PERAN PANCASILA SEBAGAI
SISTEM ETIKA
DI INDONESIA
A.
Pengertian Etika
Secara
etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak,
adat ataupun kesusilaan. Secara umum, etika adalah suatu cabang filsafat, yaitu
suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral tersebut, atau dapat diartikan bahwa etika adalah
sebuah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan.
Menurut Suseno, Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi
beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu
dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat
praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan
kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada
tersebut.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi
menjadi dua kelompok. Kedua kelompok etika
itu adalah sebagai berikut :
1. Etika Umum,
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus,
membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai
aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun
makhluk sosial (etika sosial)
a. Etika individual membahas kewajiban
manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya
serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya.
b. Etika sosial di lain hal membahas
kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan
manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Etika
berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak
susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan
sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak.
Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang
berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan
orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan
prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar
filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
B.
Pengertian Nilai, Norma, dan Moral.
1. Pengertian Nilai
Nilai
adalah sesuatu yang berguna, berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis),
baik (norma moral atau etika), religius (nilai agama), yang memperkaya batin
dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi
yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap serta perilaku manusia. Nilai
sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan,
disamping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau
dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang
abstrak.
Nilai
sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan menekankan pada segi-segi
kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta
pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik. Disamping
teori nilai diatas, Prof. Dr. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,
yaitu sebagai berikut :
a. Nilai Material, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai Vital, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai Kerohanian, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi rohani manusia. Nilai Kerohanian dapat dirinci sebagai
berikut :
1) Nilai kebenaran atau kenyataan, yang
bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta).
2) Nilai keindahan, yang bersumber pada
unsur rasa manusia (gevoels, dan aesthesis)
3) Nilai kebaikan moral yang bersumber pada
unsur kehendak manusia (karsa)
4) Nilai Religius, yang bersumber pada
kepercayaan/keyakinan manusia, dengan disertai penghayatan melalui akal dan
budi nuraninya. Nilai Religius ini merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang
tertinggi dan mutlak.
Nilai
akan lebih bermanfaat dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka harus
lebih di kongkritkan lagi secara objektif, sehingga memudahkannya dalam menjabarkannya dalam tingkah laku, misalnya
kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat istiadat dll.
2.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin “mores” yang berarti
norma-norma baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
budi pekerti, akhlak ataupun kesusilaan manusia.
3. Pengertian Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
yang mengikat warga masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan,
tatanan, padanan dan pengendali
sikap dan tingkah
laku manusia. Agar manusia mempunyai harga, moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Sedangkan derajat kepribadian sangat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya, maka makna moral yang terkandung
dalam kepribadian seseorang tercermin
dari sikap dan
tingkah lakunya. Oleh karena
itu, norma sebagai penuntun, panduan atau pengendali
sikap dan tingkah laku manusia.
C.
Hubungan Antara Nilai, Norma dan Moral
Nilai atau Value termasuk bidang kajian filsafat.
Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari dalam salah satu
cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value).
Didalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa
nilai adalah kemampuan yang dipercaya yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok, (The believed capacity of any object to statisfy a human desire).
Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada
suatu objek, bukan objek itu sendiri.sesuatu itu mengandung nilai artinya ada
sifat atau kualitas yang melekat pada pada sesuatu itu.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah
kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi
dalam bersikap dan bertingkah laku bak disadari ataupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta, dimana fakta dapat
diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak
yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia.
Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniyah) manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat
konkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat
bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut
diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan
bersifat objektif jika nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian
manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam
menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikonkritkan lagi
serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Maka wujud yang lebih konkrit
dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Terdapat berbagai macam
norma, dan dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling kuat
keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya
penguasa atau penegak hukum.
Selanjutan nilai dan norma senantiasa berkaitan
dengan norma dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat
pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas
yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah kita memasuki
wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat
erat sekali dan kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun
sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu
ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan,
baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar menjadi manusia yang baik. Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang
filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996).
Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos (1987), bahwa etika dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan. Adapun yang dimaksud
dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika pada
hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang
prinsip-prinsip moralitas.
Etika
merupakan tingkah laku yang bersifat umum universal berwujud teori dan bermuara
ke moral, sedangkan moral bersifat tindakan lokal, berwujud praktek dan berupa
hasil buah dari etika. Dalam etika seseorang dapat memahami dan mengerti bahwa
mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu,
inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral. Kekurangan etika adalah tidak
berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang, sebab
wewenang ini ada pada ajaran moral.
Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri,
tetapi tidak demikian halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan
pemikiran yang kritis terhadap etika. Terdapat suatu kemungkinan bahwa
seseorang mengikuti begitu saja pola-pola moralitas yang ada dalam suatu
masyarakat tanpa perlu merefleksikannnya secara kritis.
Etika tidak
berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh seseorang.
Wewenang ini dipandang berada ditangan pihak-pihak yang memberikan ajaran
moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika jikalau dibandingkan
dengan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat mengerti
mengapa, dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu.
Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau dibandingkan
dengan moral.
Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaaran moral
sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan
baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan
teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai,
norma, dan moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu
tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.
D.
Nilai Etika Yang Terkandung Dalam Pancasila
Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia
melakukan semua tindakan sehari-hari yang menjadi pegangan. Adapun nilai-nilai
etika yang terkandung dalam pancasila tertuang dalam berbagai tatanan sebagai
berikut:
1.
Tatanan bermasyarakat
2.
Tatanan bernegara
3.
Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar
negeri
4.
Tatanan pemerintah daerah
5.
Tatanan hidup beragama
6.
Tatanan bela Negara
7.
Tatanan pendidikan
8.
Tatanan berserikat
9.
Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintah
10.
Tatanan
sosial
Di dalam
Pancasila terdapat nilai-nilai dan makna-makna yang dapat di implementasikan
dalam kehidupan sehari-hari adalah :
1.
Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara garis besar mengandung makna bahwa Negara melindungi setiap
pemeluk agama (yang tentu saja agama diakui di Indonesia) untuk menjalankan
ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya. Tanpa ada paksaan dari siapa pun untuk
memeluk agama, bukan mendirikan suatu agama. Tidak memaksakan suatu agama atau
kepercayaannya kepada orang lain. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya
kehidupan beragama. Dan bertoleransi dalam beragama, yakni saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
2.
Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Mengandung makna bahwa setiap warga Negara mendapatkan perlakuan
yang sama di mata hukum, karena Indonesia berdasarkan atas Negara hukum.
mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama
manusia. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bertingkah laku sesuai dengan adab dan
norma yang berlaku di masyarakat.
3.
Sila Ketiga : Persatuan Indonesia.
Mengandung makna bahwa seluruh penduduk yang mendiami seluruh pulau
yang ada di Indonesia ini merupakan saudara, tanpa pernah membedakan suku,
agama ras bahkan adat istiadat atau kebudayaan. Penduduk Indonesia adalah satu
yakni satu bangsa Indonesia. cinta terhadap bangsa dan tanah air. Menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rela berkorban demi bangsa dan negara.
Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.
4.
Sila Keempat : Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Mengandung maksud bahwa setiap pengambilan keputusan hendaknya
dilakukan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, bukan hanya mementingkan
segelintir golongan saja yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan anarkisme.
tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Melakukan musyawarah, artinya
mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan
bersama. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
5.
Sila Kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.
Mengandung maksud bahwa
setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak
sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap lini kehidupan. mengandung arti
bersikap adil terhadap sesama, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain.
Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Seluruh kekayaan alam dan isinya
dipergunakan bagi kepentingan bersama menurut potensi masing-masing. Segala
usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan
kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Penghidupan
disini tidak hanya hak untuk hidup, akan tetapi juga kesetaraan dalam hal
mengenyam pendidikan.
Apabila
nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila di implikasikan di
dalam kehidupan sehari-hari maka tidak akan ada lagi kita temukan di Negara
kita namanya ketidak adilan, terorisme, koruptor serta kemiskinan. Karena di
dalam Pancasila sudah tercemin semuanya norma-norma yang menjadi dasar dan
ideologi bangsa dan Negara. Sehingga tercapailah cita-cita sang perumus
Pancasila yaitu menjadikan Pancasila menjadi jalan keluar dalam menuntaskan
permasalahan bangsa dan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar