SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen
Pengampu : Drs.H. Khariri, M.Ag.
Disusun
oleh :
1.
Dian Catur Oktaviani (
1522201084 )
2.
Harry Faishal Aqmal (
1522201091 )
3.
Roky Pradana (
1522201104 )
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah
dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan,
dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan
hadis sangat penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang
hadis. Mengetahui perkembangan hadis, baik dari perkembangan riwayat-riwayatnya
maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan
dengan studi hadis.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami
perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi
Al Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat
seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar
Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya
dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan Utsmani (
Khathth Usmani ). Sedangkan penulisan hadist pada masa Nabi secara umum justru
malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke 2
Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut
:
1. Bagaimana sejarah hadis pada masa pra
kodifikasi ?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut
:
1. Mengetahui sejarah hadis pada masa pra kodifikasi.
2. Mengetahui sejarah hadis masa pasca
kodifikasi dan
perkembangannya.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS
A.
Hadis Pada Masa Pra Kodifikasi
1.
Periode Pertama: Perkembangan Hadis Pada Masa Rasululloh SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr
Al-Wahyi wa At-Tahwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat
islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (Aqwal), Af’al, dan taqrir Nabi
yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakan syariat Islam dan
membentuk masyarakat islam.[1]
Hadis pada masa ini pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh
mereka, tidak ditulis seperti Alquran ketika disampaikan nabi, karena situasi
dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr. Mushthafa As-Siba’I menyampaikan
beberapa alasan diantaranya :
a.
Alquran masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi
penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelapah kurma, kulit,
tulang binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (Alquran dibukukan pada
masa Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Al-Khatab).
b.
Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat pada awal islam masih
sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai
penulis wahyu Alquran.
c.
Ingatan orang-orang arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa
baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasululloh untuk mengingat hadis.[2]
Sebagian menyebutkan sebab hadis tidak ditulis yaitu dikhawatirkan
akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Alquran dengan tidak
sengaja. Karena itu, Nabi melarang mereka menulis hadis karena khawatir
sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman ilahi. Tetapi hal ini tidak
menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadis dengan cara tidak resmi. Memang ada beberapa atsar yang
sahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadis di masa Nabi Muhammad
SAW.
Ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat
mempunyai shahifah (lembaran-lembaran)
yang tertulis hadis. Mereka membukukan sebagian hadis yang mereka dengar dari
Rosululloh SAW. Seperti shahifah Abdullah
ibn Amr ibn Ash, yang dinamai “Ash-Shadiqah”.
Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum
diyat yang diterapkan kepada kelurga,
dan lain-lain.
Menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku
catatan. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadis
tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis
dengan alquran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mencampuradukan hadis dengan Alquran.
Tegasnya mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara
larangan dan keizinan, apabila kita pahami bahwa yang dilarang adalah pembukuan
resmi seperti halnya Alquran, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang
hanya menulis sunnah untuk diri sendiri. Memang kita dapat menetapkan bahwa
larangan itu dihadapkan umat secara umum, sedangkan keizinan hanya untuk
beberapa orang terentu. Riwayat Abdullah ibn Amr menguatkan pendapat ini.[3]
2.
Periode Kedua : Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11
H – 40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut
wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi
Muhammad SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan hadis (As-Sunnah)
yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar
secara terbatas. Penulisan hadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara
resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak
meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Alquran.
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni :
a.
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari
Nabi Muhammad SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b.
Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena
tidak hafal lafazh asli dari Nabi Muhammad SAW.[4]
Kekhawatiran Umar bin Al-khatab dalam pembukuan hadis adalah
tasyabbuh/ menyerupai dengan ahli kitab yakni yahudi dan nasrani yang
meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan kalam mereka dan menempatkan
biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat islam
meninggalkan Alquran dan hanya membaca hadis. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak
berarti melarang pengkondifikasian hadis tetapi melihat kondisi pada masanya
belum memungkinkan untuk itu.
Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika
benar-benar diperlukan saja yaitu ketika umat islam benar-benar memerlukan
penjelasan hukum. Kedua khalifah di atas menerima hadis dari orang perorang
dengan syarat disertai saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika
disertai dengan sumpah disamping saksi.[5]
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para
sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal
mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran setelah Alquran, yang juga
harus tetap terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana terpeliharanya Alquran.
Oleh karenanya, para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan
hadis.[6]
3.
Periode Ketiga : Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar
(masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah islam
sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun
93 H, meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para
sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan
pemerintah dan penyebaran ilmu hadis.[7]
Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadis-hadis
Nabi Muhammad SAW. diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah
Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah
tersebar diwilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping
tersebarnya periwayatan hadis kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawanan
untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan
lembaga-lembaga (Centrum perkembangan) hadis di berbagai daerah di
seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghafal,
dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah :
a.
Abu Huraira, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadis,
sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
b.
‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
c.
‘Aisyah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.276 hadis.
d.
Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
e.
Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya
Ali.r.a. Pada masa ini, umat islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa
golongan: Pertama, golongan ‘Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dinamakan
golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan
Mu’awiyah dan ketiga golongan jumhur (golongan Pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari
Rasululloh SAW.untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka
membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
B.
Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi dan Perkembangannya.
1.
Periode Keempat : Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadis
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin ( masa
penulis dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni
yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad ke-2 H. hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan pada masa nabi.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada
masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz . Sebagian khalifah, Umar Ibn
Abdul Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hafalannya
semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan
mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan
hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersama dengan kepergian
para penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah
meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120
H) yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu
Abi Dzi’bin supaya membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghafal wanita
yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn ‘Ades,
seorang ahli Fiqh, murid ‘Aisyah r.a (20 H/642 M – 98 H/716 M atau 106 H/724
M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr
Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha tujuh
Madinah.
Disamping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk
membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka
masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan
Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab
Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis. Beliau adalah
guru Malik, Al-Auza’i, Ma’mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin.
Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis
pertama yang ditulis atas perintah kepala Negara, tidak sampai kepada kita, dan
kitab itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Pembukuan hadis
yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab
Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulma-ulama
hadis pada masanya.[8]
Diantara hal yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan
hadis. Dalam masa ini muncullah propaganda-propaganda politik untuk
mengembangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi massa, dibuatlah
hadis-hadis palsu. Dengan hadis-hadis ini mereka mudah menarik minat dan
perhatian rakyat kepada pemerintah Abasiyah. Sebagai imbalannya, muncul pula
dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus Propaganda
penganut paham Abbasiyah.
Disamping itu muncul pula golongan Zindiq (pura-pura islam),
tukang kisah yang berdaya upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya
dengan membuat kisha-kisah palsu yang di sandarkan kepada hadis-hadis maudhu’
(palsu). Hal ini menyebabkan sebagian ulama mendorong mempelajari keadaan
perawi-perawi hadis dan memang dalam masa ini telah banyak perawi-perawi yang lemah.
Diantara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriah
ialah Malik, Yahya Ibn Said al-Qaththan, Waki’ibn al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsaury,
Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman ibn Mahdy, Al-Auza’y, Al-Laits,
Abu Hanifah, Asy-Syafi’y.[9]
2.
Periode Kelima : Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ke-3 H. merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah
kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’-Al-Malik tersebar dalam masyarakat
dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan
membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
hadis.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di
kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota
lain untuk kepentingan pengumpulan hadis. Keadaan ini diubah oleh Al-Bhukari.
Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari
hadis. Beliau pergi ke Maru, naisabur, rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah,
Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani, dan Himsh.
Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadis yang
tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah
untuk menyiapkan kitab Shahih-nya. Para ulama pada mulanya menerima hadis dari
para perawinya lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat
menerimanya dan tidak memperhatikan sahih tidaknya. Namun setelah terjadinya pemalsuan
hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para
ulama pun melakukan hal-hal berikut :
a.
Membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan,
tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.
Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha’if yakni
dengan mentashihkan hadis.
Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis
yang sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawih, seorang
imam hadis yang sangat termasyhur. Pekerjaan yang mulia ini kemudian
diselenggarakan dengan sempurna oleh Al Imam Al Bukhari. Al-Bukhari menyusun
kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih. Di dalam
kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha
Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain
yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,
dan An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih
Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan
An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul
Al-Ushul Al-Khamsyah.
Disamping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan
ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk, sehingga
kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah. Yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub
Al-Sittah’. Dibawah kitab yang enam ini, para ulama menempatkan Musnad
Ahmad.[10]
3.
Periode Keenam : Dari Awal Abad IV H – Tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu
pada masa ‘Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib
wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami. Ulama-ulama hadis yang muncul
pada abad ke 2 dan ke 3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis
dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan
menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru Negara
Arab, Parsi, dan lain-lain.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pejangga abad ke-4. Para
ulama abad ke-4 ini dan seterusnnya digelari ‘Mutaakhirin’. Kebanyakan
hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab
Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri
kepada para penghafalnya.[11]
Ahli hadis pada abad ke-3 tidak banyak lagi yang mentakhrijkan
hadis. Mereka hanya berusaha mentahdzibkan, menghafalnya, dan memeriksa sanad
yang ada di dalam kitab-kitab yang telah ada itu. Dalam abad ke-4 ini lahirlah
pemikiran untuk memandang cukup dalam meriwayatkan hadis dengan berpegang
kepada kitab saja, tidak melawat kemana-mana. Menurut riwayat, Ibnu Mandah
adalah ulama yang terakhir yang mengumpulkan hadis dengan jalan lawatan.
Pada periode ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat
dalam kitab shahih pada abad ke-3. Kitab-kitab itu antara lain : Ash-Shahih (susunan
Ibnu Khuzaimah), At-Taqsim wa Anwa’ (susunan Ibnu Hibban), Al-Mustadrak
(susunan Al-Hakim), Ash-Shahih (susunan Abu ‘Awanah), Al-Muntaqa (susunan
Ibnu Jarud), Al-Mukhtarah (susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Maqdisy).
Pada akhir abad ke-4 itu, selesailah penyusunan hadis. Maka ulama
abad ke-5 menitikberatkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan
yang berserak-serak dan memudahkan jalan-jalan pengambilan dan sebagainya,
seperti mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab dan hadis-hadis tarqhib
dalam sebuah kitab, serta mensyarahkannya. Di antara usaha ulama abad ke-5
ialah mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam dan lain-lainnya
dalam sebuah kitab besar.
Ringkasnya, di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam
periode ini adalah :
a.
Mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhary atau Muslim dalam sebuah kitab.
b.
Mengumpulkan hadis-hadis kitab enam
c.
Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
d.
Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab athraf.
[12]
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj, umpamanya
mengambil suatu hadis dari Al-Bukhari dan Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad
sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim karena tidak
memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Mustakhraj.
Banayk ulama telah berusaha menyusun istikhraj terhadap Shahih Al-Bukhary
dan Shahih Muslim.
Pada periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni
mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau
salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan oleh Bukhari
dan Muslim. Kitab ini mereka namai Kitab Mustadrak.[13]
4.
Periode Ketujuh : Tahun 656 H - Sekarang
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke
XVII Al-Mu’tasim (w.656 H). sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu
As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pen-tahrijan, dan pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh
ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya,
dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami’
yang umum.
Pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha
mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah
kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab
Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi
kitab Zawa’id yang lain. Disamping itu, para ulama hadis pada periode
ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab kedalam sebuah
kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan
Al-Hadi li Aqwani Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami’ul
Jawani susunan Al Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hads-hadis yang
tidak disebut perawinya dan pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini
berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan
nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul
ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, diantaranya Ithaf
Al-Maharah bi Athraf Al-‘Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Athraf
Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hambali oleh Ibnu Hajar, dan
masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya. [14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat maka dapat disimpulkan bahwa sejarah dan
perkembangan hadis terbagi dalam enam periode yaitu :
Masa pertama,
masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi
bangkit (ba’ats, diangkat menjadi rasul) hingga beliau wafat pada tahun
11 H. Masa kedua, yaitu disebut sebagai masa membatasi riwayat, masa
Khulafa’ Rasyidin (12 H – 40 H)
Masa ketiga,
yaitu masa berkembangnya riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari
hadis, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H – akhir abad pertama H )
Masa keempat,
masa pembukuan hadis (dari permulaan abad ke 2 H – hingga akhirnya) Masa
kelima, masa pentashihkan hadis dan menyaringnya (awal abad ke-3 H, hingga
akhir)
Masa keenam, masa
menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus
(dari awal abad ke-4 H hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Masa ketujuh,
masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan
hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas
hadis-hadis zawa’id. (656 H hingga dewasa ini).
B.
Saran
Sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah
Rasul SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam
setelah Al Qur’an, selain itu kitapun harus mengetahui asal muasal pertumbuhan
dan perkembangan hadis dari zaman Rasululloh SAW sampai munculnya ilmu hadis.
Agar kita juga dapat mengetahui bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini,
dari zaman Rasululloh SAW sampai saat ini seperti yang dibahas dalam makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama.
Solahudin, M dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis, Bandung:
Pustaka Setia.
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.
[1] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 34.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 44.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 32-35.
[4] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 35.
[5] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 48.
[6] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Media Pratama,
1996), hlm. 57.
[7] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 36.
[8] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 36-39.
[9] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 57-58.
[10] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 42-43.
[11] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 45.
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 79-82.
[13] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Semarang
: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 84-85.
[14] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 47-49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar