BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kita sadar bahwa membangun masyarakat akan selalu berhubungan
dengan personalnya. Manusia sejak diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini selalu
membutuhkan adanya sekelompok masyarakat agar dapat memudahkan segala
kebutuhannya dan melanggengkan hidupnya. Manusia tidak bisa lari dari kehidupan
berjamaah dan merupakan keharusan bahwa setiap insan harus menyatu dengan
mereka, saling membantu dan menolong dalam segala aspek kehidupan mereka.
Semua manusia berasal dari sumber yang satu, kemudian berkembang
menjadi berbagai macam warna, ras, budaya dan bangsa. Manusia di dunia diciptakan
beragam dan berbeda-beda. Allah menciptakan manusia yang bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, bukanlah untuk bersaing menonjolkan keunggulanya lalu
menimbulkan pertikaian, akan tetapi agar mereka saling mengenal satu sama lain
lalu bersaudara.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Konsep Ummah ?
2.
Bagaimana
Konsep Imamah ?
3.
Bagaimana
Konsep Masyarakat Muslim ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Konsep Ummah.
2.
Mengetahui
Konsep Imamah.
3.
Mengetahui
Konsep Masyarakat Muslim.
D.
Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan
adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Ummah
Ali Syari’ati berpendapat bahwa Ummah berasal dari kata
bahasa Arab amma yang artinya bermaksud, menghendaki (qasada) dan
berniat keras (‘azima). Ia juga menyatakan bahwa Ummah mempunyai
tiga pemahaman, yaitu: “gerakan”, “tujuan” dan “ketetapan hati yang sadar”.
Karena kata amma pada mulanya mencakup arti “kemajuan” maka tentunya ia
memperlihatkan diri sebagai kata yang terdiri atas empat pemahaman, yaitu:
usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan.
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata Ummah terambil dari
kata bahasa Arab amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu dan
meneladani. Dari akar kata yang sama lahir kata lain, ummu yang berarti
ibu dan imam yang berarti pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan
pandangan dan harapan anggota masyarakat.
.
Definisi tentang Ummah secara luas dan kompleks dikemukakan oleh
Ziauddin Sardar. Ia menyatakan bahwa Ummah adalah persaudaraan Islam,
seluruh masyarakat Muslim, yang dipersatukan oleh persamaan pandangan-dunia (din),
yang didasarkan pada sebuah gagasan universal (tauhid) dan sejumlah
tujuan bersama untuk mencapai keadilan (‘adl) dan ilmu pengetahuan
(‘ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai pengemban amanah (khalifah) Tuhan
di muka bumi. [1]
B.
Konsep Imamah
Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan
yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur
mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu
komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan.
Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan
dengan beragam.
1.
Al Mawardi
memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam
menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan.
2.
At
Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat
universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan.
3.
Ibn
Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai
dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan
akhirat.
Dari beberapa definisi ini dapat
disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam
yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan
dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan
akhirat.
C.
Masyarakat Islam
1.
Definisi Masyarakat Muslim
Masyarakat Islami adalah masyarakat terbuka yang menjungjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa memandang asal
usul suku bangsa dan perbedaan agama.[2] Masyarakat Islam merupakan kelompok manusia dimana hidup terjaring
kebudayaan Islam, yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaannya. Dalam
artian kelompok itu bekerja sama dan hidup bersama berasaskan prinsip Al Qur’an
dan Hadist dalam kehidupan.[3]
Masyarakat Islam menurut Murtadha Muthahhari adalah suatu kelompok manusia
yang terjalin sejak lama dalam suatu tempat dan sistem kemasyarakatannya berpegang
pada kebenaran wahyu Allah. Kebenaran yang dimaksud adalah keadilan, persatuan
atas dasar keimanan, amar ma’ruf nahi munkar dan moralitas.[4] Masyarakat
dalam pandangan Islam merupakan alat atau sarana untuk melaksanakan
ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama. Karena itulah masyarakat
harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi bagi kesatuan dan kerja sama
umat menuju adanya suatu pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan
keadilan.[5]
Bukanlah disebut masyarakat Islam apabila selalu diliputi perasaan
dendam, yang muncul akibat kezaliman sosial dan perlakuan buruk sebagian orang
terhadap sebagian yang lainnya. Cara seperti ini tidak diakui keberadaannya
dalam Islam.[6]
Karakteristik masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang
memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang
diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakat bahu-mambahu untuk memainkan
peranan turut membangun masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang
mencerminkankerukunan umat beragama. Kedamaian dan kerukunan menjadi
karakteristik utama dari masyarakat yang bercorak Islami.
Ada beberapa komponen penting yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat
Islami.
1.
Kawasan,
wilayah, teritorial yang kondusif (al-Bi’ah, al-Qura).
2.
Ummat
(al-Ummah, ahl).
3.
Syariat
(al-Syari’ah, aturan).
4.
Kepemimpinan
(al-Imamah).[7]
2.
Prinsip-Prinsip Masyarakat Muslim
a.
Berketuhanan
Yang Maha Esa, Q.S. Al-Ikhlas (112): 1
“Katakanlah bahwa Allah itu Maha
Esa”.
b.
Umat
yang satu (satu kesatuan umat), Q.S. Al-Baqarah (2): 213
“Manusia itu
adalah umat yang satu”
c.
Menjungjung
tinggi keadilan, Q.S. An-Nisa (4): 135
“Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”.
d.
Menegakan
amar-ma’ruf nahi-munkar, Q.S. Ali Imran (3): 104
“Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan
umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah
berbuat kejahatan”.
e.
Musyawarah,
Q.S. Asyura (42): 38
“Sedang urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka”.
f.
Tolong
menolong dalam kebaikan, Q.S. Al-Maidah (5) : 2
“Dan tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
g.
Toleransi,
Q.S. Al-Kafirun (109): 6
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.
h.
Persamaan
Harkat, Q.S. Hujarat (49): 13
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantarakamu disisi Allah ialah orang yang paling
bertqwadiantara kamu”.
i.
Harmonis
dan damai, Q.S. Al-Baqarah (2): 143
“Dan
demikianlah Allah telah menjadikan kamu umat yang tengah-tengah”.
j.
Berakhlak
mulia, Q.S. Al-Ahzab (33): 21
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.
Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk
agar umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan
kasih sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam menjadikan peran sosialnya
dalam lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya
toleransi, karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan
kepada orang lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam,
justru menjadikan hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan
mendalami ajaran Islam secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak
langsung merupakan jalan ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar.
3.
Tugas Masyarakat Islam dan Nilai – Nilai Kemanusiaan
a.
Tugas
Masyarakat Islam Terhadap Tata Kehidupan Islami
Sesungguhnya tugas masyarakat Islam adalah memasyarakatkan
adab-adab Islami dan mendidik putra-putrinya agar memiliki adab-adab yang baik.[8]
Masyarakat Islam berkewajiban membersihkan tata kehidupan masyarakat dan tradisinya
dari hal-hal asing yang mempengaruhi tabiatnya yang seimbang dan adil, baik
dipengaruhi oleh masa-masa jatuhnya pemikiran dan kemunduran peradaban Islam
maupun akibat serangan musuh. Yakni dengan munculnya peradaban barat modern.[9]
Masyarakat Islam berkewajiban menjaga adab dan tradisi Islam dengan
segenap undang-undang dan peraturannya. Apabila masyarakat senderung bersikap
main-main dalam tata kehidupannya dan menyerahkan kendali kehidupan kepada
orang-orang yang merusak dan berbuat semaunya, sengguh mereka akan segera
terlepas dari risalah masyarakat Islam yang benar dan lurus.[10]
Masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga
adab, tatanan hidupnya yang murni, dan tradisinya yang kukuh, sebagaimana
mereka membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar
tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas, dan menjaga
kemuliaannya agar tidak direndahkan.[11]
b.
Tugas
Masyarakat Islam Terhadap Simbol-Simbol KeIslaman
Peran masyarakat Islam terhadap simbol-simbol keIslaman itu
tergambar dalam beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut,
1)
Pertama,
memperkuat simbol-simbol keIslaman, meluruskan, serta
menyebarkannya dengan berbagai sarana penerangan dan pendidikan. Sebagaimana
Rasulullah memperkuat rasa persaudaraan diantara kaum muslimin itu dengan
berdoa setiap selesai shalat, “Ya Allah, Tuhan kami, Rabb dan pemilik segala
sesuatu, saya bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba-Mu itu bersaudara.
2)
Kedua, mewujudkan simbol-simbol keIslaman dalam realita yang dapat
dirasakan dan mewujudkan suasana ukhuwah yang kondusif.[12]
Perasaan kasih sayang dan cinta diantara kerabat harus diwujudkan dalam bentuk
silaturahmi, saling mengunjungi, dan lan sebagainya.[13]
3)
Ketiga,
hendaknya masyarakat Islam tidak memberi kesempatan terhadap segala
sikap yang bertentangan dengan Islam, yang muncul dan mempengaruhi masyarakat.[14]
4)
Keempat,
hendaknya masyarakat Islam
menutup jendela yang berembus darinya angin permusuhan dan perpecahan , serta
berupaya memberantas berbagai faktor perusak nilai-nilai persaudaraan Islam dan
faktor peruntuhan solidaritas Islam.[15]
Nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai yang tegak diatas
penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kemuliaan manusia, baik berupa
kebebasan dan kemerdekaannya, nama baik dan eksistensinya, kehormatan
hak-haknya, juga pemeliharaan darah, harta, serta kerabat dan keturunannya,
dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat.[16]
Bagian dari nilai nilai kemanusiaan meliputi, yaitu ilmu, amal,
kebebasan, musyawarah, keadilan dan persaudaraan.
1.
Ilmu
Imu merupakan salah satu nilai luhur yang dibawa Islam dan tegak di
atas kehidupan manusia, baik secara moril maupun materiil, duniawi maupun
ukhrawi.Islam menjadikannya jalan menuju keimanan yang memotivasi untuk
beramal, sekaigus sebagai karunia yang membuat manusia diberi amanah sebagai
khalifah di muka bumi ini. Sesungguhnya Islam adalah agama ilmu dan Al-Qur’an
adalah kitab Ilmu.[17]
2.
Amal
Amal yang dituntut disini adalah mencurahkan segala upaya positif
untuk merealisasikan tujuan-tujuan syariat diatas bumi. Tujuan-tujuan itu
sebagaimana disyaratkan Al-Qur’an, dikumpulkan dalam tiga hal sebagaimana
disebutkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Adz-Dzari’ah ilaMakarin
Asy-Syariah, sebagai berikut :
Pertama, Ibadah
Allah Swt,
berfirman,
Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Adz-Azariat : 56)
Kedua, Khilafah
Allah Swt,
berfirman,
Sesungguhnya
Aku akan menciptakan di bumi seorang khalifah....(Al-Baqoroh : 30)
Ketiga, Pemakmuran (‘imarah)
Allah Swt,
berfirman,
......Dia-lah
(Allah) yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurannya....(Hud : 61) [18]
Amal yang diinginkan Islam adalah amal yang Saleh. Kata “saleh”
dalam Al-Qur’an memiliki makna yang luas, meliputi segala sesuatu yang membawa
maslahat kepada agama dan dunia serta individu dan masyarakat. Ia juga meliputi
ibadah dan muamalah atau aktivitas hidup dunia dan akhirat.[19]
3.
Kebebasan
Kebebasan disini meliputi kebebasan beragama, berpikir, berpolitik,
bertempat tinggal, dan segala bentuk kebebasan dalam kebenaran.[20]
Kemerdekaan atau kebebasan memiliki arti luas salah satunya adalah membebaskan
manusia dari segala cengkraman kekuatan batil, dan penindasan penguasa zalim
atau dari kekuatan diklator.[21]
4.
Musyawarah
Bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri dalam pendapat dan dalam
persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan pemikiran dengan orang lain.
Hal ini dikarenakan pendapat dua orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap
lebih mendekati kebenaran daripada pendapat seorang saja.[22] Islam
telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan Individu, keluarga,
masyarakat, dan bernegara.[23]
5.
Keadilan
Islam memerintahkan seorang muslim agar berlaku adil terhadap diri
sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara haknya, hak tuhannya, dan hak orang
lain. Dan Islam juga memerintahkan bersikap adil kepada keluarga, dan terhadap
semua makhluk ciptaan Allah.[24]
6.
Persaudaraan
Hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai, dan
saling menolong.[25]
Al-Qur’an juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara
orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu
sama lain diantara keduanya. Allah Swt, berfirman : Sesungguhnya orang-orang
mukmin itu bersaudara....... (Al-Hujarat : 10)[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat positif dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap
anggota masyarakat bahumambahu untuk memainkan peranan turut membangun
masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang mencerminkan kerukunan umat
beragama. Di samping dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam, baik
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama.
Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk
agar umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan
kasih sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam peran sosialnya dalam
lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi,
karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang
lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru
menjadikan hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami
ajaran Islam secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak langsung
merupakan jalan ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari,
Endang Syaefudin. 1986. Wawasan Islam, Bandung : Mizan.
Djatnika,
Rachmat. 1996. Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Pustaka
Panjimas.
Gazalba,
Sidi. 1976. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta:
Bulan Bintang : 1976.
Kaelany
HD,M.A. 2000. Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Qardhawi,
Yusuf. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak, Solo
: Era Intermedia.
[2] Endang
Syaefudin Anshari, Wawasan Islam, (Bandung : Mizan, 1986), hal. 72.
[3] Drs. Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta:
Bulan Bintang 1976), hlm.126.
[5] Drs. Kaelany
HD,M.A., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2000), hlm.159-160.
[6] Dr. Yusuf
Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak, (Solo
: Era Intermedia, 2003), hlm.139.
[7]
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1996), hal. 253.
[8] Dr. Yusuf
Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak,
(Solo : Era Intermedia, 2003), hlm.167.
[9] Ibid.,hlm.168.
[10] Ibid.,hlm.170-171.
[11] Ibid.,hlm.172
[12] Ibid.,hlm.133.
[13] Ibid.,hlm.134.
[14] Ibid.,hlm.135.
[15] Ibid.,hlm.137-138.
[16] Ibid.,hlm.174.
[17] Ibid.,hlm.175.
[18] Ibid.,hlm.182.
[19] Ibid.,hlm.183.
[20] Ibid.,hlm.187.
[21] Diklator
adalah seorang pemimpin negara yang memerintah secara otoriter/tirani dan
menindas rakyatnya.
[22] Dr. Yusuf
Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak,
(Solo : Era Intermedia, 2003), hlm.195.
[23] Ibid.,hlm.196.
[24] Ibid.,hlm.214.
[25] Ibid.,hlm.221.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar