PERIKATAN
(AKAD / KONTRAK)
A.
Pengertian Akad
Menurut
bahasa ‘Aqd mempunyai beberapa arti antara lain :
1.
Mengikat
الرَّبْطُ
هُوَ جَمْعُ طَرْفَى حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِالآخَرِ حَتَّى
يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
“Rabath
(mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan
yang lain hingga bersambung lalu
keduanya menjadi satu benda”.
2.
Sambungan
اَلْمَوْصِلُ
الّذِىْ يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3.
Janji
بِلى
مَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّه يُحِبُّ المُتَّقِيْنَ
“Siapa saja
menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang taqwa.”
Adapun pengertian akad menurut istilah yakni terdapat definisi
banyak beragam diantaranya;
Yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya radd al-Muhtar
‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutip oleh Nasrun Haroen. Definisi akad yakni :
Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.
Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al Juhailli dalam kitabnya al
Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Rachmat Syafei. Yang
terjemahannya adalah sebagai berikut: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua
segi.”
Sedangkan, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy definisi akad ialah;
“perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang
menetapkan keridlaan kedua belah pihak.”
Dapat
disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang
mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang
memberikan pengaruh pada suatu kontrak. Dasar hukum dilakukannya akad dalam
Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat 1 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ
الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ
حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Dalam ayat diatas juga ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad
(perjanjian) mencakup aqad secara vertikal, yaitu janji prasetia kita manusia
sebagai hamba kepada Allah. Dan aqad secara horizontal, yaitu perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan antar sesamanya.
Karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk
berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak
mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan
keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah, oleh karena
itu akad merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik.
-حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى
صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.(أخرجه البخارى ومسلم)
Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari
Malik dan beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar
Rodliyallohu ‘anhuma. Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Dua orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh
melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli
khiyar.” (HR Bukhori dan Muslim)
“Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum
Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR. Bukhari)
Hadist diatas menjelkaskan bahwa akad yang di adakan oleh para
pihak harus di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu
masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan perkataan
lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti
tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan
sendirinya akad yang diadakan tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.
B.
Rukun Akad
Secara bahasa rukun
adalah”yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”. Secara definisi rukun
adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan
atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau
tidak adanya sesuatu itu.[1] Jumhur
ulama berpendapat bahwa rukun akad adalah al-aqidain, mahallul ‘aqd dan sighat
al-aqd, Musthafa az-Zarqa menambahkan maudhu’ul ‘aqd (tujuan akad).
1.
Aqidain
Adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu
tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan),
dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum ini terdiri dari dua
macam yaitu manusia dan badan hukum.[2]
a.
Manusia
Manusia
(syakhshiah thabi’iyah) dikatakan sebagai subjek hukum karena memang
fitrah perbuatan manusia terikat oleh hukum syara’.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ
الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."
Tafsir Quraish Shihab : Kemudian, setelah terjadi perselisihan di
antara Ahl al-Kitâb itu, Kami menjadikanmu, Muhammad, sebagai seorang utusan
yang berada di atas ajaran syariat agama yang jelas yang telah Kami syariatkan
kepadamu dan kepada rasul-rasul sebelummu. Maka dari itu, ikutilah syariatmu
yang benar dan diperkuat dengan hujah-hujah dan bukti-bukti itu. Janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui jalan yang benar. [3]
b.
Badan Hukum
Syariah
Badan
hukum dikatakan sebagai subjek hukum karena terdiri dari kumpulan orang-orang
yang melakukan perbuatan hukum (tasharruf)). Ketentuan menjadikan badan
hukum sebagai subjek hukum, tidak boleh bertentangan dengan prinsip akad yang
terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.[4]
2.
Mahal Al-‘Aqd
Mahal Al-‘Aqd (objek akad) adalah sesuatu yang oleh syara dijadikan
objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Objek akad dapat
terbagi menjadi dua, yaitu harta benda, dan manfaat perbuatan itu sendiri.[5]
Menurut para fuqaha, agar sesuatu dapat dijadikan sebagai objek akad maka harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
Sesuatu yang
menjadi objek akad harus sesuai dengan prinsip syariah (masyru’). Karenanya
apabila objek akad sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, keberadaan objek akad
akan memberi kemaslahatan bagi manusia. Begitu pula sebalinya apabila
bertentangan pasti akan menimbulkan kemudharatan.[6]
b.
Adanya
kejelasan objek akad sehingga dapat diserah terimakan. Dasar hukum kejelasan
objek akad :
لا
َتَشْتَرُ وا السَّمَكَ فىِ الْمَاءِ فَاِنَّهُ غُرُوْرٌ (رواه أحمد)
“Janganlah kalian membeli ikan yang
masih dalam air karena merupakan penipuan (gharar)” (HR. Ahmad).
Selain gharar,
ketidakjelasan objek akad akan menjadi penghalang terjadinya serah terima
kepemilikan. Dalam suatu riwayat, Hakim bin Hizam berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku membeli barang daganganny, apa yang dihalalkan dan diharamkan
daripadanya?” Kemudian Rasulullah bersabda :
فَإِذَا
اشْتَرَ يْتَ شَيْئًافَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
“Jika
engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau jual lagi sebelum barang tersebut
berada ditanganmu.” (HR. Ahmad,
Baihaqi, dan Ibnu Hibban)
مَنِ
اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa
yang membeli makanan, maka dia tidak boleh menjualnya sebelum dia menerima
barang tersebut.” (HR. Muslim)[7]
Berdasarkan hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
mengakadkan sesuatu yang belum diketahui, maka hukumnya batal. Tapi ada
pengecualian terhadap akad-akad tertentu seperti salam dan istisna,
dengan syarat sebelum pembuatan barang harus dijelaskan klasifikasinya. Objek
akad dapat digolongkan menjadi 2 macam :
1)
Bentuk objek
akad berupa harta benda. Apabila objek tersebut berupa harta bergerak (mal
al-manqul), maka akad dilakukan dengan cara penyerahan harta tersebut.
Apabila bentuknya harta benda yang tidak bergerak (mal al-‘uqar/mal ghairu
manqul), maka penyerahan cukup dengan cara pengalihan hak (sertifikat)
kepemilikan bendanya.
2)
Apabila objek
akad berupa manfaat, maka penyerahannya dilakukan dengan cara menggunakan benda
tersebut. Apabila berupa perbuatan, maka dilakukan dengan cara menjalankan
amanah pekerjaan sesuai dengan manfaat yang diharapkan pihak lain.
c.
Adanya syarat
kepemilikan sempurna terhadap objek akad.
Ketentuan
ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam Ketika mengadu kepada
rasulullah, “ada seorang yang datang kepadaku, kemudian dia menanyakan
apakah saya ingin menjual barang, dimana barang tersebut bukan milik saya”. Kemudian
setelah mendengar pengaduan tersebut Rasululloh SAW Bersabda “janganlah
menjual suatu barang yang bukan milikmu”. (HR Tirmidzi)
Dari keterangan hadis tersebut jelas bahwa pada dasarnya Islam
melarang transaksi terhadap objek akad yang bukan menjadi kewenangannya.[8]
Mngadakan sesuatu tanpa sepengetahuan pemiliknya dinamakan dengan akad fudhuli.
Dengan akad fudhuli menyebabkan keabsahan hukum akad menjadi terganggu (mauquf)
pemiliknya. Karena akad ini akan dianggap sah apabila pemiliknya
mengizinkan, tetapi apabila tidak mendapat izin dari pemiliknya maka akad
menjadi batal.
اْلأَمْرُ
بِالتَّصَرُّفِ فِىْ مِلْكِ الْغَيْرِ بَا طِلُ
Menyuruh
bertindak hukum tasharruf) pada harta orang lain merupakan kebatilan.
3.
Sighat Al-‘Aqd
Sighat akad merupakan hasil ijab dan qabul berdasarkan ketentuan
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Ijab ialah pernyataan
pertama yang disampaikan oleh salah satu pihak yang mencerminkan kehendak untuk
mengadakan perikatan. Qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang
mencerminkan persetujuan/kesepakatan terhadap akad.
Dalam fiqh muamalah terdapat ketentuan hukum agar ijab qabul
memenuhi syarat sebagai rukun akad, yaitu :
a.
Keharusan
adanya kejelasan makna dalam ijab qabul (jala al-ma’na)[9]
Menurut
para fuqaha terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam akad, yaitu :
1)
Ijab qabul
dengan menggunakan lafadz. Dalam akad pernyataan ijab dan qabul yang paling
utama ialah melalui perkataan para pihak dalam suatu majelis.
اِعْمَالُ
الْكَلاَمِ أَوْلَى مِنْ اِهْمَالِهِ
“Mempergunakan
maksud perkataan adalah lebih utama daripada tidak menggunakannya.”
2)
Melalui
tulisan. Pengecualian berlaku bagi para aqid yang tidak dapat menggunakan
kehendak secara lisan atau perkataan, karena suatu sebab, maka akad boleh
disampaikan melalui tulisan.
اَلْكِتَا
بَةُ كَالْخِطَابَ
Tulisan
itu sama dengan ucapan.”karena itu
dalam kaidah lain dinyatakan bahwa”Tulisan bagi orang yang berhalangan hadir
sepadan dengan ucapan bagi yang hadir.
3)
Ijab qabul
dengan menggunakan isyarat.
اْلإِشَارَةُ
اَلْمَعْهُوْدَةُ لِأَخْرَسَ كَالْبَيَانِ بِالِّسَانِ
“Isyarat yang jelas dari
seorang yang bisu sepadan dengan keterangan lisan”
4)
Melakukan
perbuatan. Dalam akad, terkadang tidak menggunakan ucapan maupun tulisan,
melainkan langsung dengan perbuatan memberi atau menerima (ta’athi) yang
menunjukan saling meridai.[10]
Misalnya dalam toko swalayan penjual menetapkan harga suatu barang, kemudian
pembeli tanpa menawar langsung membeli buku tersebut.
b.
Kesesuaian
antara ijab dan qabul (Tathabuq baina al-ijab wa al-qabul).
Tanpa
adanya kesesuaian ijab dan qabul maka akad tidak akad mungkin terjadi. Misal
dalam transaksi penyusunan kontrak jual beli ada seorang yang ingin membeli
barang, tetapi sang penjual belum mengabulkan karena penawaran harganya
dianggap belum sesuai. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan penyusunan kontrak tidak
terlaksana.[11]
c.
Para pihak
hadir dalam suatu majelis akad (majlis al-‘aqd).
Pengertian
majlis tidak terbatas pada ruang dan waktu, mengingat perkembangan teknologi
komunikasi memungkinkan seseorang untuk melakukan transaksi bisnis jarak jauh,
misalnya e-commerce.[12]
C.
Penggolongan
Akad
1.
Dilihat dari
keabsahan menurut syara’ maka akad dibagi menjadi dua, akad shahih dan akad
tidak sahih.
a.
Akad shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum
dari akad ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan
mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad menurut ulama Hanafi dan Maliki
terbagi menjadi :
1)
Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan)., yaitu akad yang langsung dengan
memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
2)
Akad mawquf , yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum
tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad
tersebut, seperti : akad yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah muwayyiz.
b.
Akad yang tidak
syah., yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syarat-syaratnya
sehingga seluruh akibat hukum akad tersebut tidak berlaku dan tidak mengikat
pihak-pihak yang berakad. Menurut ulama Hanafi akad ini ada 2 :
1)
Akad Batil,
yaitu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari
syara’.
2)
Akad Fasid, akad
yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas.
2.
Dilihat dari
segi penamaannya
a.
Akad Musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara serta
dijelaskan hukum-hukumnya, seperti Jual beli, sewa menyewa, perikatan, hibah, wakalah,
wakaf, hiwalah, ji’alah, wasiat dan perkawinan.
b.
Akad ghairu
Musammah, yaitu akad yang penamaannya
ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan
tempat seperti istisna, bai’ al-wafa’, dan lain-lain.
3.
Dilihat dari
segi disyariatkannya akad atau tidak
a.
Akad Musyara’ah, yaitu akad yang dibenarkan syara umpamanya jual beli, jual harta
yang ada hartanya dan termasuk juga hibah serta gadai.
b.
Akad mamnu’ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang
yang masih di dalam kandungan.
4.
Dilihat dari
sifat bedanya
a.
Akad ‘aniyah, yaitu akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan melaksanakan
apa yang diakadkan tersebut. Contoh denda yang dijual diserahkan kepada yang
membeli.
b.
Akad ghairu
‘aniyah, yaitu akad yang hasilnya
semata-mata berdasarkan pada akad itu sendiri.
5.
Dilihat dari
bentukatauk atau cara melakukan
a.
Akad –akad yang
harus dilakukan dengan cara tertentu misal pernikahan nyang harus di lakukan di
hadapan para saksi , akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah yang
oleh undang undfang mengharuskkan hak itu di catat di kantir agraria
b.
Akad –akad yang
tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak perlu di tempat yang di tentukan.
6.
Dilihat dari
dapat tidak nya di batalkan akad
a.
Akad yang tidak
dapat di batalkan yaitu ‘aqduzziwaj. Akad
nikah tidak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan 2 belah
pihak.
b.
Akad yang dapat
dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh,
dan akad-akad lainnya.
c.
Akad yang dapat
dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, Rahn dan Kafalah
merupakan keharusan bagi si rahin
dan si kafil, tidak merupakan keharusan oleh si murtahin
(orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang yang memegang
tanggungan).
d.
Akad yang dapat
dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak kedua. Yaitu seperti : wadiah,
‘ariyah, dan wakalah.
7.
Dilihat dari
segi tukar menukar hak.
a.
Akad mu’awadlah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti
jual beli, sewa menyewa, shulh dengan harta, atau shulh terhadap
harta dengan harta.
b.
Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan,
seperti hibah dan ‘ariyah.
c.
Akad yang
mengandung tabarru’ pada permulaan tapi menjadi mu’awadlah pada
akhirnya, seperti qardl dan kafalah. Qardl dan kafalah
melanya adalah tabarru’, tetapi pada akhirnya menjadi mu’awadlah
ketika si kafil meminta kembali uang kepada si madin.
8.
Dilihat dari
segi keharusan membayar ganti dan tidaknya akad
a.
Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu
diterimanya. Seperti jual-beli qardh menjadi dlaman pihak kedua sesudah
barang itu diterima. Bila terjadi kerusakan maka barang ditanggung oleh pihak
pertama.
b.
Akad amanah, yaitu tanggung jawab yang ditanggung oleh yang punya, bukan oleh
yang memegang baranng. Misal syirkah, wakalah.
c.
Akad yang
dipengaruhi oleh berbagai unsur, dari satu segi mengadung dhamanah, dan
dari segi lain merupakan amanah. Contoh : ijarroh, rahn
9.
Dilihat dari
segi tujuannya.
a.
Yang tujuannya
tamlik seperti jual-beli, mudharabah
b.
Yang tujuannya
mengokohkan kepercayaan saja, seperti rahn dan kafalah. Akad
tersebut dilakukan untukengolohkan kepercayaan si dain ata si murtahin
c.
Yang tujuannya
menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan wasiat.
d.
Yang tujuanya
memelihara, yaitu wadi'ah.
10.
Dilihat dari
segi berlakunya
a.
Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu lama.
Misal jual beli walaupun dengan harga yang ditanggungkan.
b.
Akad
mustamirrah dinamakan juga
akad zamaniah, yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang
menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contoh ijarah, ‘ariyah, wakalah, dan
syirkah.
11.
Dilihat dari
ketergantungan dengan yang lain.
a.
Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu
yang lain, misalnya jual beli ijarah, wadi’ah, ariyah.
b.
Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan
sesuatu yang lain, misalnya rahn dan kafalah. Rahn tidak
dapat dilakukan apabila tidak ada utang.
12.
Dilihat dari maksud
dan tujuannya
a.
Akad tabarru, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata
mengharapkan ridlo dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari
return ataupun motif. Misal hibah, wakaf, wasiat, ibra, wakalah, kafalah,
hawalah, rahn dan qirad.
b.
Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan
keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semua. Seperti murabahah,
salam, istisna dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudharabah dan
musyarakah.
D.
Mani’ Nufudz (Penghalang Akad)
Mani’ nufudz banyak
macamnya. Namun demikian dapat kita kembalikan kepada dua macam saja, yaitu
ikrah (paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain). Ikrah, adalah
cacat yang terjadi pada keridlaan (kehendak) yang paling penting dalam fiqh
Islam. Para fuqaha mengadakan pembahasan tersendiri tentang ikrah ini. Mengenai
haqqul ghair ini perlu dijelaskan sedikit. Haqqul ghair mempunyai
tiga keadaan :
1.
Haqqul ghair, akad yang berpautan dengan benda. Seperti menjual milik orang
lain, tindakan orang sakit menjelang maut, dan seperti tasharruf orang murtad
menurut jumhur atau menurut Abu Hanifah.
2.
Berpautan
dengan maliyah, benda obyek akad; bukan dengan benda (‘ain) nya, hanya
dengan maliyah-nya, dengan hartanya, seperti tasharruf si madin
yang tidak majhur secara yang menimbulkan kerugian pihak dain, lantaran hak-hak
si dain itu berpautan dengan maliyah benda itu, bukan dengan zatnya benda itu.
Uang
si dain bukan bersangkut dengan rumah si madin, tetapi bersangkut dengan harta
si madin. Maka jika si madin dapat membawakan harta-harta yang lain untuk bayar
hutang, sahlah tabarru’nya itu. Ini perbedaan perpautan hak dengan ‘ain,
dengan perpautan hak dengan maliyah ‘ain. Kalau berpautan dengan hak si dain
berpautan dengan maliyah si madin, maka kalau simadin itu bisa membayar
walaupun dengan bukan yang itu, niscaya si madin dapat bertasharruf dengan
hartanya itu.
3.
Berpautan
dengan dapat tidaknya tasharruf itu sendiri, bukan dengan benda, yang dikatakan
dalam istilah fiqh shalahiatul tasharruf (boleh bertasharruf), seperti
tasharruf si majhur alaih, baik karena masih kecil, maupun karena safih
(boros), atau lantaran hutang. Apabila wali atau washi setuju, maka persetujuan
ini berlaku surut. Ini penting kita perhatikan.[13]
E.
Berakhirnya
akad
Berakhirnya akad karena fasakh adalah rusak atau putusnya akad yang
mengikat antara muta’aqidain (kedua belah pihak yang melakukan akad)
yang disebabkan karena adanya kondisi atau sifat-sifat tertentu yang dapat
merusak iradah. AkaD yang batal adalah akad yang menurut dasar dan sifatnya
tidak diperbolehkan seperti akad yang tidak terpenuhi salah satu rukun atau
syaratnya. Sedangkan berakhirnya akad adalah berakhirnya ikatan antara kedua
belah pihak yang melakukan akad (mujib dan qabil) setelah terjadinya atau
berlangsungnya akad secara sah.
Para fuqaha berpendapat bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
1.
Telah jatuh
tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah disepakati, apabila akad
tersebut memiliki proses waktu. Seperti pada akad ijarah yang telah habis masa
kontraknya.
2.
Terealisasinya
tujuan daripada akad secara sempurna. Misalnya pada akad tamlikiyyah yang
bertujuan perpindahan hak kpemilikan dengan pola akad jual beli, maka akadnya
berakhir ketika masing-masing pihak yang telah melakukan kewajiban dan menerima
haknya. Penjual telah menyerahkan barangnya dan pembeli memberikan staman/harga
yang telah disepakati.
3.
Barakhirnya
akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang berakad. Prinsip umum
dalam fasakh ialah masing-masing pihak kembali kepada keadaan seperti sebelum
terjadi akad atau seperti tidak pernah berlangsung akad.
4.
Salah satu
pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama fiqh
menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu
pihak yang melaksanakan akad. Akad yang bisa berakhir dengan wafatnya salah
satu pihak yang melaksanakan akad, di antaranya adalah akad sewa menyewa,
ar-rahn, al-kafalah, ays-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah. Akad juga akan
berakhir dalam bai’al-fudhuli (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya
tergantung pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan dari
pemilik modal.
5.
Berakhirnya
akad dengan sebab tidak adanya kewenangan dalam akad yang mawquf. Akad
mauquf akan berakhir jika yang berwenang
wilaya al akad tidak mengizinkan. Demikian juga pada akad fuduli yaitu akad
yang dilakukan oleh orang yang bertindak pada hak orang lain tanpa disuruh atau
diminta melakukannya seketika berakhir jika tidak adanya izin dari yang
berwenang.
[1] Gemala
Dewi, SH., LL.M., dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Prenada Media, 2005), Hlm. 50.
[2] Ibid.,
hlm. 51.
[3]
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta,
2009), Hlm. 24.
[4] Ibid.,
hlm. 29.
[5] Ibid.,
hlm 30.
[6] Ibid.,
hlm. 31.
[7] Ibid.,
hlm. 32.
[8] Ibid.,
hlm. 33.
[9] Ibid.,
hlm, 34.
[10] Ibid.,
hlm. 35.
[11] Ibid.,
hlm. 36.
[12] Ibid.,
hlm. 37.
[13] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed. Revisi, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 82.