Kamis, 06 Juli 2017

Pendapatan Nasional Modern & Islami

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Untuk mengukur keberhasilan perekonomian suatu negara salah satunya dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi (economic growth) dapat diukur dari kenaikan besarnya pendapatan nasional (produksi nasional) pada periode tertentu. Oleh karena itu, nilai dari pendapatan nasional (national income) ini merupakan gambaran dari aktivitas ekonomi secara nasional pada periode tertentu. Tingginya tingkat pendapatan nasional dapat mencerminkan besarnya barang dan jasa yang dapat diproduksi.
Pendapatan Nasional (national income) merupakan tolak ukur yang paling baik untuk menunjukkan keberhasilan dan kegagalan perekonomian suatu negara, dari tingkat kesempatan kerja, tingkat harga barang, dan posisi neraca pembayaran luar negeri, serta pendapatan per kapitanya. Jika faktor-faktor yang memengaruhi tersebut menunjukkan posisi yang sangat menguntungkan atau positif, maka tingkat keberhasilan atau tingkat kemajuan ekonomi suatu negara akan mudah tercapai, dan begitu pula sebaliknya. Dalam perhitungan ekonomi Islam terdapat prinsip yang harus dipegang teguh dalam perhitungan pendapatan nasional agar tujuan negara dapat terlaksanakan dengan baik dan masyarakat mendapatkan kesejahteraan  dan kebahagiaan dalam bernegara.

B.       Rumusan Masalah
Bagaimana konsep pendapatan nasional modern dan konsep pendapatan nasional Islami ?

C.      Tujuan
Untuk mengetahui konsep pendapatan nasional modern dan konsep pendapatan nasional Islami.

PEMBAHASAN

A.      Pendapatan Nasional Modern
1.        Definisi dan faktor Pendapatan Nasional
Pendapatan Nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu Negara pada periode tertentu biasanya satu tahun. Istilah yang terkait pada pendapatan nasional antara lain, Produk Domestik Bruto (gross domestic product/ GDP), Produk Nasional Bruto (Gross Nasional Product/GNP), serta Product Nasional Neto (Net Nasional Product/ NNP). Perhitungan pendapatan nasional akan memberikan perkiraan GDP secara teratur yang merupakan ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa.[1]
Faktor Pendapatan Nasional
a.         Permintaan dan Penawaran Agregat
Permintaan dan penawaran yang terjadi dalam suatu negara akan menimbulkan peningkatan pada harga. Semakin tinggi permintaan mengakibatkan kenaikan harga dan output nasional, dan juga akan mengurangi pengangguran, apabila terjadi penawaran dan mengalami penurunan maka pendapatan akan menurun dan pengangguran meningkat.[2]
b.        Konsumsi dan Tabungan
Konsumsi adalah untuk memperoleh barang dan jasa sedangkan tabungan adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Tinggi atau rendahnya konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan nasional.
c.         Investasi
Kegiatan ekonomi dengan menananmkan modal diberbagai sektor ekonomi. Investasi fungsinya juga untuk berjaga-jaga dimasa depan[3]
2.        Pendekatan Pendapatan Nasional
a.         Pendekatan/Metode Produksi (Gross Domestic Product / GDP)
Berdasarkan metode ini pendapatan nasional adalah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu. Dengan metode ini,  pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan setiap nilai tambah (value added) proses produksi di dalam masyarakat (warga negara asing dan penduduk) dari berbagai lapangan usaha disuatu negara dalam kurun waktu satu periode (biasanya satu tahun).[4]
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi di Indonesia dilakukan dengan menjumlahkan sektor industri yang ada.[5] Hasil produksi dari setiap lapangan tersebut dijumlahkan dalam satu tahun lalu dikalikan harga satuan masing-masing. Maka rumusnya :
Y = (Q1.P1) + (Q2.P2) +........(Qn.Pn)
Keterangan :
Y  : Pendapatan Nasional (Produk domestik bruto)
Q  : Jumlah Barang
P   : Harga Barang
b.        Pendekatan / Metode Pengeluaran (Gross National Product /GNP)
Pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran dapat diartikan sebagai jumlah pengeluaran secara nasional untuk membeli  barang dan jasa dalam satu periode.[6] Dalam menghitung GNP, nilai barang dan jasa yang dihitung dalam pendapatan nasional hanyalah barang dan jasa yang diproduksikan oleh faktor produksi yang dimiliki oleh warga negara yang pendapatan nasionalnya dihitung.[7]
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi, yaitu :
1)        Rumah tangga berupa konsumsi (Consumtion / C)
2)        Perusahaan berupa investasi (Investmen / I)
3)        Pengeluaran pemerintah (Government / G)
4)        Pengeluaran Ekspor dan Impor (Export – Import / E-M)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan ini biasa dituliskan dalam bentuk persamaan
Y     = C + I, untuk perekonomian tertutup tanpa peran pemerintah
Y    = C + I + G, untuk perekonomian tertutup dengan peranan pemerintah
Y     = C + I + G + X - M, untuk perekonomian terbuka.

Secara sederhana dapat dinyatakan GDPadalah nilai barang jadi yang diproduksi di dalam negeri. Sedangkan di dalam GNP ada bagian barang atau jasa yang diperoleh dari luar negeri.  Maka ada 3 kondisi yang mungkin terjadi pada suatu negara :
1)        Nilai GDP lebih besar dari GNP (GDP > GNP)
Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.[8]
2)        Nilai GDP lebih kecil dari GNP (GDP < GNP)
Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu
3)        Nilai GDP sama dengan GNP (GDP = GNP)
Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan sama besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.[9]
c.         Pendekatan / Metode Pendapatan (Pendapatan Nasional / Net National Product / NNT)
Pendapatan nasional menurut pendekatan ini adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh pemilik faktor-faktor produksi (rumah tangga) yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Komponen-komponen pendapatan nasional menurut metode pendapatan :
1)        Alam dengan sewa (rent / r) sebagai balas jasa.
2)        Tenaga kerja dengan upah / gaji (wage / w) sebagai balas jasa.
3)        Modal dengan bunga (interest / i) sebagai balas jasa.
4)        Skill kewirausahaan (Entrepreneurship) dengan laba (profit / p)

Hasil perhitungan pendapatan nasional (Y) dengan metode ini disebut Pendapatan Nasional (PN) atau National Income (NI). Dalam rumus akan tampak : [10]
Y  = r + w + i + p
3.        Sumber Pendapatan Negara
Untuk mebiayai seluruh program pembangunan yang telah dirumuskan dalam APBN, pemerintah harus mencari sumber pendapat yang dapat membiayai segala rencana dan program yang telah dibuat tersebut. sumber pendapatan pemerintah antara lain berupa penerimaan dari pungutan pemerintah. Adapun penerimaan dan pungutan pemerintah tersebut adalah sebagai berikut.
a.         Penerimaan Pajak
Pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang diatur undang-undang tanpa balas jasa secara langsung. Selain itu, ada juga yang dikenal dengan bentuk lain, yaitu tetribusi. Retribusi adalah pembayaran dari rakyat kepada pemerintah karena prestasinya langsung diterima oleh masyarakat. .Berikut ini, jenis pendapatan pajak :
1)        Pajak penghasilan yang terdiri dari migas dan nonmigas
2)        Pajak pertambahan nilai (PPN)
3)        Pajak bumi dan bangunan (PBB)
4)        Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
5)        Cukai (tembakau, minyak, gula pasir, alkohol)
6)        Pajak lainnya
7)        Bea masuk
8)        Pajak/punguntan ekspor
b.        Penerimaan Bukan Pajak
Jenis-jenis penerimaan bukan pajak adalah sebagai berikut : Minyak bumi, Gas alam, Pertambangan umum, Kehutanan, Perikanan, Bagian laba BUMN, dan Hibah.

B.       Konsep Pendapatan Nasional dalam Perspektif Islam
Dalam perhitungan ekonomi Islam terdapat prinsip yang harus dipegang teguh dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu:
1.        Pendapatan nasional harus menggambarkan pendapatan masyarakat yang sesuai dengan penyebaran penduduk.
2.        Pendapatan Nasional perkotaan dan pedesaan harus dapat dibedakan, karena secara jelas produksinya tidak dapat disamakan.
3.        Pendapatan Nasional harus dapat mengukur secara jelas kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.[11]

Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Al- Falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia ada pada rohaniahnya.
Konsep ekonomi kapitalis yang hanya mengukur kesejahteraan berdasarkan angka GNP, jelas akan mengabaikan aspek rohani umat manusia. Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Ini akan mengarahkan manusia pada konsumsi fisik yang cenderung hedonis sehingga menghasilkan produk-produk yang dilempar ke pasaran tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi aspek kehidupan lain. Maka dari itu, selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
Ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam. Setidaknya ada 4 hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. Adapun hal 4 tersebut adalah :
1.        Pendapatan nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga.
2.        Pendapatan nasional harus dapat mengukur produksi di sektor pedesaan.
3.        Pendapatan nasional harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi Islam.
4.        Penghitungan pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial Islami melalui pendugaan nilai santunan antarsaudara dan sedekah.[12]

C.      Sumber-Sumber Pendapatan Nasional Islam
Adapun sumber-sumber pendapatan nasional dalam ekonomi Islam antara lain:
1.        Unit Zakat- shadaqah
Unit zakat-shadaqah merupakan sumber daya keuangan yang secara spesifik terklasifikasi pada unsur kewajiban bagi setiap muslim. Zakat dalam istilah fiqh berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu.[13] Harta-harta yang wajib dizakati terdiri dari dua macam, yaitu zakat fitrah dan zakat harta. Kemudian zakat harta dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian, yakni zakat emas, perak, dan perhiasan, zakat hewan dan produk hewani, zakat pertanian dan hasil bumi, zakat barang perdagangan, zakat rikaz dan barang tambang.[14]
Pendapatan fiskal yang melalui instrument zakat dapat diperdayakan melalui kebijakan pengeluaran yang bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup rakyat miskin, dengan peningkatan sumber daya intelektual atau kemampuan sehingga menjadi produktif. Bantuan yang diberikan dari pendaapatan fiskal zakat berwujud skim-skim yang lazim dalam lembaga keuangan Islam seperti skim mudharabah atau qardhul hasan.[15]
Di Indonesia, mekanisme penghimpunan (funding) dan system distribusi unit zakat-shadaqah masih pada tingkat rutinitas pemenuhan kewajiban agama, belum sampai dioptimalkan sebagai basis fiskal yang signifikan. Akan tetapi, pemerintah telah mempunyai tanggung jawab sebagai Negara berpenduduk mayoritas muslim untuk dapat mengaktualisasikan zakat sebagai instrument penting dalam fiskal.[16]
2.        Usyur
Usyur merupakan pajak yang harus dibayar oleh para pedagang muslim atau non muslim. Secara etimologi ushur adalah sepersepuluh. Secara terminologi usyur berarti pajak yang dikenakan terhadap barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau yang ada di negara Islam. Usyur atau yang diistilahkan dengan pajak perdagangan ataupun bea cukai. Istilah Usyur belum dikenal pada masa Rasulullah dan Masa Abu Bakar.[17] 
Usyur ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pada awalnya usyur merupakan pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non muslim yang melakukan perdagangan di negara Islam. Dalam perkembangan selanjutnya usyur ini juga diterapkan kepada pedagang muslim. Rate of Usyur (tingkat pajak perdagangan) berkisar dari 2,5 % per tahun untuk pedagang muslim. 5 % per tahun bagi ahlu zimmah,[18] 10 % per tahun untuk pedagang kafir harbi. Kadar Usyur yang dipungut adalah omzet yang mencapai 20 dinar untuk emas dan 200 dirham untuk perak.[19]
3.        Kharaj
Kharaj adalah hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kuffar, baik dengan cara perang maupun damai. Apabila perdamaian tersebut menyepakati, bahwa tanah tersebut adalah milik kita, dan merekapun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya. Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara’ (sewa) dan al-ghullah (hasil). Tiap tanah yang diambil dari kaum kuffar secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, maka tanah tersebut dianggap sebagai tanah kharajiyah. Apabila mereka memeluk isla, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah tetap kharajiyah.[20] Surat Al-Hasyr Ayat 8, menyatakan :

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Cara memungut Kharaj ada dua, yaitu :
a.         Kharaj Muqassimah (perbandingan). Cara ini ditetapkan berdasarkan hasil tanah, misalnya seperdua, sepertiga dan hasil tanaman yang dipungut pada setiap kali panen.
b.        Kharaj Wazifah (tetap). Yakni beban khusus yang diberikan pada lahan pertanian sebanyak hasil panen atau persatuan lahan, yang kewajibannya dikenakan setelah lewat satu tahun.[21]
4.        Pajak tambahan
Secara etimologi, dalam bahasa arab pajak di kenal dengan istilah Dharibah, yang berasal dari kata dharaba, yadhribu, dharban yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain. Dalam Islam pajak adalah kewajiban yang bersifat kontemporer, yang merupakan kewajiban tambahan setelah zakat yang di pungut ketika baitul mal kosong, sehingga ketika kondisi baitul  mal sudah memiliki harta,  maka pajak tidak lagi diwajibkan. Dengan demikian, pajak (dharibah) dalam Islam memiliki karakterisitik sendiri, yaitu :
a.          Pajak (dharibah) bersifat kontemporer yang hanya di pungut ketika keadaan baitul mal kosong. Berbeda dengan teori pajak non Islam pajak berlaku selamanya.
b.        Pajak di pungut hanya untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan tersebut,tidak boleh lebih.
c.         Pajak hanya di ambil dari kaum muslimin yang kaya raya.
d.        Pajak akan di hapus ketika sudah tidak diperlukan. Berbeda dengan konsep pajak non islam yang tidak akan di hapus  karena merupakan pendapatan utama negara.
5.        Ghonimah
Ganimah merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini ada aturannya dalam Al-Qur’an. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan kepada para prajurit yang bertempur, sementara seperlimanya adalah khums. Hasanuzzaman mendefinisikan ganimah sebagai segala barang bergerak yang direbut oleh tentara Muslim dalam sebuah pertempuran. Ketentuan tentang ghanimah terdapat dalam surat Al-Anfal ayat 41 :
 وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dalam ghanimah ada beberapa jenis pembagian yang harus menjadi perhatian :
a.         Nafal, yaitu penghargaan yang diberikan pada seorang prajurit berupa pembagian harta ghanimah,yang jumlahnya lebih dari rata-rata, dari pemimpinnya, baik pemimpin negara maupun pemimpin lapangan.
b.        Salab, barang pribadi yang direbut oleh prajurit dari musuh yang dibunuhnya.
c.         Safi’ adalah barang pilihan pemimpin yang diambil dari ghanimah untuk dirinya sendiri.
6.        Jizyah
Secara bahasa jizyah berasal dari kalimat jaza yang berarti penggantian (kompensasi), atau balasan atas suatu kebaikan atau kejahatan. Secara terminologi jizyah adalah pajak yang dikenakan kepada warga non muslim sebagai imbalan untuk jaminan kehidupan yang diberikan oleh negara Islam. Dia merupakan pajak jiwa bagi non muslim yang tinggal diwilayah daulah Islamiyah.[22] Ada yang berpendapat bahwa jizyah yang dipungut dari warga non muslim merupakan sewa untuk tinggal di negara Muslim. Firman Allah dalam Q.S at-Taubah (9) : 29
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”

Juga sabda Rasulullah SAW :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتَلِ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوالاَإِلَهَ إِلاَّالله فَمَ نْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّ ي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّ هِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Aku perintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengatakan لاَإِلَهَ إِلاَّالله . barangsiapa telah mengucapkannya, maka terjaga dariku, dirinya dan hartanya kecuali sesuatu yang menjadi haknya, dan pertanggungjawabannya adalah terhadap Allah Swt”.[23]

Pada masa Rasulullah besarnya Jizyah yang dipungut adalah satu dinar/tahun untuk laki-laki dewasa yang mampu.[24] Pada masa Umar, menetapkan tarif jizyah yang bervariasi tergantung kondisi ekonomi dan kemampuan para wajib jizyah tersebut. Adapun Rate of Jizyah per tahun yang diterapkan pada masa Umar :
a.         Bagi warga non muslim yang kaya jizyah dipungut sebesar 48 dirham.
b.        Bagi warga non muslim ekonomi menengah 24 dirham.
c.         Bagi para petani, buruh, rakyat miskin jizyah dipungut sebesar 12 dirham.
Jizyah merupakan bentuk dari dakwah Islamiyah dalam rangka mengajak umat non muslim masuk Islam secara persuasif, bila mereka masuk militer mereka dibebaskan dari kewajiban jizyah, dan kewajiban jizyah berakhir bagi mereka yang masuk Islam. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi:
لاجزية لمسم (رواه احمد و ابو داود)
“Tidak ada kewajiban membayar jizyah bagi orang yang telah masuk Islam” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Setelah Islam runtuh, yakni setelah keruntuhan Islam di Turki Utsmani dan Spanyol,istilah jizyah tidak ada lagi. Hal ini disebabkan daerah Islam telah dikuasai oleh orang kafir. Sehingga pajak terhadap warga non muslim tidak ada lagi. Pada zaman modern, pajak jiwa yang dipungut oleh pemerintah terhadap warga asing yang masuk dan atau menetap dalam wilayah kekuasaan suatu pemerintah adalah dalam bentuk visa.[25]
7.        Fa’i
Fai’ dalam pengertian yang sebenarnya adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh umat Islam dari tangan orang kafir tanpa penyerahan pasukan berkuda maupun unta, juga tanpa kesulitan serta tanpa melakukan pertarungan atau pertempuran.[26] Maksudnya adalah fai’ merupakan harta yang diperoleh oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa melakukan peprangan atau tanpa menyerbu ke daerah orang-orang kafir dengan pasukan muslimin.[27] Ketentuan Fai’ merujuk dalam surat al-Hasyr (59) : 6.
وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[28]
8.        Harta Rikazh dan Barang Tambang
Rikaz adalah harta terpendam di dalam perut bumi, baik berupa emas, perak, mutiara dan permata lainnya berupa perhiasan atau senjata. Harta ini wajib diambil seperlimanya untuk dimasukan ke baitulmal. Adapun 4/5 bagiannya dikembalikan ke pemiliknya. Dalam suatu hadis Nabi Muhammad SAW bersabda :
إن كنت وجدته في قرية مسكونة ، أو في سبيل ميتاء ، فعرفه ، وإن كنت وجدته في خربة جاهلية ، أو في قرية غير مسكونة ، أو غير سبيل ميتاء ، ففيه وفي الركاز الخمس

Jika engkau menemukan harta terpendam tadi di negeri berpenduduk atau di jalan bertuan, maka umumkanlah (layaknya luqothoh atau barang temuan, pen). Sedankan jika engkau menemukannya di tanah yang menunjukkan harta tersebut berasal dari masa jahiliyah (sebelum Islam) atau ditemukan di tempat yang tidak ditinggali manusia (tanah tak bertuan) atau di jalan tak bertuan, maka ada kewajiban zakat rikaz sebesar 20%.”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

“Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%)”

Penemuan harta terpendam ini ada dua perlakuan, jika ditemukan dalam jumlah sedikit maka aturan diatas berlaku, namun jika ditemukan dalam jumlah yang sangat besar, maka kepemilikan harta tersebut harus diserahkan kepada negara (baitulmal) seluruhnya. Khums yang diambil dari penemuan rikazh dan barang tambang statusnya sama degan harta fai’. Penggunaan menjadi wewenang khalifah untuk mengatur urusan umat dan mewujudkan kemaslahatannya.[29]




KESIMPULAN


Berdasarkan pembahasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa:
1.        Pendapatan Nasional (national income) merupakan tolak ukur yang paling baik untuk menunjukkan keberhasilan dan kegagalan perekonomian suatu negara, dari tingkat kesempatan kerja, tingkat harga barang, dan posisi neraca pembayaran luar negeri, serta pendapatan per kapitanya.
2.        Dalam perhitungan ekonomi Islam terdapat prinsip yang harus dipegang teguh dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu :
a.       Pendapatan nasional harus menggambarkan pendapatan masyarakat yang sesuai dengan penyebaran penduduk.
b.      Pendapatan Nasional perkotaan dan pedesaan harus dapat dibedakan, karena secara jelas produksinya tidak dapat disamakan.
c.       Pendapatan Nasional harus dapat mengukur secara jelas kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.
3.        Perhitungan pendapatan nasional dapat dihitung berdasarkan tiga pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan produksi, (2) Pendekatan pengeluaran, (3) Pendekatan pendapatan.
4.        Sumber-sumber pendapatan nasional dalam ekonomi Islam antara lain Unit Zakat-Shodaqoh, Ghanimah, ‘usyur, Kharaj, Pajak tambahan, Jizyah, Fai’, Rikazh dan barang tambang.









DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqyuddin. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya : Risalah Gusti.

Dahlan, Ahmad. 2008. Keuangan Publik Islam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Grafindo Litera Media.

Huda, Nurul et al. 2009. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Jakarta : Kencana.

Huda, Nurul et. al. 2012. Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis dan Praktis, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Naf’an. 2014. Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah, Yogyakarta : Graha Ilmu.

Nasution, Mustafa Edwin. 2010. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana.















 



[1] Nurul Huda, et al. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 21
[2] Naf’an, Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014), hlm. 194.
[3] Naf’an, Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014), hlm. 195.
[4]Ibid., hlm. 197.
[5] Nurul Huda, et al. Ekonomi Makro Islam... hlm. 22
[6] Naf’an, Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah...hlm. 198.
[7] Ibid., hlm. 199.
[8] Nurul Huda, et al. Ekonomi Makro Islam... hlm. 24.
[9] Ibid., 25.
[10] Naf’an, Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah...hlm. 200.
[11] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 193.
[12] Ibid., 195.
[13] Ahmad Dahlan, Keuangan Publik Islam Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Grafindo Litera Media, 2008), hlm. 19.
[14] Ibid., hlm. 20.
[15] Ibid., 21.
[16] Ibid., hlm. 22.
[17] Nurul Huda, et. al. Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 133.
[18] Ibid., hlm. 134.
[19] Ibid., hlm. 135.
[20] Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 2002), hlm. 260.
[21] Nurul Huda, et. al. Keuangan Publik Islam... hlm. 131.
[22] Ibid., hlm. 137.
[23] Ahmad Dahlan, Keuangan Publik Islam... hlm. 30.
[24] Nurul Huda, et. al. Keuangan Publik Islam...hlm. 138.
[25] Ibid., hlm. 139.
[26] Ibid., hlm. 127.
[27] Ahmad Dahlan, Keuangan Publik Islam...hlm. 30.
[28] Nurul Huda, et. al. Keuangan Publik Islam...hlm. 128.
[29] Ibid., hlm. 135.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar