Kamis, 03 Maret 2016

Makalah Sejarah dan Perkembangan Hadis

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS



Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pengampu : Drs.H. Khariri, M.Ag.

Disusun oleh :
1.    Dian Catur Oktaviani                   ( 1522201084 )
2.    Harry Faishal Aqmal                    ( 1522201091 )
3.    Roky Pradana                               ( 1522201104 )


JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadis sangat penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadis. Mengetahui perkembangan hadis, baik dari perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadis.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan Utsmani ( Khathth Usmani ). Sedangkan penulisan hadist pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke 2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah.

B.       Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.    Bagaimana sejarah hadis pada masa pra kodifikasi ?
2.    Bagaimana sejarah hadis pasca kodifikasi dan perkembangannya?

C.      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.    Mengetahui sejarah hadis pada masa pra kodifikasi.
2.    Mengetahui sejarah hadis masa pasca kodifikasi dan perkembangannya.


BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS

A.      Hadis Pada Masa Pra Kodifikasi
1.    Periode Pertama: Perkembangan Hadis Pada Masa Rasululloh SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Tahwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (Aqwal), Af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakan syariat Islam dan membentuk masyarakat islam.[1]
Hadis pada masa ini pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh mereka, tidak ditulis seperti Alquran ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr. Mushthafa As-Siba’I menyampaikan beberapa alasan diantaranya :
a.    Alquran masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelapah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (Alquran dibukukan pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Al-Khatab).
b.    Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat pada awal islam masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu Alquran.
c.    Ingatan orang-orang arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasululloh untuk mengingat hadis.[2]
Sebagian menyebutkan sebab hadis tidak ditulis yaitu dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Alquran dengan tidak sengaja. Karena itu, Nabi melarang mereka menulis hadis karena khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman ilahi. Tetapi hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadis dengan cara tidak  resmi. Memang ada beberapa atsar yang sahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadis di masa Nabi Muhammad SAW.
Ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai shahifah (lembaran-lembaran) yang tertulis hadis. Mereka membukukan sebagian hadis yang mereka dengar dari Rosululloh SAW. Seperti shahifah Abdullah ibn Amr ibn Ash, yang dinamai “Ash-Shadiqah”. Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diterapkan kepada kelurga, dan lain-lain.
Menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan alquran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Alquran.
Tegasnya mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita pahami bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Alquran, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri. Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan umat secara umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang terentu. Riwayat Abdullah ibn Amr menguatkan pendapat ini.[3]
2.    Periode Kedua : Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Alquran.
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni :
a.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi Muhammad SAW.[4]
Kekhawatiran Umar bin Al-khatab dalam pembukuan hadis adalah tasyabbuh/ menyerupai dengan ahli kitab yakni yahudi dan nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat islam meninggalkan Alquran dan hanya membaca hadis. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang pengkondifikasian hadis tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu ketika umat islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah di atas menerima hadis dari orang perorang dengan syarat disertai saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika disertai dengan sumpah disamping saksi.[5]
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran setelah Alquran, yang juga harus tetap terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana terpeliharanya Alquran. Oleh karenanya, para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[6]
3.    Periode Ketiga : Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
 Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu hadis.[7]
Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar diwilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawanan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghafal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah :
a.    Abu Huraira, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
b.    ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
c.    ‘Aisyah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.276 hadis.
d.   Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
e.    Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali.r.a. Pada masa ini, umat islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah dan ketiga golongan jumhur (golongan Pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasululloh SAW.untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.

B.       Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi dan Perkembangannya.
1.    Periode Keempat : Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadis
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin ( masa penulis dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad ke-2 H. hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan pada masa nabi.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz . Sebagian khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersama dengan kepergian para penghafalnya ke alam barzakh.  
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli Fiqh, murid ‘Aisyah r.a (20 H/642 M – 98 H/716 M atau 106 H/724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha tujuh Madinah.
Disamping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur  yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis. Beliau adalah guru Malik, Al-Auza’i, Ma’mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah kepala Negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Pembukuan hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulma-ulama hadis pada masanya.[8] 
Diantara hal yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadis. Dalam masa ini muncullah propaganda-propaganda politik untuk mengembangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi massa, dibuatlah hadis-hadis palsu. Dengan hadis-hadis ini mereka mudah menarik minat dan perhatian rakyat kepada pemerintah Abasiyah. Sebagai imbalannya, muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus Propaganda penganut paham Abbasiyah.
Disamping itu muncul pula golongan Zindiq (pura-pura islam), tukang kisah yang berdaya upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat kisha-kisah palsu yang di sandarkan kepada hadis-hadis maudhu’ (palsu). Hal ini menyebabkan sebagian ulama mendorong mempelajari keadaan perawi-perawi hadis dan memang dalam masa ini telah banyak perawi-perawi yang lemah.
Diantara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriah ialah Malik, Yahya Ibn Said al-Qaththan, Waki’ibn al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman ibn Mahdy, Al-Auza’y, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi’y.[9]
2.    Periode Kelima : Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ke-3 H. merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’-Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis. Keadaan ini diubah oleh Al-Bhukari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, naisabur, rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani, dan Himsh.
Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya. Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para perawinya lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan sahih tidaknya. Namun setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut :
a.    Membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.    Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha’if yakni  dengan mentashihkan hadis.
Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis yang sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur. Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al Imam Al Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Disamping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk, sehingga kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah. Yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah’. Dibawah kitab yang enam ini, para ulama menempatkan Musnad Ahmad.[10]
3.    Periode Keenam : Dari Awal Abad IV H – Tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami. Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke 2 dan ke 3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru Negara Arab, Parsi, dan lain-lain.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pejangga abad ke-4. Para ulama abad ke-4 ini dan seterusnnya digelari ‘Mutaakhirin’. Kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.[11]
Ahli hadis pada abad ke-3 tidak banyak lagi yang mentakhrijkan hadis. Mereka hanya berusaha mentahdzibkan, menghafalnya, dan memeriksa sanad yang ada di dalam kitab-kitab yang telah ada itu. Dalam abad ke-4 ini lahirlah pemikiran untuk memandang cukup dalam meriwayatkan hadis dengan berpegang kepada kitab saja, tidak melawat kemana-mana. Menurut riwayat, Ibnu Mandah adalah ulama yang terakhir yang mengumpulkan hadis dengan jalan lawatan.
Pada periode ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab shahih pada abad ke-3. Kitab-kitab itu antara lain : Ash-Shahih (susunan Ibnu Khuzaimah), At-Taqsim wa Anwa’ (susunan Ibnu Hibban), Al-Mustadrak (susunan Al-Hakim), Ash-Shahih (susunan Abu ‘Awanah), Al-Muntaqa (susunan Ibnu Jarud), Al-Mukhtarah (susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Maqdisy).
Pada akhir abad ke-4 itu, selesailah penyusunan hadis. Maka ulama abad ke-5 menitikberatkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-serak dan memudahkan jalan-jalan pengambilan dan sebagainya, seperti mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab dan hadis-hadis tarqhib dalam sebuah kitab, serta mensyarahkannya. Di antara usaha ulama abad ke-5 ialah mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam dan lain-lainnya dalam sebuah kitab besar.
Ringkasnya, di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah :
a.    Mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhary atau Muslim dalam sebuah kitab.
b.    Mengumpulkan hadis-hadis kitab enam
c.    Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
d.   Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab athraf.  [12]
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadis dari Al-Bukhari dan Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Mustakhraj. Banayk ulama telah berusaha menyusun istikhraj terhadap Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim.
Pada periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai Kitab Mustadrak.[13]
4.    Periode Ketujuh : Tahun 656 H - Sekarang
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (w.656 H). sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrijan, dan pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain. Disamping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab kedalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwani Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami’ul Jawani susunan Al Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hads-hadis yang tidak disebut perawinya dan pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, diantaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al-‘Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hambali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya. [14]




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat maka dapat disimpulkan bahwa sejarah dan perkembangan hadis terbagi dalam enam periode yaitu :
Masa pertama, masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit (ba’ats, diangkat menjadi rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H. Masa kedua, yaitu disebut sebagai masa membatasi riwayat, masa Khulafa’ Rasyidin (12 H – 40 H)
Masa ketiga, yaitu masa berkembangnya riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadis, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H – akhir abad pertama H )
Masa keempat, masa pembukuan hadis (dari permulaan abad ke 2 H – hingga akhirnya) Masa kelima, masa pentashihkan hadis dan menyaringnya (awal abad ke-3 H, hingga akhir)
Masa keenam, masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad ke-4 H hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Masa ketujuh, masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadis-hadis zawa’id. (656 H hingga dewasa ini).  

B.       Saran
Sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam setelah Al Qur’an, selain itu kitapun harus mengetahui asal muasal pertumbuhan dan perkembangan hadis dari zaman Rasululloh SAW sampai munculnya ilmu hadis. Agar kita juga dapat mengetahui bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasululloh SAW sampai saat ini seperti yang dibahas dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama.

Solahudin, M dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia.

Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.






[1] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 34.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 44.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 32-35.
[4] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 35.
[5] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 48.
[6] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Media Pratama, 1996), hlm. 57.
[7] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 36.
[8] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 36-39.
[9] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 57-58.


[10] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 42-43.
[11] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 45.
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 79-82.
[13] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 84-85.
[14] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 47-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar