KEDUDUKAN AQIDAH, SYARI’AH DAN
AKHLAK
DALAM EKONOMI
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah : Pengantar Ekonomi Islam
Dosen
Pengampu : H. Sochimin, L.c.,M.Si.
Disusun
Oleh :
1. Harry
Faishal Aqmal (1522201091)
2. Noviriyanti
(1522201099)
3. Siti Rofikoh Fatihatul Ghaniy (1522201106)
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PURWOKERTO
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah
dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam hati. Yaitu iman
(akidah), Islam (Syariah), dan ihsan (akhlak). Dalam sistem ekonomi Islam yang
berlandaskan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai pedoman yang sangat kompleks dan
sempurna. Sistem ekonomi Islam ini muncul bukan hanya mencari keuntungan yang
sebanyak-banyaknya lalu bisa menghalalkan segala secara, tetapi untuk mencari
tujuan hidup yang lebih baik dan mencari keridhoan Allah SWT dan keuntungan
adalah sebagai hadiah yang diberikan Allah untuk kita.
Tata susun ajaran Islam yang meliputi Aqidah, Syari'ah, dan Akhlaq
dan di dalam lingkup syari'ah akan dijelaskan lingkup muamalah dan salah satu
aspeknya ialah ekonomi. Dari situ dapat dijelaskan bahwa ketiganya ini menjadi
saling berkait antara satu sama lainnya yang dapat mendukung untuk memunculkan
sistem ekonomi Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Tata Susun Ajaran Islam ?
2.
Bagaimana
Kedudukan Aqidah, Syari’ah dan Akhlak dalam Ekonomi ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Tata Susun Ajaran Islam
2.
Mengetahui
Kedudukan Aqidah, Syari’ah dan Akhlak dalam Ekonomi.
D.
Metodologi
Dalam
penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan adalah secara
kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tata Susun Ajaran Islam
Sistem
ekonomi Islam dibangun pada tujuan yang tidak saja berkaitan dengan tujuan
hidup pada saat ini yang bermuara pada kesejahteraan (wealfare) tiap-tiap individu. Akan tetapi, kesejahteraan tersebut
harus secara nyata berimplikasi pada kehidupan yang lebih fundamental yaitu
kesejahteraan duniawi dan ukhrawi
(keselamatan dunia akhirat).
Realisasi dari
perwujudan ini dapat dirujukan pada tata susunan ajaran Islam yang dapat
dilihat pada gambar berikut.[1]
Gambar : Tata Susun Ajaran Islam
Islam merupakan suatu agama yang
memberikan tuntutan kepada seluruh aspek kehidupan, baik hubungan manusia
dengan Tuhan atau manusia dengan sesama makhluk Tuhan. Inilah yang sering
disebut implementasi Islam secara Kaffah (menyeluruh). Pengertian
implementasi secara kaffah ini adalah : Ajaran Islam dilaksanakan secara
keseluruhan, jadi tidak diambil beberapa bagian saja secara parsial, dan meliputi
seluruh aspek kehidupan, yaitu seluruh aspek kehidupan harus dibingkai ajaran Islam.
Dengan menjalankan Islam secara kaffah berarti menjadikan Islam sebagai
sistem kehidupan (way of life), bukan sekedar pedoman ritual antara
manusia dengan Tuhan saja.
Islam memosisikan kegiatan ekonomi
sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatkan kemuliaan (falah),
dan karenanya kegiatan ekonomi –sebagaimana kegiatan lainnya- pelu dituntun dan
dikontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan. Falah
hanya akan dapat diperoleh jika ajaran Islam dilaksanakan secara menyeluruh
atau kaffah. Agama Islam memberikan tuntunan bagaimana manusia
seharusnya berinteraksi dengan Allah (ibadah mahdhah) dan bagaimana manusia
melaksanakan kehidupan bermasyarakat (mu’amalah), baik dalam lingkungan
keluarga, kehidupan bertetangga, bernegara, berekonomi, bergaul antar bangsa,
dan sebagainya.[2]
B. Kedudukan Aqidah, Syariah dan Akhlak dalam Ekonomi
1.
Aqidah
Dalam
pengertian umun, aqidah adalah rukun iman. Aqidah merupakan fundamental dari
keyakinan dan keimanan (sense of faith). Dalam membangun keyakinan,
seorang muslim tentang aqidah, dibutuhkan totalitas tidak cukup dengan logika
yang dimiliki karena aspek-aspek yang diyakini dalam aqidah (yang meliputi
kepercayaan kepada Allah SWT., malaikat, kitab-kitab, para Rasul dan Nabi, hari
kiamat, qodo dan qodar). Hal itu bersifat transenden[3],
tidak secara langsung korelatif dengan problem-problam dan kaidah-kaidah
ekonomi.
Pembangunan
sistem ekonomi Islam tidak dilatar belakangi oleh aqidah dan aliran-aliran
tertentu atau fanatisme yang berlebihan terhadap aliran-aliran aqidah dalam Islam,
tapi dilatar belakangi oleh semangat mengimplementasika tujuan-tujuan yang
bersifat ukhrawi dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem
ekonomi.[4]
Landasan aqidah akan membimbing perilaku individu
dalam aktifitas ekonomi untuk selalu meyakini bahwa segala yang dilakukan akan
mendapatkan konsekuensi-konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan
sang Khalik. Ekonomi Islam merupakan bagian dari aqidah, yakni untuk memberikan
keyakinan bagi setiap individu bahwa sistem ekonomi Islam jika dilakuakan, maka
akan mendapatkan pahala jika melanggar ketentuan-ketentuan syariah maka akan
mendapatkan dosa.[5]
Akidah
merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk tatanan
ekonomi. Tatanan dalam Islam merupakan bagian dari akidah yaitu bertugas untuk memperdalam
akar-akarnya, menyebarluaskan cahayanya, dan membentenginya dari segala
rintangan, serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ekonomi Islam
adalah ekonomi yang berlandaskan keTuhanan. Ia terpancar dari akidah keTuhanan,
akidah tauhid. Akidah yang dengan sengaja diturunkan Allah pada Rasulnya untuk
manusia.[6]
Hubungan
ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam banyak hal, seperti
pandagan Islam terhadap alam semesta yang disediakan untuk kepentingan manusia.
Hubungan ekonomi Islam dengan akidah dan syariah tersebut memungkinkan
aktivitas ekonomi dalam Islam menjadi ibadah.[7]
2. Syari’ah
Syariah
secara etimologis berarti peraturan atau undang-undang, yaitu
peraturan-peraturan mengenai tingkah laku yang mengikat, harus dipatuhi dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Secara terminologis syariah dapat berarti
luas dan khusus. Dalam pengertian yang luas, syariah Islam berarti seluruh
ketentuan ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-qur’an dan hadits yang
berarti meliputi aqidah, akhlak, dan amaliyah (perbuatan nyata). Dalam
pengertian yang khusus, syariah berarti ketentuan-ketentuan atau peraturan agama
Islam yang mencakup hanya bidang amaliyah saja (perbuatan nyata) dari umat Islam
dan tidak termasuk di dalamnya bidang aqidah dan bidang akhlak.
Berdasarkan
pada gambar tata susun ajaran Islam, syariah Islam dalam kajian ini lebih
berpengertian khusus yaitu syariah terkelompokkan pada rumpun ibadah (vertical)
dan muamalah (horizontal). Ekonomi merupakan bagian muamalah pada hak-hak
publik, sejajar dengan persoalan politik dan social.[8]
Syariah
ini bukan saja meyeluruh atau komprehensif, tetapi universal. Komprehensif
berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah)
maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan
keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliqnya. Ibadah juga merupakan sarana
untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah.-Nya di muka
bumi ini. Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi Rules of the game
atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial.
Universal
bermakna syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai
hari akhir nanti. Universal ini tampak jelas terutama pada bidang muamaah.
Selain mempunyai cakupan yang sangat luas dan fleksibel, muamalah tidak
membeda-bedakan antara muslim dan non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam
suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, “Dalam bidang muamalah,
kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita."
Sifat
muamalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit
wa mutaghayyirat dalam sektor ekonomi, misalnya yang merupakan prinsip
larangan riba, sistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenaan zakat,[9]
dan lain-lain.[10]
Syariah
menjadi norma yang memberikan jalan dan petunjuk manusia dalam menjalani
kehidupannya. Untuk memastikannya, syariah menerapkan tujuan-tujuan yang harus
dicapai dalam kerangka menjaga harmoni kehidupan manusia.
Sistem
ekonomi berdasarkan prinsip syariah tidak hanya merupakan sarana untuk menjaga
keseimbangan kehidupan ekonomi, tetapi juga
merupakan sarana untuk merealokasi sumber-sumber daya kepada orang-orang
yang berhak menurut syariah sehingga dengan demikian tujuan efisiensi ekonomi
dan keadilan dapat dicapai secara bersama-sama. Selanjutnya, dengan
keberhasilan mencapai tujuan ekonomi berdasarkan prinsip syariah berarti
terciptanya lingkungan masyarakat yang sempurna.
Namun,
tujuan tersebut tidak mungkin dapat terwujud tanpa usaha yang maksimal.
Dibutuhkan strategi untuk merekonstruksi sistem ekonomi secara menyeluruh.
Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan upaya mereformasi sistem politik,
hukum, ekonomi dan sosial, dengan melibatkan partisipasi semua warga negara.[11]
3. Akhlak
Ibnu
miskawaih[12]
mendefinisikan akhlaq sebagai suatu kondisi jiwa yang melakukan sesuatunya
tanpa ia dipikirkan lebih dahulu.
Al-ghazali mendeskripsikan akhlaq adalah suatu keadaan yang menetap di
dalam jiwa yang mana darinya keluarlah perbuatan-perbuatan secara mudah dengan
tidak lebih dahulu memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[13]
Hammudah
Abdul Athi menulis, konsep akhlak dalam Islam berdasar pada basisi kepercayaan
dan prinsip-prinsip bahwa :
1. Allah
adalah Pencipta dan sumber semua kebaikan, kebenaran, dan keindahan,
2. Manusia,
diberi tanggung jwab, kemuliaan, dan kelhuran oleh Sang Pencipta
3. Allah
menjadikan seluruh yang ada di bumi dan langit untuk kebutuhan manusia
4. Dengan
kasih dan kebijaksanaan-Nya, Allah tak akan memerintahkan manusia sesuatu
diluar batas kemampuanya
5. Sikap
moderat, praktis, dan keseimbangan merupakan jaminan dari kejujuran yang tinggi
dan moralitas yang bersih
6. Prinsipnya,
segala sesuatu perkara itu boleh dilakukan dengan catatan, yang wajib memang
harus dikerjakan, sedangkan yang dilarang harus ditinggalkan
7. Manusia
akhirnya harus bertanggung jawab kepada Allah dan tujuan paling tinggi adalah
surga-Nya.[14]
Ekonomi Islam memadukan antara ilmu dan
akhlak, karena ahlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Karena
risalah adalah risalah ahlak, sesuai dengan sabda Rasululloh ” sesungguhnya
tiadalah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnkan akhlak.”
(al-hadis).
Kesatuan antara ekonomi dan akhlak ini akan
semakin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan
produksi, distribusi, peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim baik secara
pribadi maupun secara bersama-sama, tidak bebas mengerjakan apa saja yang
diinginkannya atau apa yang menguntungknnya.[15] Akhlak
menempati posisi puncak, karena inilah tujuan Islam dan dakwah Nabi, yakni
menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku
ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.
Namun
harus dicermati, walaupun sistem ekonomi Islam mempunyai landasan yang kuat dan
prinsip-prinsip ekonomi yang mantap bukan jaminan perekonomian umat Islam
otomatis menjadi maju. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan bahwa tidak ada
transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Akan tetapi, kinerja bisnis
tergantung pelaku ekonomi, yang bisa saja dipegang oleh orang non muslim.
Perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola tingkah laku
muslimin dan muslimat sudah profesional.[16]
Landasan
teori dan prinsip ekonomi Islam menuntut adanya manusia yang mampu
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem
tersebut. Harus ada manusia yang berlaku profesional (ihsan) dan tekun (itqan)
dalam bidang ekonomi, baik dalam kapasitasnya sebagai produsen, konsumen,
penguasa, karyawan, ataupun sebagai pejabat pemerintah.[17]
Setiap
orang Islam perlu berperilaku sesuai dengan ajaran Islam atau mewujudkan
perilaku homo Islamicus. Artinya, moral (akhlaq) Islam menjadi pegangan
paduan mereka untuk menentukan suatu kegiatan adalah baik atau buruk sehingga
perlu dilaksanakan atau tidak. Jika ini bisa terwujud, maka kita bisa
mengatakan bahwa moral berperan sebagai pilar (penegak) dari terwujudnya
bangunan ekonomi Islam dapat tegak dan hanya dengan ekonomi Islam-lah falah
dapat dicapai. Peranan moral sebagai pilar ekonomi Islam juga bisa dilihat dari
posisi kunci yang dimilikinya.[18]
Dalam
perkembangan, akhlaq juga sering didefinisikan selaras dengan etika dan moral. Sebagaimana
pendapat Robby I. Chandra bahwa etika pada dasarnya adalah suatu penilaian yang
berkaitan dengan moral dengan mengacu pada prinsip-prinsip:
1. Hal-hal
yang memiliki konsekuensi dalam perbaikan kesejahteraan manusia
2. Mengatasi
self-interest; dan
3. Bertumpu
pada sejumlah pertimbangan-pertimbangan yang tidak berpihak atau imparsial.
Secara
lebih luas, etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang
manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Etika merupakan ilmu yang
menyelediki tingkah laku moral. Moral merupakan akar kata dari bahasa Latin
yaitu moralis (kata dasar mos, moris) yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, cara dan tingkah laku.[19]
Selain
etika dekat dengan pengertian moral, etika juga dekat dengan pengertian akhlaq
dalam Islam. Menurut M. abdul Mannan, falsafah moral Islam tidak bisa
dilepaskan dalam pembangunan sistem ekonomi Islam. Umat atau Negara muslim
harus dapat mengimplementasikan norma-norma Islam dalam perilaku dan kegiatan
ekonomi.[20]
Sistem
ekonomi Islam merupakan arahan menuju pada representasi “ilmu, etika dan agama”
berjalan secara komprehensif. Apalagi jika epistemology keilmuanya dapat
dapat dikonstruksi lebih detail maka akan menjadi paradigma alternative dalam
regulasi pasar global yang banyak menimbulkan persoalan serta kompleksitas
perilaku ekonomi dan persaingan pasar yang hanya mendahulukan keuntungan
maksimum.
Situasi
yang harus dimanfaatkan oleh pemikir dan praktisi Islam untuk menghadirkan
epistemologi sistem ekonomi yang dapat menjadi “jalan tengah” dan diminati oleh
publik. Sebagai kaum muslim, rasanya tidak lengkap jika tidak ikut mencurahkan
pemikiran tentang “ jalan tengah” apa yang
ideal secara Islam dalam kegiatan dan perilaku ekonomi umum.
Sebagai
contoh, mudharobah atau qiradh merupakan sistem lama yang ada
sejak pra Islam. Akan tetapi secara epitemologis, hal tersebut dipopulerkan
oleh Nabi Muhammad Saw. ketika bermitra dengan Siti Khadijah dengan sistem bagi
hasil dari hasil bersih dagangannya dan kemudian diteorikan oleh
pemikir-pemikir Islam di Madinah dan Hijaz. Dengan demikian, mudharobah merupakan sistem Islam, tanpa kita harus
bersusah payah mencari dari mana dalilnya. Apalagi secara aksiologis, mudharobah
mencerminkan nilai-nilai keadilan antara mudharib (debitur) dengan shehibul
mal (kreditur) dalam melakukan kerjasama dengan sistem bunga yang selalu
menguntungkan capital (pemilik modal).
Bank
syariah selama ini direpremantasikan sebagai implementasi dari sistem keuangan
berbasis ekonomi Islam. Dalam konteks ilmu dan etika apapun, perbankan syariah
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai syariah dan etika pada tata manajemen.
Prinsipnya adalah profit and loss sharing dengan produk seperti mudharobah,
musyarokah, murabahah, ijarah, dan lain-lain. Dari aspek aksiologis, bank
syariah telah banyak melakukan kebijakan di luar manajemen yang memberikan
implikasi yang sangat Islami.[21]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil ialah Aqidah, Syari'ah, dan Akhlaq menjadi satu bagian yang
saling terkait dan saling menopang dalam sistem ekonomi Islam, ketiganya ini
berjalan beriringan untuk mencapai sistem ekonomi yang berlandaskan Islam
sesuai al-Qur'an dan al-Hadits.
Aqidah
merupakan fundamental dari keyakinan dan keimanan (sense of faith). Hubungan
antara aqidah dan ekonomi, landasan aqidah akan membimbing kita dalam
berperilaku individu dalam aktifitas ekonomi untuk selalu yakin bahwa segala
yang dilakukan akan mendapatkan konsekuensi yang dipertanggungjawabkan.
Syari'ah
adalah peraturan atau undang-undang, yaitu peraturan mengenai tingkah laku yang
mengikat, harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di lingkup
inilah ekonomi merupakan lingkup syari'ah bagian muamalah pada hak-hak publik.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, sistem ekonomi Islam merupakan kewajiban
dan tanggung jawab yang dapat dibangun dengan beragam metodologi dan pendekatan
selama tidak bertentangan dengan syari'ah dan mencerminkan nilai akhlaq.
Akhlaq merupakan
sikap mental atau watak terjabarkan dalam bentuk berpikir, berbicara,
bertingkah laku dan sebagainya sebagai ekspresi jiwa. Akhlaq juga sering
didefinisikan selaras antara etika dan moral. Umat atau negara muslim harus
dapat mengimplementasikan norma-norma Islam dalam perilaku dan kegiatan
ekonomi. Dari sini tampak jelas bahwa akhlaq yang dibangun dalam ekonomi Islam
berdasarkan kebiasaan atau perilaku-perilaku kita sebagai muslimin. Ini yang
dapat membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi"
lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, Jakarta : Gema Insani.
Dahlan, Ahmad. 2010. Pengantar Ekonomi Islam, Purwokerto :
STAIN Press.
Djamil, Fathurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam – Sejarah, Teori
dan Konsep, Jakarta : Sinar Grafika.
Gardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam,
Jakarta : Gema Insani Press.
Kadir , A. 2013. Hukum Bisnis Syariah Dalam Al-Qur’an,
Jakarta : Amzah.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Negeri Yogyakarta. 2014. Ekonomi Islam,
Jakarta : Raja Wali Pers.
Rivai, Veithzal dan Andhi Buchari. 2009. Islamic Economics :
Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi solusi, Jakarta : Bumi Aksara.
[1] Ahmad Dahlan,
Pengantar Ekonomi Islam, (Purwokerto : STAIN Press, 2010), hlm. 25.
[2] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Negeri
Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Wali Pers, 2014), hlm. 15-16.
[3] Transenden
merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat, yang
dapat ditemukan didalam semesta. Contohnya, mempelajari sifat Tuhan yang
dianggap begitu jauh, berjarak dan mustahil dipahami manusia.
[4] Ahmad Dahlan,
Pengantar Ekonomi Islam, (Purwokerto : STAIN Press, 2010), hlm. 26.
[5] Ibid.,hlm.28.
[6] Yusuf Qardhawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hlm.
35.
[7] Veithzal Rivai
dan Andi Buchari, Islamic Economics : Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi
Solusi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm.175.
[8] Ahmad Dahlan,
Pengantar Ekonomi Islam, (Purwokerto : STAIN Press, 2010), hlm. 28-30.
[9] Adapun contoh
variabel adalah instrumen-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip
tersebut. Diantaranya adalah aplikasi prinsip jual beli dalam modal kerja,
penerapan asas mudharabah daam investasi atau penerapan Bai’ as-salam dalam
pembangunan suatu proyek. Tugas cendekiawan muslim sepanjang zaman adalah
mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam variabel-variabel
yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada setiap masa.
[10] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta : Gema
Insani, 2001), hlm. 4-5.
[11] Fathurrahman
Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2013), hlm. 16-18.
[12] Ibn Miskawih
adalah seorang ahli sejarah, filsafat dan juga penyair. Ia amat dikenal sebagai
pemikir muslim yang produktif yang telah banyak menghasilkan karya tulis dimana
salah satu yang paling besar ialah Tahdhibul Akhlaq. Hidup tahun 330-421
H/941-1030M.
[13] Ahmad Dahlan,
Pengantar Ekonomi Islam, (Purwokerto : STAIN Press, 2010), hlm. 30.
[14] A. Kadir, Hukum
Bisnis Syariah Dalam Al-Qur’an, (Jakarta, Amzah, 2013), hlm. 49.
[15] Veithzal Rivai
dan Andi Buchari, Islamic Economics : Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi
Solusi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm.92.
[16] Ibid. hlm.185.
[17] Ibid.,hlm.210.
[18] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Negeri
Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Wali Pers, 2014), hlm. 56.
[19] Ahmad Dahlan,
Pengantar Ekonomi Islam, (Purwokerto : STAIN Press, 2010), hlm. 31.
[20] Ibid. Hlm.
32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar