PSIKOLOGI SASTRA
A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Sastra adalah kegiatan kreatif
yang menjadi alat mengekspresikan dan menyampaikan pesan ataupun
perasaan manusia. Manusia berinteraksi dan bersosialisasi ,banyak sekali cerita
dan inspirasi yang harus diutarakan karena sifat mendasar manusia sendiri
sebagai makhluk sosial. Sehingga munculah karya sastra baik novel, puisi dan
lain-lain yang dijadikan alat mengekspresikan dan mengutarakan pesan tersebut.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan
relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan
penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut
kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun
pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat
dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra.
Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori
Psikoanalisis dan diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi
terkenal Sigmund Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar
penganalisisan, maka pemecahan masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan
dapat dijembatani secara bertahap. Didalam makalah ini akan dikaji secara
terperinci tentang psikologi sastra dan pengaplikasiannya.
2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dijadikan pembahasan
adalah bagaimana konsep dan teori mengenai psikologi sastra ?
3.
Tujuan
Untuk mengetahui konsep dan teori mengenai psikologi sastra.
B.
Teori
1.
Definisi
Psikologi Sastra
Psikologi sastra
adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan kreativitas
kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami
adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang
menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.[1]
Istilah psikologi
sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi
proses kreatif. Yang ketiga studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).[2]
Psikologi sastra tidak
bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis. Secara definitif
menurut Nyoman Kutha Ratna, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra.[3]
Langkah memahami
psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman
teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra.
Kedua, dengan terlebih dahulu menentrukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan
untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menentukan teori dan objek penelitian.[4]
2.
Landasan Pijak Psikologi Sastra
Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi
oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk
dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah
sadar atau subconcious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk
secara sadar. Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai dalam proses
imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh
pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu kedalam
sebuah cipta rasa.
Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh
secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika
menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan
perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup.[5] Sehingga
pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala
merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan
ditelaahn melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak
para tokoh, walaupun imajinatif, dapat menampilkan berbagai problem psikologis.[6]
3.
Hubungan
Psikologis dengan Sastra
Psikonalia adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini
pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud, seorang dokter muda dari Wina. Ia
mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan
mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar.[7]
Psikologi dalam karya sastra mempunyai kaitan yang tercakup dalam
dua aspek yaitu : unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.dalam aspek ekstrinsik
berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor kepengaranngan
dan proses kreativitasnya. Sementara unsur intrinsik membicarakan tentang unsur
intrinsik yang terkandung dalam karya sastra seperti unsur tema, perwatakan dan
plot.
Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama
untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang-orang, bedanya dalam psikologi gejala
tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. Dalam kaitannya
dengan psikologi dalam karya sastra, Carl G. Jung menandaskan bahwa karena
psikologi mempelajari poses-proses kejiwaan manusia, maka psikologi dapat
diikutsertakan dalam studi sastra sebab jiwa manusia merupakan sumber dari
segala ilmu pengetahuan dan kesenian.[8]
Hubungan antara sastra dengan psikologi, menurut Milner ada dua
hal, pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap
manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan
kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terrhadap hasrat-hasrat
rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini
menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh
Freud disebut “Pekerjaan Mimpi”. Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti
penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.[9]
Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan
antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional sastra. Ketiga
memahami kejiwaan pembaca. Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan
psikologi dan sastra sangat erat didalam menganalisis karya sastra. Namun
psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan pada psikologi praktis. Pada
penerapanya sastra atau karya sastra-lah yang menetukan teori, bukan teori yang
menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian dipilih dahulu objek karya sastra
barulah kemudian menentukan kajian teori psikologis praktis yang relevan untuk
menganalisis.[10]
4.
Gambaran
Psikoanalisis Sigmund Freud
Psikoanalisis digagas oleh Sigmund Freud. Ia lahir di Moravia, 6
Mei 1856, dan wafat di London, 23 September 1939. Sebelum membahas substansi
teori Psikoanalisis, ada baiknya dikemukakan asumsi-asumsi dasar Freud dalam
memandang dan mempelajari manusia (hakikat manusia), yang kelak menjadi unsur
yang melandasi teori Psikoanalisisnya.
Dasar asumsi pertamanya adalah materialisme. Freud mengakui adanya
suatu perbedaan antara kondisi-kondisi kejiwaan dan kondisi-kondisi fisiologis,
namun baginya hal itu hanyalah perbedaan dalam bahasa saja,[11]
bukannya dualisme dua substansi (jiwa dan tubuh). Dasar asumsi kedua adalah
sebuah penerapan determinisme (prinsip bahwa setiap kejadian memiliki penyebab
bagi realitas kejiwaan). Segala sesuatu pada prinsipnya dapat dijelaskan oleh
sesuatu yang ada dalam jiwa tersebut.
Dasar asumsi ketiga dan mungkin keistimewaan yang paling berbeda
dari teori Freud adalah kondisi kejiwaan bawah sadar yang muncul dari asumsi
kedua. Istilah “bawah sadar” dipakai untuk menunjukan keadaan yang tidak dapat
menjadi sadar dalam keadaan normal. [12]
Alam bawah sadar dalam perspektif psikoanalisi Freud memberikan
pengaruh besar bagi pola perilaku manusia. Hal ini mengamini apa yang
disampaikan oleh Freud sebagaimana diungkapkan oleh Bertens bahwa “aspek tidak
sadar menguasai sebagian besar ruang akal pikiran manusia”. Oleh karena itu,
unsur tidak sadar memainkan peranan paling besar untuk menggambarkan tingkah
laku manusia.
Sebagaimana penekanan bahwa alam bawah sadar memiliki peran yang
sangat besar terhadap kondisi psikologis dan perilaku manusia, kita bisa lihat
bagaimana Freud mengemukakan teori tentang mimpi.[13] Freud
menjelaskan pengalamannya dia alam mimpi sebagai sesuatu yang berbeda dasi
aktivitas di alamsadar maupun pra sadar. Saat itu, kita mempergunakan lapisan
yang berasal dari wilayah lain dari pikiran kita, yang sangat dalam,
tersembunti, banyak dan sangat kuat. Inilah yang dikatakan alam bawah sadar.[14]
Disamping itu Freud juga mengungkapkan bahwa mimpi adalah sebentuk
reaksi dari pikiran untuk merangsang tindakan selama tidur. Freud menjelaskan
proses-proses mental, atau cara kerja mimpi, yang dengan cara tersebut mimpi
diubah dan dibuat menjadi tidak mengganggu. Proses-proses ini meliputi , Kondensi,
Disaplacement, Representasi, dan Simbolisasi.
a.
Struktur
Kepribadian Manusia[15]
Model pemikiran Freud yang baru tentang jiwa yang merupakan akibat
dari refleksi ini dan refleksi lain yang seluruhnya terdiri atas tiga bagian,
yaitu : ego, id, dan super ego.[16]
1)
Id (das
Es)
Dalam inti kepribadian dan yang sungguh-sungguh tidak sadar adalah
wilayah psikis yang disebut id. Id merupakan sisi kepribadian kita yang gelap
dan tidak dapat ditelusuri. Id berisi energi yang diperolehnya dari naluri,
tetapi tidak teratur dan tidak menghasilkan kemauan kolektif, tetapi hanyalah
untuk mencapai kepuasan atau kebutuhan naluriah yang menjadi pokok perhatian dan
prinsip pencarian kesenangan.[17]
Id mengandung segala sesuatu yang diwarisinya, yaitu yang sudah ada
sejak lahir, dan terbentuk menurut aturan tertentu, karena itu naluri, yang
berasal dari susunan saraf somatis dan yang pertama kali mendapatkan ekspresi
kejiwaannya, mempunyai bentuk yang tidak kita ketahui.[18]
Dalam pandangan atmaja id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa
seniman/sastrawan mampu menciptakan
simbol-simbol tertentu dalam karyanya.[19]
2)
Ego (das
ich)
Ego adalah satu-satunya wilayah jiwa yang berhubungan dengan
realitas. Ego adalah bagian pikiran yang mewakili alam bawah sadar. Ego bekerja
menggunakan proses sekunder, yaitu pertimbangan, akal sehat, dan kekuatan untuk
menunda respons spontan atas rangsangan luar atau terhadap desakan naluriah
dari dalam.[20]
Ego bertugas menghasilkan perubahan yang cukup berguna didunia
eksternal untuk kepentingannya sendiri (melalui aktifitas). Dalam memandang
aktifitas-aktifitas internal, sehubungan dengan ide, ego melakukan tugasnya
dengan melakukan kontrol atas tuntutan naluriah, dengan memutuskan apakah
tuntutan tersebut layak memperoleh
kepuasan, menunda kepuasan tersebut sesuai dengan waktu dan situasi yang
memungkinkan bagi dunia eksternal, atau menindas ketegangan perasaaan tersebut
secara tuntas.[21]
3)
Superego
(das Ueber Ich)
Super ego (das ueber ich) adalah sistem
kepribadiaan yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif
(menyangkut baik buruk).[22] Superego bagian dari jiwa manusia yang dihasilkan dalam menanggapi
pengaruh orang tua, guru, dan figur-figur otoritas lainnya pada masa
kanak-kanak.[23]
Superego berbeda dengan ego dalam satu sisi yang penting. Dia tidak memiliki
kontak dengan dunia luar. Karena itu dia tidak realistik dalam
tuntutan-tuntutannya akan kesempurnaan. [24]
Suprego dalam konteks perilaku manusia menjadi sebuah sistem
pembentuk nilai moral dan etika yang digunakan untuk membentuk kepribadian manusia
yang paripurna. Superego cenderung untuk menentang baik id ataupun ego, dan
membuat dunia menurut gambarannya sendiri. [25]
b.
Kecemasan
: Perspektif Psikoanalisis Freud
Ego berperan penting dalam konteks timbulnya berbagai macam
kecemasan yang melanda manusia. Hanya ego yang dapat mendeteksi atau merasakan
setiap jenis kecemasan, sedangkan id, superego, dan dunia eksternal
masing-masing terlibat hanya disalah satu dari tiga jenis kecemasan.
Ketergantungan ego kepada id menghasilkan kecemasan neurotik, ketergantungan
ego kepada superego menghasilkan kecemasan moralistik, dan ketergantungan ego
kepada dunia eksternal menghasilkan kecemasan realistik.
1)
Kecemasan
Neurotik
Freud membagi kecemasan ini menjadi 3 bagian, yaitu : kecemasan
yang didapat karena adanya faktor dalam dan luar yang menakutkan, kecemasan
yang berkaitan dengan objek tertentu yang bermanifestasi seperti fobia,
kecemasan neurotik yang tidak berhubungan dengan faktor-faktor berbahaya dari
dalam dan dari luar.[26]
2)
Kecemasan
moralistik
Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang
yang superegonya berkembang dengan baik cenderung merasa masalah jika mereka
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma moral dengan mana mereka
dibesarkan.[27]
Secara umum, kecemasan moral memiliki fungsi preventif untuk
mengingatkan manusia agar tidak melakukan hal-hal yang destruktif, karena
kecemasan moral erat kaitannya dengan bangunan sikap dan perilaku individu
dalam konteks sosial kemasyarakatan.[28]
3)
Kecemasan
Realistik
kecemasan realistik merupakan suatu kecemasan yang bersumber dari
adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam dunia nyata. Menurut Freud,
kecemasan realistik bagi manusia terlihat suatu hal yang sangat rasional dan
alami. Ketakutan riil terkait dengan refleks gerakan, dan dianggap sebagai
suatu wujud dari insting perlindungan diri.[29]
Freud menambahkan bahwa kecemasan realistik (kecemasan objektif)
bersifat rasional dan bermanfaat, bagaimanapun juga dalam pikiran yang lebih
dalam akan diakui membutuhkan revisi lebih jauh. Kecemasan realistik merupakan
kecemasan yang timbul karena adanya bahaya nyata yang ditangkap oleh panca
indra dan mengancam jiwa seseorang.[30]
C.
Metode Dalam Penelitian Karya Sastra
Setiap metode memiliki kedudukan dan
kualitas yang sama. Penggunaannya tergantung dari tujuan yang akan dicapai.
Yang berbeda adalah kualitas penelitian yang dihasilkan oleh masing-masing
peneliti.[31]
Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu
dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya adalah :[32]
1.
Metode
Intuitif
Metode inuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya
memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan
pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab
akibat dan seterusnya.[33]
Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap
gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dan
alam semesta.
2.
Metode
Hermeneutika
Hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam
penelitian karya sastra.[34]
Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama,
maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan
mempertimbangkan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan dengan
agama adalah karya sastra.[35] Metode
hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling
optimal.
3.
Metode
Kualitatif [36]
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data
dalam hubungannya dengan konteks kebendaannya. Ciri-ciri terpenting metode
kualitatif adalah : (a) Memberikan
perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu
sebagai studi kultural.[37] (b) Lebih
mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu
berubah. (c) Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian.
(d) Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat
terbuka. (e) Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial
budayanya masing-masing.
4.
Metode
Analisis Isi
Isi dalam metode analisis isi terdiri dalam 2 macam, yaitu isi
laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen
dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai
akibat komunikasi yang terjadi.[38]
5.
Metode
formal
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek
formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode
formal adalah study ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat
teks yang di anggap artistik.[39]
6.
Metode
dialektika
Prinsip-prinsip dialetika hampir sama dengan hermeneutika,
khususnya dalam gerak spiral eksplorasi makna yaitu surat penelusuran unsur ke
dalam totalitas dan sebaliknya.[40]
7.
Metode
deskriptif analisis
Metode penelitian dapat juga di peroleh melalui gabungan 2 metode,
dengan syarat kedua metode tidak bertentangan. Metode ini dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.[41]
D.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat definisi
psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya
sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra
lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk
menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Konsep
Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada
awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni
lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan
conscious (sadar). Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu
bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar
dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian
manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
DAFTAR PUSTAKA
Budiantoro,
Wahyu dan wiwit Mardianto. 2016. Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., Purwokerto :
Kaldera.
Endraswara,
Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka Widyatama.
Minderop,
Albertine. 2011. Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh
Kasus, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ratna, Nyoman
Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta :
Pustaka Pelaja.
Storr, Anthony. 1991. Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
[1] Albertine
Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus,
(Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 54-55.
[2] Wahyu
Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto :
Kaldera, 2016), hlm.47.
[3] Ibid,
hlm.41.
[4] Albertine
Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus,
(Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 59.
[5] Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka
Widyatama, 2004), hlm. 96.
[6] Albertine
Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus,
(Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 55.
[7]
Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka
Widyatama, 2004), hlm. 101.
[8] Wahyu
Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto :
Kaldera, 2016), hlm.46-47.
[9] Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka
Widyatama, 2004), hlm. 101-102.
[10] Nyoman Kutha
Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta :
Pustaka Pelaja, 2008), hlm.343.
[11] Wahyu
Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto :
Kaldera, 2016), hlm.15.
[12] Ibid,
hlm.16.
[13] Ibid,
hlm.17.
[14] Ibid,
hlm.18.
[15] Ibid, hlm.19.
[16] Anthony Storr,
Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, ( Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1991), hlm. 69.
[17] Wahyu
Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto :
Kaldera, 2016), hlm.25.
[18] Anthony Storr,
Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, ( Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1991), hlm. 69.
[19]
Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka
Widyatama, 2004), hlm. 101.
[20] Wahyu
Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto :
Kaldera, 2016), hlm.26.
[21] Anthony Storr,
Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, ( Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1991), hlm. 72.
[22]
Suwardi
Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka
Widyatama, 2004), hlm. 101.
[23] Wahyu
Budiantoro dan wiwit Mardianto, Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian
Terhadap Puisi dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S., ( Purwokerto :
Kaldera, 2016), hlm.28.
[24] Ibid, hlm.29.
[25] Ibid, hlm.30.
[26] Ibid,
hlm.32-33.
[27] Ibid,
hlm.35.
[28] Ibid,
hlm.36.
[29] Ibid, hlm.37.
[31]
Nyoman Kutha
Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta :
Pustaka Pelaja, 2008), hlm.43.
[32]
Ibid, hlm. 42.
[33]
Ibid, hlm. 43.
[34]
Ibid, hlm. 44.
[35]
Ibid, hlm. 45.
[36]
Ibid, hlm. 46.
[37]
Ibid, hlm. 47.
[38]
Ibid, hlm. 48.
[39]
Ibid, hlm. 49.
[40]
Ibid, hlm. 52.
[41]
Ibid, hlm. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar