BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
pemikiran awam sering ketika mendengar istilah sesat pikir dipahami sesuatu
yang mengerikan karena segera dijumbuhkan dengan kekacauan. Namun dalam
pandangan logika sesat pikir itu bisa terjadi karena dalam penarikan kesimpulan
terdapat kaidah-kaidah logis yang dilanggar, hal itu kemudian akan membawa
kepada suatu kesimpulan yang sesat. Sesat pikir (fallacy) dalam pandangan
logika berarti sebuah kesalahan logika.
Begitu
banyak manusia yang terjebak dalam lumpur fallacy, sehingga diperlukan sebuah
aturan baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikir yang
berakibat buruk terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tapi tidak
mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bisa
mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar.
B. Rumusan Masalah
Dalam
paparan diatas dapat dijadikan sumber pembahasan yaitu bagaimana
kesesata-kesesatan berpikir dalam ilmu logika?
C.
Tujuan
Untuk
mengetahui dan memahami kesesatan berpikir dalam ilmu logika.
D.
Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan
adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Sesat Berfikir
Sesat
pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis,
salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berfikir yang salah yang disebabkan
oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.[1]
Kesesatan
merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai fallacia/fallacy, di mana
beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi
logis. Kesesatan terjadi karena dua hal:
1.
Ketidaktepatan
bahasa: pemilihan terminology yang salah
2.
Ketidaktepatan
relevansi: pemilihan premis yang tidak tepat yaitu membuat premis dari
proposisi yang salah. Proses kesimpulan premis yang caranya tidak tepat,
premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang dicari.
Mengikuti
John Locke, mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada akhirnya
termanifestasi dalam perilaku yang juga sesat.
1.
Pertama,
kesesatan yang terjadi karena subjek sesungguhnya jarang berpikir sendiri dan
berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang
lain.
2.
Kedua,
kesesatan di mana subjek bertindak seakan sangat menghargai rasio, tetapi
kenyataannya tidak menggunakan rasionya dengan baik.
3.
Ketiga,
adalah kesesatan yang terjadi akibat subjek tidak terbuka untuk melihat
persoalan secara komprehensif, terpaku hanya pada pendapat atau pendekatan
tertentu orang tertentu, atau sumber tertentu.[2]
Menurut
Lorens Bagus, sesat pikir mengakomodir enam hal yaitu : Pertama, menyatakan
bahwa suatu gagasan adalah sesat yang berarti fakta yang diacu oleh gagasan itu
tidak ada. Kedua, tidak sesuai dengan kebenaran. Ketiga, tidak mempunyai
evidensi (fakta) yang baik. Keempat, berarti salah. Kelima, basis
dari dua perangkat nilai kebenaran yang menyangkal nilai kebenaran yang
ditentukan bagi suatu kenyataan. Dan keenam, lain dari kebenaran. Apabila
melihat pengertian-pengertian sesat berpikir versi Lorens Bagus maka sesat
berpikir terjadi dengan dua hal yaitu ketika tidak terjadi kesesuaian antara
pernyataan dengan kenyataan serta kedidakkonsistenan pada penggunaan alur-alur
formal dalam logika.[3]
B. Klasifikasi Pelaku Fallacy
Dalam
pembahasan terkait kesesatan berpikir (fallacy), Ada dua pelaku, yaitu Sofisme dan Paralogisme.
1.
Sofisme
Sofisme
adalah sesat pikir yang sengaja dilakukan untuk menyesatkan orang lain, padahal
si pemuka pendapat sendiri tidak sesat, disebut demikian karena yang
pertama-tama mempraktekan adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang
mahir berpidato pada zaman Yunoni kuno. Mereka selalu berusaha mempengaruhi
khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang disampaikan
melalui pidato-pidato agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator
ulung.
2.
Paralogisme
Paralogisme
adalah pelaku sesat pikir yang tidak menyadari akan sesat pikir yang
dilakukannya. Fallacy sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi
amoral, seperti mengubah opini public, memutar balik fakta, pembodohan publik,
provokasi sektarian, pembunuhan, karakter, memech belah, menghindari jerat
hukum, dan meraih kekuasaan, janji palsu dan meraih kekuasaan. Begitu banyak
manusia yang terjebak dalam lumpur fallacy, sehingga diperlukan sebuah aturan
baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikiran yang
berakibat buruk terhadap pandangan duniannya. Seorang yang berfikir tapi tidak
mengikuti aturannya, terlihat seperti berfikr benar, dan bahkan bisa
mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berfikir yang benar karena
itu, al Quran seringkali mencela bahwa, “sebagian besar manusia tidak berakal,
tidak berfikir dan sejenisnya”[4]
C. Sumber –Sumber Kesesatan
Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan
karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak
arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik atau bahasa.
Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari
ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukan langsung adanya kesesatan
semantic dengan mengungkapakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya
arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat , apakah universal atau
particular. Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau
objektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti
prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan
klasifikasi atau karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang-tindih
maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena
suatu hipotesis bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta. [5]
D.
Klasifikasi Kekeliruan Berfikir
1.
Kekeliruan
Formal
a.
Kekeliruan
Karena Menggunakan Empat Term.
Kekeliruan
berpikir karena menggunakan empat term dalam silogisme. Ini terjadi karena term
penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharusakan hanya terdiri
tiga term, seperti:
Semua perbuatan
mengganggu orang lain dianca, dengan hukuman. Menjual barang di bawah harga
tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual haraga di
bawah tetangganya diancam dengan hukuman.[6]
b.
Kekeliruan
Karena Kedua Term Penegak Tidak Mencakup.
Kekeliruan
berpikir karena tidak satupun dari kedua term penengah mencakup, seperti:
Semua anggota
PBB adalah Negara merdeka. Negara itu tentu menjadi anggota PBB karena memang
Negara merdeka.
c.
Kekeliruan
Karena Proses Tidak Benar
Kekeliruan
berpikir karena term premis tidak mencakup (undis tributed) tetapi dalam
konklusi mencakup, seperti:
Kura-kura adalah
binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena itu dia bukan binatang melata.
d.
Kekeliruan
Karena Menyimpulkan Dari Dua Premis Yang Negative
Kekeliruan
berpikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi
demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konsklusi.[7]
Tidak satupun
barang yang murah baik itu murah dan semua barang di toko itu tidak murah, jadi
semua brang di toko itu baik.
e.
Kekeliruan
Karena Mengakui Akibat.
Kekeliruan
berpikir dalam silogisme hipotetika karena menggunakan akibat kemudian
membenarkan pula sebabnya, seperti:
Bila kita bisa
berkendaraan seperti cahaya, maka kita bsa mendarat di bulan. Kita telah dapat
mendarat di bulan brarti kita telah dapat berkendaraan seperti cahaya.
f.
Kekeliruan
Karena Menolak Sebab.
Kekeliruan
berpikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian
disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti:
Bila permintaan
bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah jadi harga tidak
naik.[8]
g.
Kekeliruan
Dalam Bentuk Disyungtif.
Kekeliruan
berpikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternatife
pertama, kemudian membenarkan alternatife lain. Padahal menurut patokan,
pengingkaran alternatife pertama bisa juga terlaksananya alterantif yang lain,
seperti:
Dia menulis
cerita atau pergi ke Surabaya. Di tidak pergi ke Surabaya, jadi ia tentu
menulis cerita.
h.
Kekeliruan
Karena Tidak Konsisten.
Kekeliruan
berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang di
akui, seperti:
Anggaran Dasar
organisasi kita sudah kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit.
2.
Kekeliruan
Informal
a.
Kekeliruan
Karena Membuat Generalisasi Yang Terburu-Buru.
Yaitu mengambil
kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan
yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti[9] :
Dia orang Islam
mengapa membunuh. Kalau begitu orang islam memang jahat.
b.
Kekeliruan
Karena Memaksakan Praduga
Kekeliruan
berfikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan, seperti :
Seorang pegawai
datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa
istrinyalah yang melukainya dalam suatu percecokan karena diketahuinya selama
ini orang itu kurang harmonis hubungannya dengan istrinya, padahal sebenarnya
karena goresan besi pagar.
c.
Kekeliruan
Karena Mengundang Permasalahan
Kekeliruan
berpikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan
dahulu kebenarannya, seperti[10] :
Allah itu mesti
ada karena ada bumi. (di sini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada dengan
dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi ciptaan Allah).
d.
Kekeliruan
Karena Menggunakan Argumen Yang Berputar.
Kekeliruan
berpikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut
dijadikan sebagai premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada
argumen berikutnya, seperti :
Ekonomi negara
X tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai yang
korupsi ? jawabnya karena ekonomi negara kurang baik.
e.
Kekeliruan
Karena Berganti Dasar
Mengambil
kesimpulan melompat dari dasar-dasar semula, seperti :
pantas ia
cantik karena pendidikannya tinggi.
f.
Kekeliruan
Karena Mendasarkan Pada Otoritas
Kekeliruan
berfikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang
tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut, seperti
Bangunan ini
sungguh kokoh, sebab dokter Haris mengatakan demikian. (dokter Haris adalah
ahli Kesehatan, bukan insinyur bangunan)
g.
Kekeliruan
Karena Mendasarkan Diri Pada kekuasaan.
Seperti menolak
pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan :
Kau masih juga
membantah pendapatku. Kau baru saja satu tahun duduk di bangku perguruan
tinggi, aku sudah lima tahun.[11]
h.
Kekeliruan
karena Menyerang Pribadi
Kekeliruan
berpikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang
pribadinya, seperti :
Dia adalah
seorang yang brutal, jangan dengarkan pendapatnya.
i.
Kekeliruan
Karena Kurang Tahu.
Kekeliruan
berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya,
dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar, seperti :
Sudah beberapa
kali kau kemukakan alasanmu tetapi tidak terbukti gagasanku salah. Inilah
buktinya bahwa pendapatku benar.[12]
j.
Kekeliruan
Karena Pertanyaan Yang Ruwet
Kekeliruan
berfikirkarena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti :
Jam berapa kau
pulang semalam ? (yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak
memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi)
k.
Kekeliruan
Karena Alasan Terlalu Sederhana
Karena
berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak terlalu cukup bukti.
Kendaraan
buatan Honda adalah terbaik, karena paling banyak peminatnya.[13]
l.
Kekeliruan
Karena Menetapkan Sifat
Menetapkan
sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada
selamanya, seperti :
Daging yang
kita makan ini adalah dibeli kemarin.
Daging yang
dibeli kemarin adalah daging mentah, jadi hari ini kita makan daging mentah.
m.
Kekeliruan
Karena Argumen Yang Tidak Relevan.
Mengajukan
argumen yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang menjadi pokok
pembicaraan, seperti :
Pisau silet itu
berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris oleh pisau
silet dan tidak pernah oleh peluru.[14]
n.
Kekeliruan
Karena Salah Mengambil Analogi.
Kekeliruan berpikir
karena menganalogikan dua permasalahan yang keligatannya mirip, tetapi
sebenarnya berbeda secara mendasar.
Seniman patung
memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni, maka Tuhan pun memerlukan
bahan dalam menciptakan alam semesta.
o.
Kekeliruan
Karena Mengundang Belas Kasihan.
Kekeliruan
berpikir karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk
mendapatkan konklusi yang diharapkan.[15]
3.
Kekeliruan
Karena Penggunaan Bahasa
Kekeliruan karena bahasa terjadi karena beberapa hal, biasanya
kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda dan arti yang sama pun
bisa ada pada kata-kata yang berbeda. Berikut ini beberapa kesesatan karena
bahasa :
a.
Kesesatan
Karena Aksen atau Tekanan.
Perbedaan arti
dan kessatan penalaran terjadi dalam ucapan tiap-tiap suku kata yang diberikan
tekanan, karena perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti.[16] Contoh:
Ibi, Ayah pergi
(yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah pembicara sedang pergi. Seharusnya
tidak ada penekanan pada ibu, sebab maknanya menjadi pemberitahuan ibu bahwa
ayah baru saja pergi).[17]
b.
Kesesatan
Karena Term Ekuivok.
Term ekuivok
(term yang mempunyai lebih dari satu arti) adalah apabila dalam satu penalaran
terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah kesesatan
penalaran. Contoh:
Malang itu kota
indah. Orang miskin itu nasibnya malang. Jadi orang miskin itu nasibnya indah.
c.
Kesesatan
Karena Metafora (kiasan).
Kesesatan dalam
kiasan terjadi karena dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan
arti sebenarnya atau arti sebaliknya.[18]
d.
Kesesatan
Karena Amfiboli.
Kesesatan
amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu demikian rupa, sehingga
artinya menjadi bercabang. Contoh:
Mahasiswa yang
duduk diatas meja yang paling depan. Apa yang paling depan, mahasiswa atau
mejanya ?[19]
e.
Kekeliruan
karena Komposisi
Kekeliruan
berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati
keseluruhan, seperti :
Setiap kapal
perang telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut negara itu siap tempur.
f.
Kekeliruan
dalam pembagian
Keseluruhan
berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian
juga setiap bagiannya, seperti :
Kompleks ini
dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas.[20]
E.
Strategi Menghindari Sesat Berfikir
Sesat pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran
kita. Seperti rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai peringatan bagi para
pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan. Maka rambu-rambu sesat
pikir ditawarkan kepada kita agar jeli dan cermat terhadap berbagai kesalahan
dalam menalar, juga supaya kita mampu mengidentifisi dan menganalisis kesalahan
tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari penalaran palsu.
Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan relevansi, misalnya
kita harus tetap bersikap kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini,
penelitian terhadap peranan bahasa dan penggunaanya merupakan hal yang sangat
menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan kenekaragaman pengguanaan bahasa
dapat kita manfaatkan untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari sebuah
argumen.
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi sangat
“halus” banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata
yang memilii rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya
sesat pikir tersebut, kita harus dapat mengupayakan agar setiap kata atau
kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat
mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan
Latin yang berarti “sesat pikir”. Fallacy didefinisikan secara akademis
sebagai kerancuan pikir yang di akibatkan oleh ketidak disiplinan pelaku nalar
dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam
pembahasan terkait kesesatan berpikir (fallacy), Ada dua pelaku, yaitu
Sofisme dan Paralogisme. secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam dua
kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
Kesesatan merupakan
kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir dikarenakan penyalah gunaan
bahasa atau penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika, di
kenal juga sebagai fallacia/falaccy, di mana beberapa jenis kesesatan penalaran
dipelajari sebagai lawan dari
argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: ketidak tepatan bahasa:
pemilihan terminology yang salah, dan ketidaktepatan relevansi.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad.
2010. Filsafat Islam : Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Mundiri. 2014. Logika, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Suharto, Heru.
1994. Kesesatan-kesesatan Dalam Berfikir,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sumaryono, E. 1999.
Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta : Kanisius.
Surajiyo dkk.
2006. Dasar-Dasar Logika, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wagiman.2009. Pengantar
Studi Logika : Mempelajari, Memahami dan Mempraktekannya, Yogyakarta :
Pustaka Book Publisher.
[1] E. Sumaryono, Dasar-Dasar
Logika, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm.9.
[2] Mohammad adib, Filsafat Islam : Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 178-179
[3] Wagiman, Pengantar
Studi Logika : Mempelajari, Memahami dan Mempraktekannya, (Yogyakarta :
Pustaka Book Publisher, 2009), hlm.145.
[4] Heru Suharto, Kesesatan-kesesatan Dalam Berfikir, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 89.
[5] Surajiyo dkk.,
Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006), hlm. 107
[6] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 211.
[7] Ibid.,
hlm. 212.
[8] Ibid., hlm.
213.
[9] Ibid., hlm.
214.
[10] Ibid., hlm.
215.
[11] Ibid.,
hlm. 216-217.
[12] Ibid.,
hlm. 218.
[13] Ibid., hlm.
219.
[14] Ibid., hlm.
220.
[15] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 221.
[16] Surajiyo dkk, Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006), hlm. 108.
[17] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 223.
[18] Surajiyo dkk, Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006), hlm. 108.
[19] Ibid.,
hlm. 109.
[20] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 222.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar