BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kejayaan Islam (the golden age of Islam) ditandai
dengan penyebaran agama Islam hingga ke benua Eropa. Pada masa itulah berdiri
sejumlah pemerintahan atau kekha-lifahan Islamiyah. Seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah,
Fatimiyah, Turki Utsmani dan Ayyubiyah. Selain penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan kegemilangan
peradaban Islam.
Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul sebagai
cendekiawan dan memiliki pengaruh besar dalam dunia peradaban hingga saat ini.
Namun, setelah perebutan kekuasaan dan kepemimpinan yang kurang cakap,
akibatnya pemerintahan Islam mengalami kemunduran. Salah satunya
adalah dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti
ini didirikan di Tunisia pada 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia
muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah sejarah Pembentukan Dinasti Fatimiyah ?
2.
Bagaimanakah kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah ?
3.
Mengapa Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran ?
4.
Apa yang
menjadi faktor penyebab Kehancuran Dinasti Fathimiyah ?
C.
Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah
diatas maka penulis dapat menentukan tujuan pembahasan makalah sebagai berikut
:
1.
Mengetahui sejarah Pembentukan Dinasti Fatimiyah.
2.
Mengetahui kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah.
3.
Mengetahui penyebab kemunduran Dinasti Fatimiyah.
4.
Mengetahui
faktor penyebab Kehancuran Dinasti Fathimiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pembentukan Dinasti Fathimiyah
Dinasti Fathimiyah berkuasa tahun 297-567 H/ 909-1171 M di Afrika
Utara tepatnya di Mesir dan Syiria. Dinamakan dinasti Fathimiyah karena
dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Ali Fathimiyah, puteri Rasululloh SAW,
istri Ali bin Abi Thalib dan Fatimiyah dari Ismail anak Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali.
Awalnya kelompok ini dibangun dan dibentuk menjadi sistem agama dan politik
oleh Abdullah Ibn Maimun. Setelah itu berubah menjadi gerakan kekuatan, dengan
tokohnya Said ibn Husein. Kemudian sekte ini menyebar dan menjadi landasan
munculnya dinasti Fathimiyah.
Awal munculnya dinsti Fathimiyah dimulai dari seorang pendukung
dari Yaman bernama Abu Abdullah Al-Husein yang berhasil mengibarkan pidato dan
mendapatkan kekuatan di Afrika Utara. Kemudian ia mengangkat Said Ibn Husein
sebagai pemimpin atau imam pertana dengan gelar Ubaidullah Al Mahdi.
Said berhasil mengusir Zidatullah, seorang penguasa Aglabiyah terakhir dari
negerinya yang merupakan kekuatan islam di sunni diwilayah Afrika. Pada mulanya
dinasti Fatimiyah berbasis di Ifrikiyah. Kemudian berpusat di Maroko, dengan
alasan keamanan, pemerintahannya dipindahkan ke Mesir setelah dapat menaklukan
dinasti Ikhsyidiyah dan kemudian mendirikn ibukota bari di Qahorah (Qairo).[1]
B.
Kemajuan Yang di Capai Dinasti Fathimiyah
1.
Bidang Politik
Bila dicermati ada sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para
penguasa awal khilafah Fathimiyah ini untuk memperlancarkan stabilitas politik,
yaitu antara lain Al-Mahdi, Khalifah pertama, melakukan pembersihan figur-figur
yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang programnya, termasuk
tokoh-tokoh penting awal yang juga sama-sama sangat besar jasanya dalam
pembentukan Khilafah Fathimiyah. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer
sebagai tulang punggung pemerinthan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat di
lihat dari tindakan al-Mahdi dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan
kota Qairawan.
Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembangan wilayah
kekuasaan. Pengembangan wilayah kekuasaan ini berkaitan erat dengan
kemiliteran. Perluasan wilayah kekuasaan diarahkan untuk meguasai daerah-daerah
strategis, dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan
posisi Khilafah Fathimiyah. Dengan
begitu stabilitas politik Fathimiyah tetap terjaga.
2.
Bidang Administrasi
Pemerintah dinasti Fathimiyah dipimpin oleh seorang Khalifah. Kemudian
untuk menjalankan pemerintahan, seorang khalifah dibantu oleh seorang wazir.[2]
Secara Administratif posisi wazir dalam kekhalifahan ini menjadi sangat penting
karena membantu khalifah dalam penyelesaian urusan-urusan srategis. Ada wazir
yang membawahi urusan militer dan birokrasi, lembaga keuangan dan lembaga
peradilan.
3.
Bidang Ekonomi
Perekonomian pemerintah Fathimiyah dapat dibilang cukup bagus.
Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya wilayah yang dikuasai dan
stabilitas politik yang mapan. Kondisi ini berdampak majunya bidang ekonomi,
termasuk didalamnya kemajuan bidang perdagangan dan sektor industri. Tentu
faktor ekonomi ini juga menopang lamanya eksistensi dinasti ini bertahan hingga
dua setengah abad.
Salah satu khalifah yang sangat menaruh perhatian terhadap
peningkatan perekonomian rakyat adalah Khalifah al-Mu’iz. Pada masa kekuasaan
khalifah al-Mu’iz melakukan usaha-usaha peningkatan bidang pertanian, ia
melakukan pembangunan saluran irigasi baru dalam meningkatkan hasil pertanian.
Ia juga membangun pabrik-pabrik dan industri, sehingga terjadi meningkatkan
volume kegiatan perdagangan di beberapa kota. Demikian juga hubungan
perdagangan dengan negara-negara lain, seperti Eropa dan India juga mengalami
peningkatan.
Selain itu penguasa Fathimiyah juga berhasil mengembangkan
pelabuhan, seperti Iskandariyah. Pelabuhan Iskandariyah sangat penting artinya
dalam pertumbuhan perekonomian Fathimiyah. Karena itu, tingkat kemakmuran yang
dicapai oleh khalifah Fathimiyah cukup bagus.
4.
Bidang Pendidikan
Di antara contoh perhatian pemerintah Fathimiyah dalam bidang
pendidikan adalah lahirnya Universitas al-Azhar kairo. Universitas ini berawal
dari pembangunan sebuah masjid yang selanjutnya dikembangkan fungsinya sebagai
lembaga pendidikan tinggi. Nama Al-Azhar, dimaksudkan sebagai penghargaan
terhadap Fathimiyah al-Zahra, puteri Nabi Muhammad SAW. Lembaga lain yang lahir
pada zaman Fathimiyah adalah darul Hikmah, lembaga ini merupakan sebuah
perpustakaan terkenal yang di dirikan oleh khalifah al-Hakim sekitar tahun 1004
M.
Diantara bidang keilmuan yang berkembang pada masa khilafah Fathimiyah
diantaranya adalah matematika, astronomi, fisika, optika, kedokteran, dan
sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini berkembang pula
bidang-bidang lain seperti seni arsitektur, seni sastra, seni musik dan
sebagainya.
C.
Kemunduran Dinasti Fathimiyah
Para sejarawan menyimpulkan kemunduran dinasti Fathimiyah ini
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah :
1.
Figur Khalifah Yang Lemah
Dalam sejarah Khilafah Fathimiyah terdapat beberapa khalifah yang
dianggap sebagai figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa hal.
Diantaranya adalah diangkat dalam usia yang relatif masih muda.[3]
Adapun kelemahan itu karena khalifah terlena dengan kemewahan istana serta
melakukan sikap-sikap yang sewenang-wenang dan cenderung amoral, yang
menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadap khilafah Fathimiyah khususnya
kepada Khalifahnya. Pengangkatan khalifah dalam usia yang masih muda ini
merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis
keturunan.
Sebagai akibat dari pengangkatan khalifah di usia muda itu
menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh
para wazir. Karena faktor usia khalifah masih muda terkadang muncul sikap
sewenang-wenang khalifah. Seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Hakim, dia
terkenal sebagai khalifah yang keras dan sewenang-wenang. Sikapnya cenderung
dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Sikap kesewenangan al-Hakim ditunjukan dengan kebenciannya kepada
orang-orang Mesir sendiri, bertindak sewenang-wenang dan merendahkan mereka,
harta dan nyawa dirampas. Hal ini berakibat pada buruknya keamanan
pemerintahan, menurunnya ketentraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap
yang amoral.
2.
Perebutan Kekuasaan di Tingkat Istana
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di usia muda mengakibatkan
peranan wazir menjadi sangat penting dan
kompetetif, sehingga perebutan kekuasaan
antar wazir tak terhindarkan lagi. Ini terutama terjadi di antara para wazir
yang sangat ambisius terhadap jabatan dan mereka ingin mendapatkan pengaruh di
istana, terlebih lagi dengan melihat kondisi khalifah yang sangat lemah. Antar
wazir berlomba saling menjatuhkan di antara para wazir sendiri. Ada juga wazir
yang berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah menunjuk
penggati dirinya.[4]
Dan dari pertentangan inilah secara berangsur-angsur dinasti Fathimiyah
mengalami kehancuran.
3.
Konflik di Tubuh Militer
Pada saat al-Aziz menjabat sebagai khalifah keempat, dia membuat
kebijakan untuk merekrut orang-orang
Turki dan Negro. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan para pegawai
istana yang telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian besar berasal
dari suku Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekruitmen ini menimbulkan
kemelut di dalam tubuh militer dan antara mereka terus-menerus terjadi
perselisihan yang melemahkan kekuasaan Fathimiyah. Tentu saja kemelut di
kalangan militer ini berdampak pada stabilitas pemerintahan yang tidak aman
lagi.
4.
Bencana Alam Berkepanjangan
Faktor lain yang ikut andil dalam melemahkan eksistensi khilafah
Fathimiyahadalah bencana ala. Pada masa al-Muntashir, selama tujuh tahun
(1065-1072 H), Mesir ditimpa musibah kelaparan akibat kekeringan. Sungai Nil
yang merupakan urat nadi wilayah Mesir saat itu mengalami kekeringan yang
menyebabkan pertanian mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit merajalela
dimana-mana. Penguasa mengalami kesulitan mengatasi kondisi yang demikian. Musibah
ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan Fathimiyah.
5.
Keterlibatan Non-Islam dalam Pemerintahan
Di antara sekian banyak khalifah Fathimiyah yang terkenal memiliki
andil dalam memajukan dinasti ini adalah khalifah al-Aziz. Dia memberikan
sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan Dinasti Fathimiyah. Di antara
kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz sering memberikan pos-pos penting dan
strategis kepada orang-orang non-Islam. Tampaknya kebijakan ini memang turut
memajukan Fathimiyah tetapi pada sisi lain ini justru menjadi salah satu faktor
yang mengakibatkan kemunduran dinasti ini, karena kebijakan ini ternyata menimbulkan
kecmburuan, kejengkelan dan bahkan kemarahan di kalangan kaum muslimin.
Benih-benih kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial politik
Fathimiyah.
D.
Kehancuran Dinasti Fathimiyah
Setelah kekuasaan berjalan sekitar dua setengah abad, kemudian
khilafah Fathimiyah mengalami kehancurannya. Kehancuran khalifah ini
terjadi pada masa kekhalifahan al-Adhid.[5]
Diantara faktor yang menyebabkan dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran,
antara Lain :
1.
Perpecahan yang terjadi di kalangan pemimpin.
2.
Kebijakan mengimpor tentara dari Turki dan Negro yang tidak patut
aturan dan pertikaian dengan pasukan suku Berber.
3.
Munculnya perang salib yang disebabkan oleh dirusaknya gereja masa
pemerintahan Al-Manshur.
4.
Al-Adhid (Raja Terakhir Fathimiyah) meminta bantuan Shalahuddin
al-Ayyubi untuk mempertahankan Mesir dari tentara salib, yang kemudian
peperangan dimenangkan Shalahuddin. Maka pemerintahan Mesir berpindah ke tangan
bani Ayyubiyah.[6]
5.
Perlawanan masyarakat
Mesir yang semakin meluas terhadap ajaran Syiah yang di bawa oleh Daulah
Fathimiyyah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husayn (Ubaidillah al-Mahdi) berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah.
2.
Kemajuan
Dinasti Fatimiyah puncaknya terjadi pada masa Al-Aziz. Ia adalah putra dari
Al-Muizz yang bernama Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz,
berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina dan
berhasil meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah
kekuasaannya.. Dinasti Fatimah mengalami kemajuan antara lain karena:
militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan
berkembang, dan ekonominya stabil.
3.
Keruntuhan
Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa
pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara
lain: sistem pemerintahan berubah menjadi sistem
parlementer, terjadinya persaingan perebutan
wazir, adanya resistensi dari orang-orang
Sunni dan Nasrani di Mesir, terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar
dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer, adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni, datangnya serbuan dari tentara salib, lemahnya para khilafah, perluasan
wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara
terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di
sana.
DAFTAR PUSTAKA
Fudi, Imam. 2012. Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, Yogyakarta : Teras.
Khoiriyah.
2012. Reoritasi wawasan Sejarah Islam Dari Abad Sebelum Islam hingga
Dinasti-Dinasti Islam, Yogyakarta : Teras.
[1] Khoiriyah,
M.Ag, Reoritasi wawasan Sejarah Islam Dari Abad Sebelum Islam hingga
Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.171-172.
[2]
Wazir adalah Menteri atau Pejabat Pemerintahyang Tinggi.
[3]
Terdapat beberapa nama khalifah yang diangkat dalam usia muda, diantaranya
adalah Khalifah al-Hakim yang diangkat dalam usia 11 tahun, usia yang masih
belia untuk ukuran seorang pmimpin negara. Demikian juga al-Zahir yang menjadi
khalifah dalam usia 16 tahun, al-Muntashir dalam usia 11 tahun, al-Musta’li dalam
usia 9 tahun, al-Amir dalam usia 5 tahun, al-Zafir dalam usia 16 tahun, al-Faiz
dalam usia 4 tahun, dan al-Adhid, Khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9
tahun.
[4]
Misalnya yang terjadi pada penggantian khalifah al-Muntashir, di mana setelah
al-Muntashir meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan setelah al-Afdal
yang menjabat sebagai wazir kala itu mengatur penggantian l-Muntashir, padahal
al-Muntashir telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi al-Afdal
justru menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk para
pejabat senior untuk menerima keputusannya itu.
[5]
Prof.Dr. Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
(Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 4-15.
[6]
Khoiriyah, M.Ag, Reoritasi wawasan Sejarah Islam Dari Abad Sebelum Islam
hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm.176-177.