PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
1.PEMILU TAHUN 1955
Pemilu
pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota -
anggota DPR dan Konstituante. Landasan
konstitusional Pemilu tahun 1955 adalah Pasal 35, Jo. Pasal 57, Jo. Pasal
135 ayat ( 2) UUD Sementara 1950. Sedangkan landasan operasionalnya adalah
Undang Undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilu. Pemilu ini seringkali disebut
dengan Pemilu 1955, dan telah
dipersiapkan sejak pemerintahan Perdana
Menteri Natsir. Namun, Pemilu baru terlaksana pada saat kepala Pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai
Tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu :
a). Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September
1955, dan diikuti oleh 29 Partai Politik dan individu.
b). Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih 514 anggota Konstituante.
Tahap ini di selenggarakan pada tanggal
15 Desember 1955.
Dari
kedua tahap Pemilu tersebut, PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama, dan Partai Komunis
Indonesia tampil sebagai peraih suara terbanyak.Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh
Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945
tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan
pendirian partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat –
harus diadakan secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan
dan logistik (juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan),
Pemilu tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari
1946.
Sistem
yang digunakan adalah proporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut,
terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota
konstituante dan anggota parlemen.
Jumlah
anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total
penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah anggota
DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian
tersebut; Jika kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3; Sisa jumlah anggota DPR
dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah
penduduk warganegara masing-masing;
2. PEMILU TAHUN 1971
Pemilu tahun
2971 merupakan Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini
dilaksanakan tanggal 3 juli 1971 dengan menggunakan sistem gabungan. Landasan operasional Pemilu tahun 1971 adalah
Ketetapan MPRS Nomor. XLII / MPRS/1968 ( Perubahan dari Ketetapan MPRS Nomor
XI/MPRS/1966 ), Undang Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang
Undang Nomor 16 tahun 1969 tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Pemilu
1971 ditujukan untuk memilih anggota DPR. Pemilu tahun 1971 menghasilkan
Golkar, NU, Parmusi, PNI, dan PSII Sebagai partai peraih suara terbanyak. 71 diadakan tanggal 3
Juli 1971. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan
melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari
kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.
Untuk pemilihan
anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional)
dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia. Rakyat pemilih
mencoblos tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah pemilihannya
adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000 penduduk
memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi minimal
memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di
wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.
Dalam Pemilu 1971,
total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai
54.699.509 atau 94% total suara.[6] Dari total 460 orang anggota parlemen yang
diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari
golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25
anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga
kursi Golkar meroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang
anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan
34 orang.
3. PEMILU TAHUN 1977
Pemilu tahun
1977 merupakan Pemilu kedua pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu
dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 dengan menggunakan proporsional dengan daftar tertutup. Landasan
Operasional Pemilu adalah Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973, Undang Undang
Nomor 4 tahun 1975 tentang pemilu dan Undang Undang Nomor 5 tahun 1975 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu
DPR di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya
diangkat oleh Presiden Suharto.
Sebelum Pemilu tahun 1977
dilaksanakan, Pemerintah telah mengeluarkan ketetapan tentang peleburan (fusi)
Partai politik yang dituangkan dalam Undang Undang Nomor 3 tahun 1975 tantang
Partai Politik Dan Golkar. Peleburan tersebut mengakibatkan pemilu 1977 hanya
diikuti oleh tiga Organisasi Partai Pemilu (OPP), Yang terdiri dari :
a). Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakanfusi dari Nahdatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti), dan Partai
Syarikat Islam (PSII).
b). Golongan
Karya (Golkar) yang merupakan goongan fungsional yang terdiri dari buruh dan
pegawai, petani, pengusaha nasional, alim – ulama, angkatan 45, dan angkatan
jasa.
c). Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia
(PNI), Ikatan Penduung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Katolik, dan
Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Persyaratan
untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau
pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun
organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana
kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat
yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa
Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan SMA atau sederajat,
serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Voting dilakukan di 26
provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai
daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional
PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau
bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring
dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP
di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di
basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
4. PEMILU TAHUN 1982
Pemilu 1982
merupakan Pemilu ketiga pada masa Pemerintahan Orde Baru. Pemilu 1982
dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 1982. Landasan Operasional Pemilu 1982 adalah
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978, Undang – Undang nomor 2 tahun 1980 tentang
Pemilu dan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1980 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD. Pada Pemilu 1982 Organisasi Peserta Pemilu terdiri dari dua
partai politik dan Golongan Karya. Tujuannya sama
seperti Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja,
komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh
rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden.
Pemilihan Umum ini
diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu :
1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2.
Golongan Karya (Golkar)
3.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai
Pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
Voting dilakukan di 27
daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai
(Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total
suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient
di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah suara sah
mencapai 74.930.875 atau 91,23%.
Golkar beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246
kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk
mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak
mendapat 24 kursi parlemen.
Anggota
DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan
golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan
fungsional lalu bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik
menjadi 267 kursi. Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki
sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.
Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi
secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh.
Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP.
Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti
kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724
suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu
pada ketentuan Pemilu 1971.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1977)
|
Keterangan
|
1
|
Golkar
|
48.334.724
|
64,34
|
242
|
62,11
|
+
2,23
|
2
|
PPP
|
20.871.880
|
27,78
|
94
|
29,29
|
-
1,51
|
3
|
PDI
|
5.919.702
|
7,88
|
24
|
8,60
|
-
0,72
|
Jumlah
|
75.126.306
|
100,00
|
364
|
100,00
|
4.
PEMILU TAHUN 1987
Pemilu
1987 dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia pada
tanggal 23 April 1987 dengan menggunakan sistem Proporsional dengan varian Party-List. Landasan
operasional Pemilu tahun 1987 adalah Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1983, Undang –
Undang Nomor 1 tahun 1985 dan Keputusan Presiden Nomor 70 tahun 1985.
Peserta Pemilu tahun 1987 sama dengan
Pemilu 1982. Sebelum Pemilu 1987 dilaksanakan, pemerintah
melalui Undang – Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar
menetapkan bahwa Pancasila menjadi satu – satunya asas bagi setiap partai
politik dan Golkar, sehingga Partai Persatuan Pembangunan yang semula
berlambang Ka’bah diganti dengan lambang Bintang.
Tujuan
pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen atau
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
seluruh Indonesia untuk Periode 1987 - 1992. Total kursi yang tersedia adalah
500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh
Presiden Suharto.
Total
pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah
mencapai 85.869.816 atau 91,30%.[11] Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%)
sehingga berhak atas 299 kursi parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%)
sehingga berhak atas 61 kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%)
sehingga berhak atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang
diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan
fungsional 25 orang (kursi). Jumlah anggota parlemen yang berjenis
kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu,
jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38
orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan
71-80 tahun 1 orang.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar
PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat
61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai
itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka’bah kepada Bintang dan
terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan
Jawa Tengah.
Sementara
itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang
tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana
diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam
Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan
dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
6. PEMILU TAHUN 1992
Pemilu 1992
merupakan Pemilu kelima pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu 1992 di
laksanakan pada tanggal 9 Juni 1992 dengan menggunakan Sistem Pemilu seperti pemilu sebelumnya yaitu
Proporsional dengan varian Party-List. Landasan operasional Pemilu 1992
adalah Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988, Undang – Undang Nomor 1 tahun 1985 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990.
Pemilihan Umum ini
diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu :
5.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
6.
Golongan Karya (Golkar)
7.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai
Pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara
langsung 400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang
dengan total suara sah adalah 97.789.534. Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar
beroleh 66.599.331 suara (68,10%) sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP
beroleh 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI
beroleh 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen.
Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi)
untuk golongan fungsional.
Komposisi anggota DPR
totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki
adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia
anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun
144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.
7. PEMILU TAHUN 1997
Pemilu tahun
1997 adalah Pemilu keenam pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu 1997
dilakasanakan pada tanggal 29 Mei 1997 dengan menggunakan sistem proposional
berdasarkan stelsel daftar. Landasan operasional pemilu 1997 adalah Ketetapan
MPR Nomor III/MPR/1988, Undang – Undang Nomor 1 tahun 1985 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1995.
Dari Pemilu tahun 1977 – 1997 urutan
perolehan suara tidak berubah, yaitu Golkar selalu tampil sebagai pemenang
disusul PPP dan PDI.
Pemilu 1997 merupakan
Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Tujuan pemilu ini adalah
memilih 424 orang anggota DPR. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289
kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi
parlemen. Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%)
sehingga berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%)
sehingga berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%)
sehingga berhak atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden
Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang (kursi). Total anggota parlemen 500
orang.
Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di
Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab
kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami
penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan
partai. Megawati Sukarnoputri dihabisi secara politik dengan cara pemerintah
mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad. Dari 500 anggota DPR,
yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan adalah 57
orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51
orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2
orang.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan
di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil
meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi
dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP
terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh
utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi
diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga
kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP
berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan,
tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI
juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang
berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di
banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
8. PEMILU TAHUN 1999
Setelah
Presiden Soeharto lengser dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan
Presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan
publik, Pemilu yang baru dipercepat atau segera dilaksanakan, sehingga hasil –
hasil Pemilu 1997 segera diganti.
Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat
Pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2003 menjadi dilaksanakan pada 7
Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Presiden Habibie.
Pada
saat itu alasan yang digunakan dipercepatnya Pemilu adalah untuk memperoleh
pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia Internasional, karena
pemerintahan dan lembaga – lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah
dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan
Sidang Umum MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru.
Hal
ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal
digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi
Presiden B.J. Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya
berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang Presiden yang belum
pernah terjadi sebelumnya.
Pemilu tahun 1999 berpijak pada Ketetapan
MPR XV/MPR/1998, Undang – Undang Nomor 4 tahun 1999 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pemilu 1999 menggunakan sistem
proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan jumlah peserta sebanyak 48
Partai Politik. Pemilu tahun 1999 menempatkan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) meraih suara terbanyak disusul partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat
Nasional (PAN). Pemilu 1999 adalah
pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah
kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem
politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi
seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie
mengajukan tiga rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya
pemilu 1999,
yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang
diketuai Profesor Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan. Setelah
disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan
berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Pemilihan
Umum ini diikuti oleh 48 partai politik:
·
Partai
Indonesia Baru
·
Partai Kristen
Nasional Indonesia
·
Partai
Nasional Indonesia – Supeni
·
Partai Aliansi
Demokrat Indonesia
·
Partai
Kebangkitan Muslim Indonesia
·
Partai Ummat
Islam
·
Partai
Kebangkitan Ummat
·
Partai Masyumi
Baru
·
Partai
Persatuan Pembangunan
·
Partai
Syarikat Islam Indonesia
·
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan
·
Partai Abul
Yatama
·
Partai
Kebangsaan Merdeka
·
Partai
Demokrasi Kasih Bangsa
·
Partai Amanat
Nasional
·
Partai Rakyat
Demokratik
·
Partai
Syarikat Islam Indonesia 1905
·
Partai Katolik
Demokrat
·
Partai Pilihan
Rakyat
·
Partai Rakyat
Indonesia
·
Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi
·
Partai Bulan
Bintang
·
Partai
Solidaritas Pekerja
·
Partai
Keadilan
·
Partai
Nahdlatul Ummat
·
Partai
Nasional Indonesia – Front Marhaenis
·
Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia
·
Partai
Republik
·
Partai Islam
Demokrat
·
Partai
Nasional Indonesia – Massa Marhaen
·
Partai
Musyawarah Rakyat Banyak
·
Partai
Demokrasi Indonesia
·
Partai
Golongan Karya
·
Partai
Persatuan
·
Partai
Kebangkitan Bangsa
·
Partai Uni
Demokrasi Indonesia
·
Partai Buruh
Nasional
·
Partai
Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
·
Partai Daulat
Rakyat
·
Partai Cinta
Damai
·
Partai
Keadilan dan Persatuan
·
Partai
Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
·
Partai
Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
·
Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia
·
Partai
Nasional Demokrat
·
Partai Ummat
Muslimin Indonesia
·
Partai Pekerja
Indonesia
·
Partai
Nasional Bangsa Indonesia
Dalam pemilihan
anggota DPR,
daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) adalah Dati I (provinsi),
pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang merupakan satu daerah
pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati II yang merupakan
satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk tiap daerah pemilihan
ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa Dati
II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya dilakukan oleh KPU.
Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah
141 partai, sementara
yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999
diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya,
Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27
partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999
yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai
KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI,
PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI.[15]
Karena penolakan 27
partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan
kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas Pemilu (selanjutnya
disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah,
ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak
menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu
memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui hasilnya
tanggal 26 Juli 1999. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa.
Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord (penggabungan sisa
suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya beroleh 40 dari
120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord
tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat ini
lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik peserta
pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua opsi. Pertama,
pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord. Kedua,
pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama, dan
43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out.
Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord. Penyelesaian
sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih dilakukan oleh
badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah Konstitusi belum lagi
terbentuk.
Total jumlah suara
partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% suara sah.
Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan
Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan
suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi
berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai
yang punya sisa suara terbesar).
Perbedaan antara
Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih
didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Jika
sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis
terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih
ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana
seseorang dicalonka. Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460
orang berjenis kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin
perempuan. Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan
hanya meliputi 8% dari total.
Walaupun Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara
sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai
itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa,
yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden).
Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk
memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya
dilakukan oleh anggota MPR.
9. PEMILU TAHUN 2004
Pemilihan Umun
Indonesia 2004 adalah Pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih
Presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar – benar berbeda dari
Pemilu sebelumnya. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius
mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah
Indonesia. Pada
Pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden
(sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR yang anggota –
anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada pemilu ini pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu
1999). Pada Pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden), bukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden
secara terpisah. Landasan operasional Pemilu 2004 adalah Undang – Undang RI
Nomor 12 tahun 2003 tantang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang – Undang RI
Nomor 22 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Daerah,
Serta Undang – Undang RI Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden.
Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan
Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti
jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai
politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Pelaksanaan Pemilu tahun 2004
dilakukan dalam tiga tahap, yaitu sebagai berikut :
a).
Pemilu Legislatif
Pemilu Legislatif adalah tahap
pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24
Partai Politik, dan dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pemilu ini
bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan Pemilu Preside) dan
anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR dan DPRD. Pemilu tahap pertama
juga ditujukan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Partai –
Partai Politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen
dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada
Pemilu Presiden putaran pertama. Pemilu Legislatif tahun 2004 menempatkan
kembali Golkar sebagai peraih suara terbanyak disusul PDIP, PPP, Partai
Demokrat, PKB, PAN, dan PKS.
b). Pemilu
Presiden Putaran Pertama
Setelah
Pemilu Legislatif selesai, partai yang
memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya untuk maju ke Pemilu Presiden
Putaran Pertama. Apabila dalam Pemilu ini ternyata ada pasangan calon yang
memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pasangan calon itu langsung
diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Selebihnya, Pemilu Presiden
putaran kedua akan diselenggarakan dengan ua pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak. Pemilu prresiden putaran pertama 2004 ini diikuti oleh 5
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan diselenggarakan pada tanggal 5
Juli 2004.
Ada
lima pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dicalonkan
di Pemilu Presiden putaran pertama, yaitu :
(1). H. Wiranto, SH. Dan Ir.H. Salahuddin
Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya).
(2). Hj.
Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan).
(3). Prof.
Dr.H.M. Amien Rais dan Dr.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai
Amanat Nasional).
(4). DR.H.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh
Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan dan Kesatuan
Indonesia).
(5). Dr.H.
Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan
Pembangunan).
Hasil
Pemilu ini diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dengan hasil ini masih perlu
diadakan Pemilu Presiden putaran kedua karena belum adanya pasangan calon yang
mendapatkan suara paling tidak 50 persen.
c).
Pemilu Presiden Putaran Kedua
Sesuai hasil Pemilu Presiden putaran
pertama di atas, yaitu belum ada pasangan calon yang memperolehan suara lebih
dari 50 persen, maka diadakanlah Pemilu Presiden putaran kedua. Pasangan –
pasangan calon yang mengikuti Pemilu Presiden putaran kedua ini adalah dua
pasangan calon dengan yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu Presiden
putaran pertama 2004 yang lalu. Pemilu ini diadakan pada tanggal 20 September
2004.
Ada dua Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu Presiden putaran pertama
yang dicalonkan di Pemilu Presiden Putaran kedua, yaitu :
(1). Hj.
Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan).
(2). DR.H.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh
Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan dan Kesatuan
Indonesia).
Hasil
Pemilu Presiden putaran kedua telah dihitung dan diumumkan oleh KPU pada
tanggal 4 Oktober 2004 melalui Keputusan KPU Nomor 98/SK/KPU/2004. Pada putaran
kedua ini, pasangan DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf
Kalla berhasil memperoleh suara terbanyak mengalahkan pasangan Hj. Megawati
Soekarno Putri dan KH.Ahmad Hasyim Muzadi.
Dengan
demikian pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan
menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI menggantikan Presiden dan Wakil Presiden
Hj. Megawati Soekarno Putri dan Dr.H. Hamzah Haz. Pelantikannya sendiri
dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2004 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Acara pelantikannya tersebut dihadiri pemimpin – pemimpin negara sahabat, yaitu
:
(1) Perdana
Menteri Australia : John Howard.
(2) Perdana
Menteri Singapura : Lee Hsien
Loong.
(3) Perdana
Menteri Malaysia : Abdullah Ahmad Badawi.
(4) Perdana
Menteri Timor Leste : Mari Alkatiri.
(5) Sultan
Brunei Hassanal Bolkiah.
Dan
serta 5 utusan – utusan negara lainnya. Pada malam hari yang sama, sekitar
pukul 23.50 WIB, Presiden DR.H. Susilo Bambang Yudoyono mengumumkan anggota
kabinet yang baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu.
10. PEMILU TAHUN 2009
Tahun 2009
merupakan tahun Pemilihan Umum ( Pemilu) untuk indonesia. Pada tanggal 9 April
lebih dari 100 juta pemilih telah memberikan suara mereka dalam Pemilihan
legislatif untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD).
Pemilu 2009 dilaksanakan menurut
Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi DPR ditetapkan
sebesar 560 di mana daerah dapil anggota DPR adalah provinsi atau bagian
provinsi. Jumlah kursi di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan
maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004.
Hasil
pemilihan anggota DPR pada tanggal 9 April tidak banyak memberikan kejutan.
Mayoritas masyarakat Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa mereka lebih
memilih partai nasional dibandingkan partai keagamaan. Tiga partai yang
mendapatkan jumlah suara terbanyak bukan merupakan partai keagamaan dan mereka
adalah Partai Demokrat (PD) dengan 20,8 persen perolehan suara, Golkar dengan
14,45 persen perolehan suara, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
dengan 14,03 persen perolehan suara. Empat partai Islam – Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
dan Partai Kebangkitan Nasional (PKB) masing-masing hanya memperoleh 7,88
persen; 6,01 persen; 5,32 persen; dan 4,94 persen suara. Dua partai lainnya
(Gerindra dan Hanura), yang juga bukan merupakan partai agama, memperoleh 4,46
persen dan 3,77 persen suara.
Pemilu tanggal 9 April juga mengurangi jumlah partai yang
duduk di DPR. Hanya sembilan partai yang disebutkan di atas yang
mendapatkan kursi di DPR. Sementara 29 partai lainnya gagal mencapai ketentuan
minimum perolehan suara pemilu sebesar 2,5 persen dan tidak mendapatkan kursi
di DPR. Hal ini diharapkan mengurangi jumlah partai politik yang akan bersaing
untuk pemilu tahun 2014.
Pemilihan
Legislatif.
Menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008, jumlah
kursi untuk anggota DPRD Provinsi minimal tiga puluh lima dan maksimal seratus
kursi. Jumlah ini ditentukan melalui perhitungan jumlah penduduk wilayah
provinsi masing-masing dimana: (1). provinsi berpenduduk minimal 1.000.000
mendapat alokasi 35 kursi; (2). provinsi berpenduduk 1.000.000–3.000.000
mendapat alokasi 45 kursi; (3). provinsi berpenduduk 3.000.000–5.000.000
mendapat alokasi 55 kursi; (4). provinsi berpenduduk 5.000.000–7.000.000
mendapat alokasi 65 kursi; (5). provinsi berpenduduk 7.000.000–9.000.000
mendapat alokasi 75 kursi; (6). provinsi berpenduduk 9.000.000–11.000.000
mendapat alokasi 85 kursi; dan (7). provinsi berpenduduk di atas 11.000.000
mendapat alokasi 100 kursi. Selanjutnya pasal 24 undang-undang ini menyebutkan
bahwa daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten atau kota atau
gabungan kabupaten atau kota di mana jumlah kursi setiap daerah pemilihan
anggota DPRD provinsi sama dengan pemilu 2004.
Daerah
pemilihan anggota DPRD kabupaten atau kota adalah kecamatan atau gabungan
kecamatan yang jumlahnya sama seperti pemilu 2004. Jumlah kursi DPRD kabupaten
atau kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 kursi, yang besaran kursinya
ditentukan oleh: (1). wilayah berpenduduk hingga 100.000 mendapat alokasi 20
kursi; (2). wilayah berpenduduk 100.000–200.000 mendapat alokasi 25 kursi; (3).
wilayah berpenduduk 200.000–300.000 mendapat alokasi 30 kursi; (4). wilayah
berpenduduk 300.000–400.000 mendapat alokasi 35 kursi; (5). wilayah berpenduduk
400.00–500.000 mendapat alokasi 40 kursi; (6). wilayah berpenduduk
500.000–1.000.000 mendapat alokasi 45 kursi; (7). wilayah berpenduduk >
1.000.000 mendapat alokasi 50 kursi.
Pemilihan DPD. Untuk pemilihan anggota DPD ditetapkan 4
kursi bagi setiap provinsi. Provinsi adalah daerah pemilihan untuk anggota DPD.
Dan dengan demikian dengan total provinsi sejumlah 33, jumlah anggota DPD
Indonesia adalah 132 orang. Sistem pemilihan untuk anggota DPD menggunakan
Single Non Transferable Vote (SNTV). Pemilu 2009 masih menggunakan sistem yang
mirip dengan Pemilu 2004. Namun, electoral threshold dinaikkan menjadi 2,5%.
Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke perhitungan kursi caleg hanya
dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi suara di atas 2,5%. Pemilu
ini pun mirip dengan Pemilu 1999 di mana 48 partai ikut berlaga dalam kompetisi
dagang janji ini.
Pemilihan Presiden. Pemilu Presiden tahun
2009 menggunakan Two Round System. Artinya, jika pada putaran pertama tidak
terdapat pasangan yang menang 50 plus 1 atau merata persebaran suara di lebih
dari setengah daerah pemilihan maka konsekuensinya harus diadakan putaran
kedua. Untungnya, dana negara tidak terbuang sia-sia karena pemilu Presiden
2009 ini cuma berlangsung satu putaran saja. Pilpres yang direkapitulasi oleh
KPU pada 22 – 4 Juli 2009 ini diikuti oleh tiga pasang calon yaitu :
(1). Hj. Megawati Soekarno Putri – H. Prabowo
Subianto
(2). DR.H. Susio Bambang Yudhoyono – Prof.DR.
Boediono
(3). Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla – H. Wiranto,
SH
Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
tahun 2009 resmi diumumkan oleh KPU dan menghasilkan data berikut:
(1). Hj. Megawati Soekarno Putri – H. Prabowo
Subianto (32.548.105 atau 26,79%)
(2). DR.H. Susio Bambang Yudhoyono – Prof.DR.
Boediono (73.874.562 atau 60,80%)
(3). Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla – H. Wiranto, SH (15.081.814
atau 12.41%)
Dengan demikian, pasangan
calon Presiden dan calon Wakil Presiden DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Prof.DR. Boediono keluar sebagai pemenang dalam Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden tahun 2009 dan sah untuk mengatur administrasi negara kesatuan
Republik Indonesia Periode 2009 hingga 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar