BAY’AL –
MURABAHAH
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Fiqh Muamalah 1
Dosen
Pengampu : Dr. Jamal Abdul Aziz, M.Ag.
Disusun
Oleh :
1. Anggun
Mutiara Putri (1522201076)
2. Harry
Faishal Aqmal (1522201091)
3. Nurrotul
Jannah (1522201100)
4. Rohmah
Purwanti (1522201103)
5. Dede
Imam Mughni (1323203058)
JURUSAN
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2015/2016
BAY’AL –
MURABAHAH
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang
universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada
garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah
adalah mengahambakan diri kepada Allah Swt dengan menaati segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan
yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial.
Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan
pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.
Adapun bentuk-bentuk jual
beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah Islamiyah terbilang
sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan atau puluhan. Sesungguhpun
demikian, dari sekian banyak itu, ada salah satu jenis jual beli yang telah
banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah atau jual beli
murabahah.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana Konsep Bay’al-Murabahah ?
b.
Bagaimana Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?
c.
Bagaimana Analisis Penerapan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?
3.
Tujuan
a.
Mengetahui Konsep Bay’al-Murabahah.
b.
Mengetahui Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah .
c.
Mengetahui Analisis Penerapan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah.
B.
Konsep Bay’al – Murabahah
1.
Pengertian
Murabahah
Murabahah merupakan salah satu konsep islam dalam
melakukan perjanjian jual beli. Konsep ini telah banyak digunakan oleh
bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan islam untuk pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan
perdagangan para nasabahnya.[1]
Pengertian murabahah secara lafdzi berasal dari
masdar ribhun (keuntungan). Murabahah
adalah masdar dari Rabahu – Yurabihu –
Murabahatan (memberi keuntungan). Sedangkan secara istilah, Wahbah al
Zuhailiy mengutip beberapa definisi yang diberikan oleh para imam mujtahid.
Diantaranya adalah :
a.
Ulama’ Hanafiyah
mengatakan, murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang
lain sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik awal
ditambah dengan keuntungan yang diinginkan.
b.
Ulama’
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat Murabahah adalah jual beli yang dilakukan
seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan
syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Sehingga dapat dipahami bahwa murabahah merupakan akad
jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu, yaitu keharusan adanya
penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli
sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan
oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak.[2]
2.
Dasar Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa murabahah adalah salah
satu jenis dari jual beli, khususnya jual
beli amanah.[3] Maka landasan syar’i
akad murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Diantaranya :
a.
Al Qur’an
-
Q.S Al Baqoroh
ayar 275
“....Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba....”
-
Q.S An-Nisa Ayat 29
“
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka di antara kamu.......”
b. Hadis
-
Ketika
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu
'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam
berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar
Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada
kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda,
"kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
-
Sebuah riwayat
dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan Bahwa boleh melakukan jual
beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap
sepuluh dirham harga pokok. [4]
-
Hadits riwayat
Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ,
وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ
ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan:
menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari
mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak
untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
c.
Kaidah Fiqh,
yang menyatakan:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلاَتِ
الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهاَ
“
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
d.
Fatwa Dewan
Syariah Nasional
1)
Nomor
4/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah.
2)
Nomor
13/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah.
3)
Nomor
16/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000 tentang Diskon Dalam Murabahah.
4)
Nomor
17/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu
yang menunda-nunda Pembayaran.
5)
Nomor
23/DSN-MUI/III/2002 Tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah.[5]
3.
Rukun dan Syarat
Murabahah
Rukun murabahah ada 5 yaitu penjual (Ba’i),
Pembeli (Musytari), Objek jual Beli (Mabi’), Harga (Tsaman),
Ijab Qabul.[6] Syafi’i Antonio menetapkan
persyaratan murabahah sebagai berikut :
a.
Penjual memberi
tahu biaya modal kepada nasabah.
b.
Kontrak pertama
harus syah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak harus
bebas dari riba.
d.
Penjual harus
menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.
Penjual harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian
dilakukan secara hutang.[7]
4.
Jenis Murabahah
a.
Murabahah tanpa
pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank
syariah menyediakan barang dagangannya. Penyedian barang ini tidak terpengaruh
atau terikat langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
b.
Murabahah
berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan melakukan transaksi
murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang, sehingga
penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah berdasarkan
pesanan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu murabahah berdasarkan pesanan dan
bersifat mengikat , maksudnya apabila telah pesan harus beli. Dan murabahah
berdasarkan pesanan dan bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah
telah memesan baran, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau
membatalkan barang tersebut.[8]
C.
Implementasi Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah
1.
Kaidah dan
Hal-hal yang Berhubungan dengan Murabahah.
a.
Akad Murabahah
harus digunakan untuk barang-barang yang halal.
b.
Jika ada
perselisihan atas harga pokok penjualan, pembeli mempunyai hak untuk
menghentikan dan membatalkan perjanjian.
c.
Jika barang yang
akan dijual tersebut dibeli dari pihak ketiga, maka perjanjian jual beli yang
dengan pihak pertama tersebut harus sah menurut syariat islam.
d.
Murabahah akan
sangat berguna sekali bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak
tetapi kekurangan dana pada saat itu ia kekurangan likuiditas. Ia meminta pada
bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat
diterima. Harga jual pada pemesanan adalah harga beli pokok plus margin
keuntungan yang telah disepakati.
e.
Untuk menjaga
hal yang tidak diinginkan kedua belah pihak harus memenuhi ketentuan yang telah
disepakati bersama.
1)
Bank :Harus
mendatangkan barang yang benar-benar memenuhi pesanan nasabah baik jenis,
kualitas atau sifat-sifat yang lainnya.
2)
Pemesan : Apabila barang telah memenuhi ketentuan dan
ia menolak untuk menebusnya maka bank berhak menuntutnya secara hukum, karena
pesanan telah dianalogikan dengan dhimmah (hutang) yang harus
ditunaikan.[9]
2.
Pembiayaan
Murabahah
Akad murabahah digunakan oleh bank untuk
memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan :
a.
Barang konsumsi
seperti rumah, kendaraan/alat transportasi, alat-alat rumah tangga dan
sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun).
b.
Pengadaan barang
dagang, bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak termasuk proses
produksi).
c.
Barang modal
seperti pabrik, mesin, dan sejenisnya.
d.
Barang lainnya
yang tidak bertentangan dengan syariah dan disetujui bank.[10]
3.
Uang Muka dan
Potongan dalam Murabahah
a.
Apabila nasabah
memberikan uang muka (Urbun), maka uang muka nasabah tersebut diperlukan
sebagai pengurang hutang nasabah (Piutang Murabahah). Namun akad jual beli yang
dibuat antara bank dengan nasabah tetap berpedoman kepada harga jual beli awal
yang telah disepakati.
b.
Bank dapat
meminta uang muka pembelian kepada nasabah. Uang muka menjadi bagian pelunasan
piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan (tidak diperkenankan
sebagai pembayar angsuran). Tetapi apabila murabahah batal, uang muka
dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan
kesepakatan,
c.
Apabila setelah
akad transaksi murabahah, pemasok memberikan potongan harga atas barang yang
dibeli oleh bank dan telah dijual kepada nasabah, maka potongan harga tersebut
menjadi hak nasabah.
d.
Bank dapat
memberi potongan harga (Muqossah), apabila nasabah melakukan pelunasan
pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati,
dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad dan besarnya potongan ditetapkan
oleh komite penyaluran dana.[11]
4.
Denda Kepada Nasabah
Bank berhak memberikan denda kepada nasabah yang
tidak dapat memenuhi kewajiban piutang murabahah dengan indikasi antara lain :
a.
Adanya unsur
kesengajaan yaitu nasabah mempunyai dana tetapi tidak melakukan pembayaran
piutang murabahah.
b.
Adanya unsur penyalahgunaan
dana yaitu nasabah mempunyai dana tetapi digunakan terlebih dahulu untuk hal
lain.
c.
Pengenaan dan
besarnya denda ditentukan oleh bank dalam bentuk SK Direksi.
d.
Pengenaan denda
harus dituangkan dalam surat penawaran (Offering Letter) dan akad baik ta’zir[12] maupun ta’widh[13].
e.
Pengakuan denda
dapat berupa ta’zir atau ta’widh.[14]
5.
Jaminan dalam Konsep Murabahah
Jaminan diperlukan untuk
memperkecil resiko-resiko yang merugikan bank dan untuk melihat kemampuan
nasabah dalam menanggung pembayaran kembali atas utang yang diterima dari bank.[15]
Dalam setiap akad murabahah yang diterapkan dalam praktek, memang biasanya
ditetapkan suatu jaminan. Biasanya yang dapat dijadikan sebagai jaminan adalah
jaminan yang dapat diterima oleh hukum positif, seperti hak anggungan berupa
fixed asset milik nasabah yang berada ditempat lain, fidusia atau tagihan,
gadai saham, gadai deposito, jaminan perusahaan (corporate guarantee) jaminan
perorangan (personal guarantee) atau jaminan apapun yang dapat diterima oleh
bank syariah.[16]
D.
Analisis Penerapan Murabahah Pada Lembaga Keuangan
Syariah
1.
Aplikasi murabahah dalam Perbakan Syari’ah
Dalam perbankan syariah Indonesia, praktek
akad murabahah di dasarkan pada fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000. Secara
umum fatwa tersebut memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada nasabah
:
a.
Ketentuan fatwa terhadap bank adalah sebagai berikut :
1)
Bank dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba dan bukan
barang haram.
2)
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
3)
Bank membeli barang tersebut atas nama bank sendiri.
4)
Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga beli ditambah dengan
keuntungan yang diinginkan dan disepakati oleh kedua belah pihak.
5)
Nasabah membayar harga barang
tersebut dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kespakatan.
6)
Untuk menghindari terjadinya kecurangan, penyalahgunaan atau kerusakan
bank dapat mengadakan perjanjian khusus.
7)
Jika bank kesulitan menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah
karena harus menyiapkan gudang, bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal seperti ini, murabahah
dapat dilakukan jika secara prinsip barang harus sudah menjadi milik bank.
b.
Ketentuan praktek murabahah terhadap nasabah :
1)
Nasabah mengajukan permohonan dan
perjanjian pembelian suatu barang kepada bank, kemudian jika bank menerima
permohonn tersebut, bank harus membelikan terlebih dahulu asset tersebut. Dan
jika keduanya sepakat, maka dapat ditindak lanjut dengan pembuatan kontrak jual
beli.
2)
Dalam kontrak jual beli tersebut, bank diperbolehkan meminta nasabah
untuk membayar uang muka terlebih dahulu saat penanda tanganan kontrak.
3)
Jika nasabah menolak membeli barang tersebut, bank dapat meminta uang
muka tersebut sebagai biaya riil barang yang telah dibeli. Jika nilai uang muka
tersebut kurang, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
4)
Bank dapat meminta jaminan kepada nasabah, semata-mata agar nasabah tidak
menghianati janji.
5)
Hutang yang timbul dari akad murabahah secara prinsip penyelesaiannya
tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak
ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut baik
ada untung maupun mengalami kerugian, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk
menyelesaikan hutangnya kepada bank sebesar harga telah disepakati.
6)
Jika nasabah pada akhirnya dianggap pailit, dan dia tidak bisa melunasi
hutangnya, bank harus memberikan toleransi kepada nasabah. Bank tidak boleh
serta mengeksekusi jaminan yang dipegang bank. Toleransi ini diberikan
semata-mata untuk meringankan beban beban nasabah. Sedang batasan waktunya
relatif tergantung kelonggaran nasabah.[17]
2.
Manfaat dan
Resiko Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah memberikan banyak manfaat kepada
bank syariah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih
harga beli dari penjualan dengan harga jual kepada nasabah. Sistem pembiayaan
murabahah juga sangat sederhana, hal ini memudahkan penanganan administrasinya
di bank syariah. Resiko yang harus diantisipasi diantaranya :
a.
Default atau
kelalaian, nasabah tidak membayar angsuran.
b.
Fluktuasi harga
komparatif, ini terjadi bila harga harga suatu barang di pasar naik setelah
bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli
tersebut.
c.
Penolakan
nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karenan berbagai
sebab.
d.
Dijual, karena
murabahah bersifat jual beli dengan hutang. Maka ketika kontrak ditandatangani,
barang itu menjadi milik nasabah, nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset
miliknya.[18]
3.
Kendala
Penerapan Murabahah
Berikut ini beberapa kendala yang umum ditemukan :
a.
Ketentuan
perpajakan. Sampai saat ini belum ada satupun ketentuan perpajakan yang
mengecualikan produk perbankan syariah, sehingga apabila bank syariah melakukan
transaksi riil, seperti jual beli atau sewa maka akan terkena pajak.
b.
Ketentuan hukum.
Nasabah akan mendapatkan celah yuntuk membantah bahwa ia berhutang kepada bank,
karena yang diterimanya adalah barang, bukan uang. Kondisi hukum di Indonesia
menganggap bahwa bank adalah lembaga pinjaman (uang) dan pinjaman kan lebih
efektif menjadi hutang apabila yang diberikan itu dalam bentuk uang.
c.
Sikap nasabah.
Adakala murabahah tidak dapat berjalan sesuai dengan yang digariskan
oleh syariah karena sikap nasabah itu sendiri.
d.
Sikap Bank.
Terjadi karena para bankir yang cenderung mencari aman dan menghadiri resiko,
sehingga transaksi murabahah yang dilakukan terkesan dipaksakan untuk
sesuatu yang memang tidak sesuai dengan murabahah itu sendiri padahal
produk perbankan syariah bukan hanya murabahah.[19]
4.
Contoh Kasus
Penerapan Akad Murabahah Pada Bank Syariah
Bapak Kholid akan mengajukan pembiayaan untuk
membeli mobil seharga Rp. 150.000.000;. disepakati Bapak Kholid akan membeli
mobil tersebut ke diller mobil (Supplier) yang telah menjadi mitra bank
syariah, yang kemudian akan dikirim kepada Bapak Kholid dengan nama kepemilikan
barang langsung Bapak Kholid.
Bapak Kholid
akan membayar mobil secara tangguh kepada bank selama 15 bulan, dengan
cicilan pokok sebesar Rp. 10.000.000; per bulan. Dikarenakan membayar secara
tangguh[20], maka terdapat
kewajiban lain yang harus dibayarkan yaitu membayar keuntungan tambahan kepada
bank. Keuntungan tambahan ini seringkali disebut dengan profit margin atau
mark-up price. Disepakati selama 15 bulan, Bapak Kholid harus membayar
keuntungan sebesar Rp. 21.000.000.
Sehingga dalam 15 bulan Bapak Kholid akan membayar
total sebesar Rp.171.000.000. Perubahan harga mobil yang semula Rp.150.000.000
menjadi Rp. 171.000.000 disebut mark-up price. Atau harga yang dinaikan
atas dasar pertimbangan banyak aspek yang ditawarkan oleh pihak bank kepada nasabah pada saat negosiasi.[21]
E.
Kesimpulan
Dari definisi tentang
murabahah diatas, maka dapat kami ambil beberapa kesimpulan diantaranya :
1.
Murabahah merupakan transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2.
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori
penjualan dengan pembayaran tunda atau pembayaran tangguh.
3.
Bank-bank islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam proses
pembiayaan mereka kepada para nasabahnya untuk
pembiayaan modal kerja,
dan pembiayaan perdagangan.
4.
Murabahah memberikan beberapa Manfaat bagi bank dan Nasabah
a.
Bagi Bank : Secara prinsip merupakan penyaluran dana bank dengan cepat
dan mudah. Bank mendapatkan profit yaitu margin dari pembiayaan murabahah yaitu
dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.
b.
Bagi Nasabah : Merupakan alternatif pendanaan yang memberikan keuntungan
kepada nasabah dalam bentuk membiayai nasabah dalam hal pengadaan barang
seperti pembelian alat-alat rumah tangga dan sejenisnya, pembelian kendaraan,
pembelian barang produktif seperti mesin produksi, dan pengadaan barang
lainnya. Nasabah mendapat peluang mengangsur pembayarannya dengan jumlah
angsuran tidak akan berubah selama masa perjanjian.
F.
Daftar Pustaka
Afandi,
M. Yazid.,M.Ag. 2009. Fiqh Muamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta : Logung
Pustaka.
Dahlan,
Ahmad. 2012. Bank Syariah Teoritik,
Praktik, Kritik, Yogyakarta : Teras.
Hakim, Cecep Maskanul. 2011. Belajar Mudah Ekonomi Islam :
Catatan Kritis Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia,
Banten : Shuhuf Media Insan.
Muhammad.
2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta : UII
Pres.
Muhammad.
2009. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank
Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank
Syariah), Yogyakarta : UII Press.
Purnamasari,
Irma Devita. 2001. Akad Syari’ah, Bandung : Mizan Media Utama.
Prabowo,
Bagya Agung. 2012. Aspek Hukum Pemiayaan Murabahah Pada Perbankan Syariah,
Yogyakarta : UII Press.
Wiroso. 2005. Jual beli Murabahah, Yogyakarta : UII Press.
[1] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank
Syariah, (Yogyakarta : UII Pres, 2000), hlm.22.
[2] M. Yazid
Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009), hlm. 85-86.
[3] Jual beli
amanah adalah jual beli dimana penjual memberitahukan harga beli barang
dagangannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba.
[4] M. Yazid
Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2009), hlm. 87-90.
[5] Wiroso, Jual
beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm.45-46.
[6] Muhammad, Model-Model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian
Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.58.
[7] M. Yazid
Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009), hlm. 90-92.
[8] Wiroso, Jual
beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm.37-38.
[9] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank
Syariah, (Yogyakarta : UII Press, 2000), hlm.24.
[10] Muhammad, Model-Model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian
Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.67-68.
[11] Ibid.
Hlm. 70.
[12] Ta’zir adalah
sanksi yang dikenaka LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi
menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. Ta’zir disini dikenakan apabila
terjadi penundaan pembayaran yang disengaja oleh nasabah dengan alasan yang
tidak dibenarkan oleh syar’i dan tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk
membayar hutangnya.
[13] Ta’widh adalah
menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan
ketentuan kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya
untuk memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi
karena adanya peluang yang hilang.
[14] Muhammad, Model-Model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan teknis Pembuatan Akad/Perjanjian
Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm.70.
[15] Ibid. hlm.60.
[16] Irma Devita
Purnamasari, Akad Syari’ah, (Bandung : Mizan Media Utama, 2001),
hlm.54-55.
[17] M. Yazid
Afandi, M.Ag., Fiqh Muamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009), hlm. 97-98.
[18] Bagya Agung
Prabowo, Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah Pada perbankan Syariah,
(Yogyakarta : UII Press, 2012), hlm.33-34.
[19] Cecep Maskanul
Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam : Catatan Kritis Terhadap Dinamika
Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, (Banten : Shuhuf Media Insan,
2011), hlm. 79-80.
[20] Pembayaran
tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan
kepada pembeli tetapi pembayaran dilakukan dalambentuk angsuran atau sekaligus
pada waktu tertentu.
[21] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, (
Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.193-194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar