moral erat kaitannya dengan bangunan sikap dan perilaku individu dalam konteks sosial kemasyarakatan.[28]
3)        Kecemasan Realistik
kecemasan realistik merupakan suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam dunia nyata. Menurut Freud, kecemasan realistik bagi manusia terlihat suatu hal yang sangat rasional dan alami. Ketakutan riil terkait dengan refleks gerakan, dan dianggap sebagai suatu wujud dari insting perlindungan diri.[29]
Freud menambahkan bahwa kecemasan realistik (kecemasan objektif) bersifat rasional dan bermanfaat, bagaimanapun juga dalam pikiran yang lebih dalam akan diakui membutuhkan revisi lebih jauh. Kecemasan realistik merupakan kecemasan yang timbul karena adanya bahaya nyata yang ditangkap oleh panca indra dan mengancam jiwa seseorang.[30]

C.    Metode Dalam Penelitian Karya Sastra
Setiap metode memiliki kedudukan dan kualitas yang sama. Penggunaannya tergantung dari tujuan yang akan dicapai. Yang berbeda adalah kualitas penelitian yang dihasilkan oleh masing-masing peneliti.[31] Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya adalah :[32]
1.        Metode Intuitif
Metode inuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat dan seterusnya.[33] Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dan alam semesta.
2.        Metode Hermeneutika
Hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra.[34] Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan mempertimbangkan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan dengan agama adalah karya sastra.[35] Metode hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling optimal.
3.        Metode Kualitatif [36]
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks kebendaannya. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif adalah :  (a) Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.[37] (b) Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah. (c) Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian. (d) Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka. (e) Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.
4.        Metode Analisis Isi
Isi dalam metode analisis isi terdiri dalam 2 macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi.[38]
5.        Metode formal 
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah study ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang di anggap artistik.[39]
6.        Metode dialektika
Prinsip-prinsip dialetika hampir sama dengan hermeneutika, khususnya dalam gerak spiral eksplorasi makna yaitu surat penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya.[40]
7.        Metode deskriptif analisis
Metode penelitian dapat juga di peroleh melalui gabungan 2 metode, dengan syarat kedua metode tidak bertentangan. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.[41]

D.    Kesimpulan
Dengan demikian dapat definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.




DAFTAR PUSTAKA

Budiantoro, Wahyu dan wiwit Mardianto. 2016. Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., Purwokerto : Kaldera.

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka Pelaja.

Storr, Anthony. 1991.  Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
.






[1] Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 54-55.
[2] Wahyu Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto : Kaldera, 2016), hlm.47.
[3] Ibid, hlm.41.
[4] Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 59.
[5] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 96.
[6] Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 55.
[7] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 101.
[8] Wahyu Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto : Kaldera, 2016), hlm.46-47.
[9] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 101-102.
[10] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Pelaja, 2008), hlm.343.
[11] Wahyu Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto : Kaldera, 2016), hlm.15.
[12] Ibid, hlm.16.
[13] Ibid, hlm.17.
[14] Ibid, hlm.18.
[15] Ibid, hlm.19.
[16] Anthony Storr, Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, ( Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 69.
[17] Wahyu Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto : Kaldera, 2016), hlm.25.
[18] Anthony Storr, Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, ( Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 69.
[19] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 101.
[20] Wahyu Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto : Kaldera, 2016), hlm.26.
[21] Anthony Storr, Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, ( Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 72.
[22] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 101.
[23] Wahyu Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto : Kaldera, 2016), hlm.28.
[24] Ibid, hlm.29.
[25] Ibid, hlm.30.
[26] Ibid, hlm.32-33.
[27] Ibid, hlm.35.
[28] Ibid, hlm.36.
[29] Ibid, hlm.37.
[30] Ibid, hlm.38.
[31] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Pelaja, 2008), hlm.43.
[32] Ibid, hlm. 42.
[33] Ibid, hlm. 43.
[34] Ibid, hlm. 44.
[35] Ibid, hlm. 45.
[36] Ibid, hlm. 46.
[37] Ibid, hlm. 47.
[38] Ibid, hlm. 48.
[39] Ibid, hlm.  49.
[40] Ibid, hlm. 52.
[41] Ibid, hlm. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar