HAMBATAN/TANTANGAN,
POTENSI DAN PELUANG
PENGEMBANGAN
WAKAF DI INDONESIA
M A K
A L A H
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Manajemen Zakat dan Wakaf
Dosen
Pengampu : Dr. Supani, S.Ag., M.A
Disusun
Oleh :
HARRY
FAISHAL AQMAL
NIM. 1522201091
3 ESY-C
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2016
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Wakaf
merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang erat kaitannya dengan sosial
ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga islam yang hukumnya
sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara
muslim. Hal tersebut memang keberadaan wakaf sangat dirasakan bagi
kesejahteraan umat. Di indonesia wakaf dikenal sejak Islam masuk ke Indonesia, namun
pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid, musholla, sekolah,
pondok pesantren dan sedikit sekali wakaf yang dikelola dalam bentuk usaha yang
hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya fakir
miskin. Tetapi pemanfaatan tersebut banyak hambatan dan tantangan sendiri untuk
mencapai keefektifan penggunaan dan pengelolaan harta wakaf di Indonesia. Oleh
karena, agar wakaf dapat memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi
masyarakat banyak, maka upaya pemberdayaan peluang pengelolaan wakaf sebagai
potensi ekonomi yang baik harus digalakan dan dikembangkan dengan cepat dan
sesuai.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana Hambatan/ Tantangan,
Potensi dan Peluang Pengembangan Wakaf di Indonesia ?
C.
Tujuan
Untuk
Mengetahui Hambatan/ Tantangan, Potensi dan Peluang Pengembangan Wakaf di
Indonesia.
D.
Metodologi
Dalam
penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan adalah secara
kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.
PEMBAHASAN
A.
Hambatan/Tantangan
Pengembangan Wakaf di Indonesia
1.
Kebekuan Umat
Islam Terhadap Paham Wakaf
Sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan
paham keagamaan yang dianut. Seperti kebiasaan melakukan perwakafan tanah
secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu,
kebiasaan memandang wakaf sebagai amal sholeh yang mempunyai nilai mulia di
hadapan Tuhan tanpa melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap
milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa
seizin Allah.[1]
Kuatnya paradigma lama umat islam atas pemahaman itu, banyak tokoh atau umat
Islam tidak merekomendasikan wakaf diperdayakan sehingga memiliki fungsi sosial
yang lebih luas dan tidak terbatas pada ibadah Mahdhah.[2]
Praktek wakaf semacam ini, memunculkan persoalan mengenai validitas
legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan karena
tiadanya bukti yang mampu menunjukan bahwa benda-benda yang bersangkutran telah
diwakafkan. Selain itu umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat
dari golongan Syafi’iyyah, seperti tentang :
a.
Ikrar wakaf[3]. Dari
pandangan Imam Asy-Syafi’i secara sederhana ditafsirkan bahwa pernyataan wakaf
cukup dengan lisan saja. Sehingga dengan tanpa bukti tertulis, maka banyak
benda-benda wakaf yang hilang (diselewengkan) atau karena dengan sengaja
diambil oleh pihak ketiga.
b.
Harta yang
boleh diwakafkan (mauquf bih). Dalam peraturan perundangan sebelum UU
No. 41 Th. 2004 tentang wakaf seperti (PP No. 28 Th 1977) hanya menyangkut
perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan
yang tidak produktif seperti masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya.
Sehingga wakaf kurang bisa dikembangkan secara optimal.[4]
c.
Banyaknya
praktek wakaf yang diperuntukan untuk kalangan keluarga (wakaf ahli), selain
yang diperuntukan untuk kepentingan kebijakan umum.
d.
Boleh tidaknya
tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat
Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i yang
menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun.
e.
Adanya
kebiasaan masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya dengan mempercayakan penuh
kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat untuk mengelola wakaf
sebagai Nazhir.[5]
2.
Nazhir Wakaf
Tradisional-Konsumtif
Selama ini yang menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf di
Indonesia adalah keberadaan Nazhir wakaf yang masih tradisional.[6] Nazhir
yang belum profesional sehingga wakaf belum dikelola secara optimal. Posisi
Nazhir adalah peran sentral dalam mewujudkan tujuan wakaf yang ingin
melestarikan manfaat wakaf. Profesionalisme Nazhir masih tergolong lemah.[7] Ketradisionalan
Nazhir dipengaruhi oleh :
a.
Karena masih kuatnya paham mayoritas umat
Islam yang masih stagnan (beku) terhadap pengelolaan wakaf. Apalagi arus utama
mayoritas ulama Indonesia lebih mementingkan aspek keabadian benda wakaf
daripada aspek kemanfaatannya.
b.
Rendahnya
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Nazhir wakaf. Banyak para wakif yang
diserahi harta wakaf lebih karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh
agama, sedangkan mereka kurang dalam kemampuan manajerialnya, sehingga benda wakaf
banyak yang tidak terurus (terbengkalai).
c.
Lemahnya
kemampuan para Nazhir wakaf juga
menambah ruwetnya kondisi wakaf ditanah air. Banyak Nazhir wakaf yang tidak
memiliki militasi yang kuat dalam membangun semangat pemberdayaan wakaf. Serta
banyak Nazhir yang justru mengambil keuntungan secara sepihak dengan
menyalahgunakan peruntukan benda wakaf.[8]
3.
Lemahnya Political
Will Pemegang Otoritas
Peraturan perudang-undangan tentang wakaf di Indonesia menjadi
persoalan yang cukup lama belum terselesaikan dengan baik.[9]
Paling tidak sebelum lahirnya UU NO. 41 Th 2004 tentang wakaf terdapat kendala
formil bagi pengelolaan dan pengembangan wakaf. Ada beberapa alasan kendala
formil tersebut menjadi hambatan, yaitu :
a.
Masih belum
terintegrasikannya peraturan teknis pengelolaan wakaf. Jika persoalan yang
cukup strategis seperti lembaga wakaf tidak diatur secara intergral dan lengkap
dalam pengelolaannya, maka lembaga tersebut sulit diharapkan maju dan
berkembang secara baik.[10]
b.
Karena masih
ada kelemahan dalam pengaturan hukumnya, persoalan hukum wakaf belum memberikan
kepastian jaminan dan perlindungan rasa ama bagi wakif, Nazhir dan
mauqul ‘alaihi (penerima wakaf), baiik perseorangan, kelompok orang,
organisasi/badan hukum.
c.
Sebelum UU No.
41 Th 2004 tentang wakaf hanya mengatur pada lingkup perwakafan yang sangat
terbatas.[11]
Misalnya pengaturan perwakafan yang menyangkut dana cash (cash waqf),
hak kepemilikan intelektual dan surat berharga lainnya belum tersentuh,
sedangkan diera sekarang dimana uang dan surat bergarga menjadi variable
ekonomi yang cukup penting.[12]
Karena itu Undang-undang wakaf modern harus tegas dalam menetapkan
karakteristik wakaf Islam yang dibentuk untuk menciptakan lembaga ekonomi
ketiga dengan kesempurnaan nilai-nilainya dan infrastruktur kelembagaannya,
serta mengatur pengelolaan proyek dan kepemilikan wakaf dengan cara yang
bepihak pada kepentingan masyarakat setempat apabila wakif tidak
menentukan bentuk pengelolaannya atau tidak diketahui kemauan wakif
disebabkan karena hilangnya dokumen wakaf.[13]
4.
Jumlah Tanah
Wakaf Strategis dan Kontroversi Pengalihan Wakaf Untuk Tujuan Produktif.
Tanah perkebunan, sawah, ladang dan lainnya yang diwakafkan
ternyata banyak yang mempunyai nilai ekonomis sangat minim. Letak
ketidakstrategisan secara ekonomi bisa ditinjau dari aspek :
a.
Lokasi tanah.
Letak tanah yang jauh dari pusat perekonomian sangat mempengaruhi terhadap
nilai tanahnya. Hal yang menjadi kendalanya adalah faktor transportasi, baik
dalam proses pengolahan maupun pengambilan hasil tanah tersebut.[14]
b.
Kondisi Tanah.
Tanah yang gersang atau tidak subur jelas tidak menguntungkan secara ekonomi.
Kondisi tanah wakaf seperti ini dibutuhkan kemampuan Nazhir untuk mengelola
secara produktif.
c.
Kemampuan
pengelolaan tanah yang minim. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) penggarap
yang tidak profesional.[15]
Disamping kendala teknis, di dalam masyarakat kita masih terjadi
pro kontra pengalihan atau pertukaran tanah wakaf untuk tujuan yang produktif
maupun pemanfaatannya. Misal, seorang wakif yang wewakafkan tanah
kebunnya untuk pesantren di pusat kota, sementara tanah yang wakif
miliki di pedesaan jauh dari pesantren tersebut. Sementara pesantren tidak
memiliki modal yang cukup untuk mengelola tanah wakaf tersebut, sehingga tanah
wakaf tersebut tidak bisa dikelola secara baik karena kendala transportasi dan
sarana lain. Namun ketika para wakif ditawarkan bahwa tanah wakaf
tersebut sebaiknya dijual dan hasilnya untuk kepentingan pesantren, dan wakif
banyak yang menolaknya karena memegangi paham bahwa wakaf tidak bisa dijual.
Kendala pemahaman untuk mengalihkan tanah-tanah yang tidak
strategis secara ekonomis dengan tanah atau sarana lain yang strategis secara
ekonomis masih menjadi hambatan yang nyata. Karena adanya pemahaman bahwa wakaf
merupakan harta yang bersifat abadi, sehingga kondisi harta wakaf tersebut
harus dibiarkan dan tidak boleh dirubah-rubah oleh alasan apapun.[16]
5.
Banyaknya Tanah
Yang Belum Bersertifikat
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah mempunyai
syarat-syarat administrasi yang telah diatur, khususnya mempunyai sertifikat
tanah. Tanah wakaf tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf,
serta dapat dikembangkan.sebaliknya, tanah wakaf yang tidak mempunyai
persyaratan seperti ketentuan PP. No 28/1977, tidak mempunyai kepastian hukum.[17]
Sehingga terdapat tanah wakaf dimiliki orang lain yang tidak berhak, menjadi
sengketa dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Kendala itu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena
banyaknya tanah wakaf yang tidak mempunyi bukti perwakafan, seperti surat-surat
yang memberikan keterangan bahwa tanah tersebut telah diwakafkan. Tanah yang
tidak memiliki bukti administratif tersebut karena banyak wakif yang
menjalankan tradisi lisan dan kepercayaan yang tinggi. Kendala lain juga karena
faktor pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai dari
pihak pemerintah.[18]
B.
Potensi dan
Peluang Pengembangan Wakaf di Indonesia
1.
Fleksibilitas
Kosep Fikih Wakaf
Sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai
hasil ijtihad para ulama. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama,
bahwa wakaf ini sangat identik dengan shadaqah jariyyah, yaitu suatu amal
ibadah yang memiliki pahala yang terus menglir selama masih bisa dimanfaatkan
oleh kehidupan manusia. Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang
masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel,
terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik
(beroirentasi pada masa depan). Ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf
merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Jika ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran
(sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai
tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Lain dengan zakat
yang dalam posisi-posisi tertentu akan habis begitu saja karena harus diberikan
kepada orang yang berhak. Namun, kalau wakaf justru yang menjadi kelebihannya
terletak pada aspek kemanfaatan yang bersifat abadi, sedangkan pokoknya
(asalnya) tetap utuh sampai waktu yang lama, bahkan abadi.[19]
2.
Peluang
Reinterpretasi Paham Wakaf
Berangkat dari realitas empirik dimana masih terdapat keterputusan pemahaman
kalau tidak ingin dikatakan pemahaman yang statis terhadap persoalan wakaf maka
reinterpretasi dan pemahaman baru mengenai wakaf menjadi penting. Hal ini perlu
dilakukan agar ajaran, konsep dan praktik wakaf bisa mengiringi perkembangan persoalan
yang semakin kompleks.[20]
Untuk itulah, hasil dari pengembangan wakaf yang dikelola secara
profesional dan amanah kemudian digunakan untuk kepentingan sosial, seperti
untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan
pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan atau pengembangan sarana dan prasarana
ibadah. Sedangkan wakaf yang yang ada dan sudah berjalan dikalangan masyarakat
dalam bentuk wakaf tanah milik, maka perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal
benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu didorong untuk dilakukan
pengelolaan yang bersifat produktif.[21]
3.
Kekayaan
Benda-Benda Wakaf
Menurut data Departemen Agama terakhir terdapat kekayaan tanah
wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.672.406 m2.
Dari total jumlah tersebut 75 % diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan
sekitar 10 % memiliki potensi ekonomi tinggi. Besarnya jumlah benda-benda
wakaf, khususnya tanah dan bangunan menjadi peluang yang sangat besar bagi
pengembangan ekonomi umat di masa mendatang.
Menurut kaca mata ekonomi, tanah wakaf yang begitu luas dan
menempati beberapa lokasi yang strategis memungkinkan untuk dikelola dan
dikembangkan secara produktif. Sebagai contoh : misalnya musholla, sedang sisa
tanahnya masih luas bisa dibangun gedung pertemuan untuk disewakan kepada
masyarakat umum.[22]
Hasil penyewan gedug tersebut dapat digunakan untuk memelihata masjid. Atau
misalnya ada tanah wakaf yang terletak cukup strategis dalam usaha bisa
dibangun ruko atau gedung perkantoran yang bisa dikelola sendiri atau disewakan
dan hasilnya bisa untuk perawatan gedung wakaf yang telah ada atau untuk
menunjang kerugian atau pemberdayaan ekonomi lemah yang ada di sekitarnya.[23]
Wakaf tunai juga sangat strategis menciptakan lahan pekerjaan dan
mengurangi pengangguran dalam aktivitas produksi yang selektif sesuai syariah
dan kemaslahatan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil dan
memperkuat fundamental ekonomi. Karena itu, dalam pengembangan secara lebih
luas, wakaf tunai harus mendapat perhatian lebih untuk membiayai berbagai
proyek sosial melalui pemberdayaan wakaf benda tak bergerak yang selama ini
menjadi beban. Atau bisa melalui penyaluran kepada lembaga pemberdayaan
ekonomi. [24]
Menurut Mustafa Edwin Nasution, Ekonomi dari UI, potensi
penghimpunan dana dari wakaf uang di Indonesia lumayan besar. Dengan hitungan
paling moderat, dalam 1 tahun bisa dihimpun dana sebanyak 3 triliyun.[25]
Potensi dana yang dikumpulkan dari wakaf uang sangat besar, maka dapat
diinvestasikan ke portofolio investasi seperti lembaga keuangan syariah,
lembaga pendidikan dan sebagainya. Dana itu juga dapat digunakan untuk membuka
lapangan pekerjaan bagi ribuan angkatan kerja yang tengah menunggu atau tidak
mempunyai pekerjaan tetap. [26]
Sebagai salah satu upaya agar penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir, salah satunya dengan
memberikan kredit mikro melalui mekanisme Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
semacam Reksadana Syariah yang dihimpun melalui Sertifikat Wakaf Tunai kepada
masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan sedikit demi
sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan ssebagai akibat krisis yang
berkepanjangan.[27]
4.
Menguatnya Sumber
Daya Manusia (SDM) Berwawasan Syariah.
Dalam pengelolaan harta
wakaf produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya dalam pemanfaatan
harta wakaf adalah Nazhir wakaf, Untuk itulah profesionalisme Nazhir menjadi
ukuran yang paling penting.[28] Nazhir
dan lembaga-lembaga pengelolaan wakaf sebagai ujung tanduk pengelolaaan dan
pengembangan harta benda wakaf diberikan motivasi dan pembinaan dalam rangka
meningkatkan profesionalisme manajemen, melalui berbagai pelatihan dan
orientasi.
Kualitas Nazhir terus diberikan motivasi dan arahan dalam rangka
melakukan pembenahan, baik menyangkut kemampuan manajerial maupun skill
individu yang sangat menentukan dalam pemberdayaan wakaf secara produktif.[29] Sistem
pengelolaan SDM ini bertujuan untuk :
a.
Meningkatkan
dan mengembangkan pengetahuan.[30]
b.
Membentuk sikap
dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya.
c.
Menciptakan
pola pikir atau persepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola
pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundangan maupun teknis
manajerial.
d.
Mengajak para Nazhir
wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi
pada kepentingan pelaksanaan Syariah Islam secara lebih luas dan dalam jangka
panjang.[31]
Sekarang banyak bermunculan lembaga-lembaga ekonomi dari keuangan
syariah yang mendidik Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas baik. Barangkali
bukan menjadi hal yang sulit bagi umat Islam Indonesia sekarang mencari SDM
yang ahli di bidang manajemen dan bisnis, termasuk di dalamnya bidang
perwakafkan sebagaimana mereka mengelola sebuah usaha yag bersifat komersial.[32]
5.
Booming Sistem Ekonomi Syariah
Tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi sistem ekonomi
syariah, disebabkan oleh beberapa kelemahan sistem ekonomi kapitalis, yaitu :
a.
Masalah
ketidakstabilan sistem. Pelaksanaan sistem ekonomi kapitalis diikuti dengan
berbagai masalah yang akhirnya membuat sistem ekonomi yang ada menjadi tidak
stabil dan berbagai krisis.
b.
Masalah
pembagian pendapatan. Pembagian pendapatan yang ada di dunia menjadi tidak seimbang.
Kurang lebih 80 % pendapatan dunia dikuasai oleh penduduk negara maju sementara
negara berkembang hanya menguasai sisanya 20 % pendapatan dunia yang ada.
c.
Masalah
kemiskinan. Krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem
ekonomi kapitalis telah memperburuk tingkat kemiskinan yang nyata sebagai akses
langsung maupun tidak langsung serta pola pendapatan di dalam negara yang ada,
khususnya keadaan ekonoi di negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[33]
Sistem Ekonomi Syariah (SES) berbeda dengan sistem Ekonomi
konvensional. Secara umum dapat dikatakan bahwa salah satu ciri utama pada
sistem tersebut adalah pelarangan riba dalam kegiatan perekonomian. Ciri
lainnya adalah variable zakat yang merupakan variable kunci untuk
menggerakan roda perekonomian SES. Variable kunci lainya dalam SES adalah
pemberdayaan wakaf. Karena wakaf merupakan wahana mobilisasi sumber daya
perekonomian yang mempunyai kekuatan sosial yang cukup dahsyat apabila dikelola
secara profesional.
Dari kesadaran penuh akan kelemahan istem ekonomi kapitalis
(konvensional) dan keinginan kuat masyarakat Islam dalam menerapkan sistem
ekonomi syariah merupakan momentum dan peluang yang cukup besar untuk
memberdayakan wakaf produktif sebagai salah satu variabel yang cukup strategis
bagi penerapan SES.[34]
6.
Dukungan
Politik Pemerintah Dalam Pemberdayaan Civil Society.
Munculnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dibidani ICMI-MUI di
awal 1990-an sebagai bank syariah pertama di tanah air merupakan dukungan
pemerintah Orde Baru yang sarat dengan nuansa poilitis. Dukungan politik
pemerintahan dan keinginan yang kuat masyarakat muslim terhadap penerapan
sistem keuangan berdasarkan syariah Islam membuka peluang yang seluas-luasnya
terhadap pengelolaan harta dan keuangan demi kesejahteraan masyarakat banyak.[35]
Salah satu lembaga pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis pada
ajaran Islam selain lembaga zakat adalah lembaga perwakafan. Lembaga perwakafan
memang sudah ada sejak Islam masuk di negeri ini, namun pemberdayaannya dirasa
masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Potensi besar yang dimiliki oleh
wakaf sebagai salah satu variabel penting dalam meningkatkan ksejahteraan
masyarakat banyak didorong oleh pemerintahan secara politik dengan beberapa
peraturan perundang-undangan wakaf agar berfungsi secara produktif.
Munculnya inovasi dari kalangan civil society seperti Dompet
Duafa Republika (DDR) yang mengeluarkan sertifikat wakaf tunai misalnya,
merupakan bentuk kepedulian yang tumbuh dari kesadaran masyarakat. Dan ini
merupakan sinyal positif secara politik dimana umat Islam diberi kebebasan
dalam mengelola seluruh potensi kekayaan yang dimiliki sesuai dengan system
keuangan Syariah. Tentu saja yang diuntungkan bukan saja masyarakat tapi juga
pemerintah.[36]
Kondisi yang saling menguntungkan ini menjadi peluang yang sangat lebar bagi
pemberdayaan wakaf produktif dalam rangka mengatasi krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
7.
Banyaknya
Perbankan Syariah yang siap Mengelola Wakaf Produktif[37]
Munculnya bank syariah, memberikan angin besar dan optimisme tinggi
bagi umat islam, termasuk di dalamnya pengelolaan (dana) wakaf secara
produktif. [38]
Ada beberapa alternatif peran dan posisi
perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yaitu :
a.
Bank Syariah
sebagai Nazhir Penerima, Penyalur dan Pengelola Dana Wakaf.[39]
Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke Bank Syariah akan menerima Sertifikat
Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Bank Syariah, sehingga tanggung jawab sepenuhnya
pada Bank Syariah.[40]
Optimalisasi penggalangan dana akan dilakukan dengan menggunakan seefektif
mungkin keberadaan jaringan kantor beserta divisi pemasarannya. Pengelolaan
dana akan kerja sama dengan lembaga penjamin untuk memastikan tidak berkurang
dana pokok wakaf. Sedangkan penyaluran dana dilakukan dengan mengefektifkan
jaringan informasi serta peta distribusi.
b.
Bank
Syariah sebagai Nazhir Penerima dan
Penyalur Dana Wakaf.
Bank
Syariah hanya sebagai Nazhir Penerima
dan Penyalur. Sedangkan fungsi pengelola dana akan dilakukan oleh lembaga lain,
misalnya Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang dengan sendirinya tanggung jawab
pengelolaan dana, termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada
pada BWI ini.[41]
c.
Bank Syariah
sebagai Pengelola (Fund Manager) Dana Wakaf.
Tanggung
jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada
pada lembaga perbankan syariah..
d.
Bank Syariah
Sebagai Kustodi (Penitipan)
Jika
pemerintah menunjuk Nazhir yang memiliki wewenang penuh terhadap wakaf tunai,
maka bank syariah bisa berperan dalam hal menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat
Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI).[42]
e.
Bank Syariah
Sebagai Kasir Badan Wakaf Indonesia.
Wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk dimasukan ke rekening Badan
Wakaf Indonesia. Bank syariah tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai
yang diterbitkan oleh BWI. Rekening BWI akan dipelihara sebagaimana layaknya
rekening lainnya yang akan mendapatkan bonus atau bagi hasil sesui dengan jenis
dan prinsip syariah yang digunakan.[43]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wakaf memiliki banyak peran penting, strategis dan menentukan baik
dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Namun
pengeloaan wakaf di Indonesia masih memiliki beberapa hambantan dan tantangan
tersendiri dalam pendayagunaan wakaf secara potensial dan produktif seperti :
1. Kebekuan Umat Islam
Terhadap Paham Wakaf
2. Nazhir Wakaf
Tradisional-Konsumtif
3. Lemahnya Political Will
Pemegang Otoritas
4. Jumlah Tanah Wakaf
Strategis dan Kontroversi Pengalihan Wakaf Untuk Tujuan Produktif.
5. Banyaknya Tanah Yang
Belum Bersertifikat
Dari beberapa hambatan diatas, sebenarnya pengelolaan wakaf di
Indonesia apabila di perhatikan dan dikelola secara benar maka akan mendorong
perekonomian ke arah yang lebih baik untuk mewujudkan wakaf yang produktif.
Karena wakaf di Indonesia memiliki beberapa potensi dan peluang untuk
mewujudkannya, diantaranya :
1. Fleksibilitas Kosep
Fikih Wakaf
2. Peluang Reinterpretasi
Paham Wakaf
3. Kekayaan Benda-Benda
Wakaf
4. Menguatnya Sumber Daya
Manusia (SDM) Berwawasan Syariah.
5. Booming Sistem Ekonomi
Syariah
6. Dukungan Politik
Pemerintah Dalam Pemberdayaan Civil Society.
7. Banyaknya Perbankan
Syariah yang siap Mengelola Wakaf Produktif
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur, Dr. SH., M.H. 2005. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta
: Pilar Media.
Departemen Agama RI. 2005. Paradigma Baru Wakaf di
Indonesia, Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Departemen Agama RI. 2007. Fiqh Wakaf, Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Departemen Agama RI. 2007. Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf
Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf :
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Departemen Agama RI. 2007. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta
: Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam.
Departemen Agama RI. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di
Indonesia, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.
Djunaidi, Achmad dan Thobieb Al-Asyhar. 2007. Menuju Era Wakaf
Produktif, Depok : Mumtaz Publising.
Lubis, Suhrawardi K., SH., Sp.N., M.H. 2010. Wakaf &
Pemberdayaan Umat, Jakarta : Sinar Grafika.
[1] Achmad
Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok :
Mumtaz Publising, 2007), hlm. 47.
[2] Suhrawardi K.
Lubis, SH., Sp.N., M.H., Wakaf & Pemberdayaan Umat, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2010), hlm. 176-177.
[3] Achmad
Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif............
hlm 48.
[4] Ibid.,
hlm. 49.
[5] Ibid.,
hlm. 50.
[6] Departemen
Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia,
(Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, 2007), hlm. 76.
[7] Suhrawardi K.
Lubis, SH., Sp.N., M.H., Wakaf & Pemberdayaan Umat..........hlm.
177.
[8] Ibid.,
hlm. 77.
[9] Achmad
Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, ...........
hlm. 54.
[10] Ibid., hlm.
55.
[11] Ibid., hlm.
56.
[12] Ibid., hlm.
57.
[13]
Dr. Mundzir
Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta : Khalifa, 2005), hlm. 122.
[14] Departemen
Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia,
.........hlm. 69.
[15] Ibid.,
hlm. 70.
[16] Ibid.,
hlm. 71.
[17] Ibid.,
hlm. 75.
[18] Ibid.,
hlm. 76.
[19] Achmad
Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, ...... hlm.
69-70.
[20] Ibid., hlm.
71.
[21] Ibid., hlm.
75.
[22] Ibid., hlm.
76.
[23] Ibid.,hlm.
77.
[24] Departemen
Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007),
hlm. 75-76.
[25] Dr. Abdul
Ghofur Anshori, SH., M.H., Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta
: Pilar Media, 2005)., hlm. 99.
[26] Ibid.,hlm.
100-101.
[27] Departemen
Agama RI, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf :
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hlm. 100-101.
[28] Departemen
Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia.........hlm.
41.
[29] Suhrawardi K.
Lubis, SH., Sp.N., M.H., Wakaf & Pemberdayaan Umat..........hlm. 182.
[30] Departemen
Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta :
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 117.
[31] Ibid., hlm.
118.
[32] Departemen
Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia.......hlm.
44.
[33] Achmad
Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, ........hlm.
81.
[34] Ibid., hlm.
83.
[35] Departemen
Agama RI, Panduan Pembiayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia,
......... hlm. 48-49.
[36] Ibid., hlm. 50.
[37] Ibid., hlm. 51.
[38] Ibid., hlm. 55.
[39] Departemen
Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007),
hlm.36.
[40] Ibid., hlm.
37.
[41] Ibid., hlm.
40.
[42] Ibid., hlm.
41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar