PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit
dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam
cabang-cabang fikih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah
atau juga disebut al-dhabith oleh sebagian ulama. Sebagai landasan
aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran
islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid
Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli ushul
maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah
ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah
adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari teks
dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang digeneralisasi dengan
sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan berbagai kasus
fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah diterapkan kepada
masyarakat luas.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah, Muamalah
atau Transaksi dan dalam menentukan Skala Prioritas ?
C.
Tujuan
Untuk Mengetahu Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah,
Muamalah atau Transaksi dan dalam menentukan Skala Prioritas.
D.
Metodologi
Dalam penyusunan makalah ini metode penelitian yang dilakukan
adalah secara kepustakaan yaitu dengan pengambilan data dari berbagai sumber.
PEMBAHASAN
A.
Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Ibadah Mahdhah
Yang dimaksud ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan
Tuhannya, yaitu hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah
SWT yang bersifat ritual (peribadatan), seperti : shalat, zakat, puasa, dan
haji. Kaidah ini mimiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya bahwa Allah
tidak bisa disembah kecuali dengan cara yang telah ditentukan. Banyak kaidah
yang berhubungan dengan bidang fikih mahdhah, diantaranya :
1.
الأَ
صْلُ فِي العِبَادَةِ التَوْقِيْف وَالإِتْبَاع
“Hukum asal dalam ibadah
adalah menunggu dan mengikuti tuntutan syariah”[1]
Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah,
harus ada dalil dan mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan
kaidah :
اَلأَصْلُ فِي العِبَادَةِ
البُطْلآ نُ حَتَّى يَقُو مَ الدَّ لِيْلُ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah
mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”
Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita
melaksanakan ibadah mahdah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur’an
maupun Hadis Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila tanpa
dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.[2]
2.
اَلْإِ يْثَارُفِى
الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِ هَامَحْبُوبٌ
“Mengutamakan orang lain pada
urusan ibadah adalah makruh dan pada urusan selain ibadah adalah disenangi.”
Maksud dari kaidah ini bahwa dalam urusan ubudiyah atau
pendekatan diri kepada Allah, apabila seseorang mengutamakan orang lain dari dirinya,
maka dipandang makruh. Seperti mengutamakan orang lain untuk berdiri pada shaf
awal diwaktu shalat jama’ah, mengutamakan atau mendahulukan orang lain
dalam bershadaqoh kepada fakir miskin, mengutamakan orang lain dalam menutup ‘aurat
pada hal dirinya masih belum menutup ‘aurat dan sebagainya. Sebalinya, dalam
urusan selain ibadah yaitu urusan mu’amalat atau dalam urusan keduniaan
pada umumnya mengutamakan orang lain dari padanya adalah dipandang sunnah,
seperti mengutamakan orang lain dalam menerima/mengambil bagian dari harta
zakat, mengutamakan orang lain dalam dunia perniagaan dengan harapan agar orang
itu mendapat keuntungan dan sebagainya.[3]
3.
تَقْدِيْمُ
العِبَادَةِ قَبْلَ وُجُودِ سَبَبِهَا لاَيَصِحُّ
“Tidak sah mendahulukan
ibadah sebelum ada sebabnya.”
Contoh : tidak sah shalat, haji, puasa ramadan sebelum datang
waktunya. Kekecualian apabila cara-cara lain yang ditentukan karena ada
kesulitan atau keadaan darurat, seperti jama taqdim, misalnya melakukan
shalat ashar pada waktu dhuhur.[4]
4.
لاَ
قِيَاسَ فِي العِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ المعْنَى
“Tidak bisa digunakan
analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya.”
Kaidah diatas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya
untuk kasus yang bisa dipahami maknanya atau ‘illat hukumnya. Untuk kasus
yang tidak bisa dipahami ‘illat hukumnya tidak bisa dianalogikan.[5] Contoh :
tentang zakat tanaman yang bersifat ta’aqquli, artinya bisa dipahami
maksudnya. Meskipun kemudian dalam memahaminya, ulama berbeda pendapat. Menurut
mazhab Syafi’i zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah yang menjadi makanan
pokok dalam negeri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, yang wajib dikeluarkan
adalah tanaman yang bisa dikembangkan dan menghasilkan.[6]
5.
كُلُّ
مَا وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْئٌ فَقَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ
“Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia
lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib mengqadhanya.”
Ulama Syafi’iyah menggunakan kaidah
ini secara ketat dalam setiap kewajiban, kecuali wanita yang meninggalkan
shalat karena haid. Ulama lain memnerikan banyak kekecualian seperti
tidak ada qadha untuk shalat wajib, sebab shalat harus dilakuka sesuai dengan
kemampuan yang ada. Tetapi untuk kewajiban puasa ramadhan ulama sepakat ada
qadha.[7]
6.
العِبَادَةُ
الوَارِدَةُ عَلَى وُجُوهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوزُ فِعْلَهَا عَلَى جَمِيْعِ تِلْكَ
الوُجُوهِ الوَارِدَةِ فِيهَا
“Ibadah yang
kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya
dengan cara keseluruhan bentuk-bentuk tersebut.”
Maksudnya
adalah dalam beribadah sering ditemukan tidak hanya satu cara. Dalam hal ini,
boleh memilih salah satu cara yang didawamkannya (konsistem melakukannya).
Boleh pula dalam satu waktu dengan cara tertentu dan pada waktu lain dengan
cara yang lain. Boleh pula menggabungkan cara tersebut karena keseluruhannya
mencontoh dari hadis nabi. Contoh : seperti bacaan doa takbirat al-ihram,
ada bermacam-macam doa yang diwiridkan, sehingga boleh memilihnya. Shalat ba’diyah
jumat boleh dua rakaat atau empat rakaat.[8]
B.
Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Muamalah
Dalam kehidupan ekonomi/muamalah, pemakaian qawa’id fiqhiyyah
menjadi sesuatu yang sangat penting. Seiring perkembangan zaman, keperluan
adanya qaidah yang lebih banyak tampaknya tidak dapat dihindarkan.[9] Banyak
sekali usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Sudah tentu
dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin
meningkat, melahirkan model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya
dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang disatu sisi tetap Islami dan mampu
menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan
menggunakan kaidah-kaidah ini.[10]
1.
الأَصْلُ
فِى المُعَا مَلَةِ الإِبَاحَةُ إلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَ لِيْلٌ عَلَى تَحْرِ يْمِهَا
“Hukum asal dalam semua
bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud
kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah atau
musyarakah), perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas diharamkan
seperti mengakibatkan kemudaratan seperti tipuan, judi dan riba.[11]
2.
اَلْاَصْلُ
فِى الْعَقْدِرِضَى الْمُتَعَا قِدَيْنِ وَنَتِيْجَتُهُ مَاإِلْتِزَمَاهُ
بِالتَّعَاقُدِ
“Hukum pokok pada akad
adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan hasilnya apa yang
salingditentukan dalam akad tersebut.”
Maksud
kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas kebebasan dan
kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu pihak, bila itu
terjadi maka transaksinya tidak sah.[12]
Contohnya pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena
barangnya terdapat cacat.
3.
البَاطِلُ
لاَيَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang
batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad
yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu
pihak.[13]
Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain
yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak
lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh DSN, akad baru sah
apabila lembaga keuangan lain mau menggunakan akad yang diberlakukan pada
perbankan syariah, yaitu akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
4.
الإِجَازَةُ
اللاَحِقَةُ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang
kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”
Pada
dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain
tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang
bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian pemilik harta
mengizinkannya, maka tindakan hukum menjadi sah, dan orang tadi dianggap
sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
5.
الأَجْرُ
وَالضَّمَانُ لاَيَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan
tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang
disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah ini adalah mengganti
dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada dipasaran atau membayar
seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada dipasaran. Contoh : seorang
menyewa kendaraan penumpanguntuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa
menggunakannya untuk membawa barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan
tersebut rusak.[14]
Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar
sewaannya.
6.
الخَرَاجُ
بِالضَّمَانُ
“Manfaat suatu benda
merupakan faktor pengganti kerugian”
Arti
asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu.
Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi. Contohnya : seekor binatang
dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh
meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi
sudah hak pembeli.
7.
إِذَا
بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila susuatu akad
batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya.”
Contohnya,
penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan
hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus
mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
8.
العَقْدُ
عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu
benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”
Objek
suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang objeknya,
objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dan akad
yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan
syaratnya sama.
9.
إلاَّبِالقَبْضِ لاَيَتِمُّ التَّبَرُّعُ
“Tidak sempurna akad tabarru’
kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru’
adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau
hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.[15]
10.
الجَوَازُ
الشَّرْعِى ينَافِى الضَّمَانَ
“Sesuatu hal yang
dibolehkan oleh syara tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.
Maksud
kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri, kemudian binatang tetangganya jatuh
ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti
rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh
syariah.[16]
11.
كُلُّ
شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَومِن مُقْتَضَاهُ فَهُوَجَائِزٌ
“Setiap syarat untuk
kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebutbdibolehkan.”
Contohnya
seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai
tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerimaan gadai berhak untuk menjualna.
Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.[17]
C.
Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Menentukan Skala Prioritas
Dalam
kehidupan ini, sering kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang tidak mudah.
Pilihan itu dihadapkan kepada kita, baik dalam masalah yang bersifat
individual, kehidupan keluarga, maupun masyarakat. Pilihan mana yang diambil
mengacu kepada nilai-nilai yang dianut oleh yang bersangkutan tentang keyakinan
akan kebenaran, kebaikan, kemaslahatan, dan hati nuraninya, yang tersimpul
dalam kearifannya menentukan pilihannya. Dalam hal ini, pilihan tersebut
mengedepankan skala prioritas.[18] Dibawah
ini beberapa skala prioritas dalam memilih alternatif yang digali dari ilmu
fikih yang disimpulkan oleh para ulama dalam kaidah fikih :
1.
دَرْءُ
المفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan
didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”
Kaidah
ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama kita dihadapkan kepada
pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan
adalah menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti kita
juga meraih kemlasahatan.[19]
2.
المَصْلَحَةُ
العَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى المصَلَحَةِ الخَاصَةِ
“Kemlasahatan
yang umum lebih didahulukan daripada kemlasahatan yang khusus”
Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila berebeturan antara
kemaslahatan umum dengan kemaslahatan yang khusus, maka kemaslahatan yang umum
yang di dahulukan, karena dalam kemaslahatan yang umum itu terkandung pula
kemaslahatan yang khusus, tetapi tidak sebaliknya. Contoh : pencabutan hak
milik pribadi demi kemaslahatan umum, seperti dalam teori ta’ashuf dari
mazhab maliki yang membolehkan pemerintah/pengadilan merampas hak milik pribadi
yang digunakan untuk kejahatan. Misal, pisau atau senjata lain yang digunakan
untuk membunuh/melukai orang lain.[20]
3.
إِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ
أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertentangan dua
mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya dengan dikerjakan
yang lebih ringan kepada mudlaratnya”
Dengan kaidah ini dimaksudkan, manakala pada suatu ketika datang
secara bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus dipilih atau diseleksi,
manakala diantara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan. [21] Misalnya
: merusak fisik itu adalah memudaratkan, tetapi membiarkan penyakit dalam perut
yang bisa membawa kematian adalah lebih besar mudaratnya. Maka, dibolehkan
mengoperasi manusia demi untuk mengeluarkan penyakit dalam tubuhnya.
4.
مُرَا
عَةُ المقَاصِدِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى رِعَايَةِ الوَسَائِلِ أَبَدًا
“Menjaga (memelihara)
tujuan selamanya di dahulukan daripada memelihara cara (media) dalam mencapai
tujuan.”
Dalam hukum islam ada 2 hal yang harus dibedakan, yaitu : al-maqashid
(tujuan) dan al-wasa’il (cara mencapai tujuan). Tujuannya adalah meraih
kemlasahatan dan menolak kemafsadatan. Untuk meraih kemaslahatan, ada media
atau cara untuk mencapai kemlasahatan (fath al-dzari’ah). Untuk menolak
kemafsadatan ada cara untuk menghindarinya (sadd al-dzari’ah).[22] Contoh
: Shalat jum’at adalah wasilah berupa sadd al-dzari’ah agar orang tidak
melakukan kesibukan lain pada waktu dikumandangkan azan shalat jumat selain
bersegera untuk melaksanakan shalat jumat.[23]
5.
المتَّفَقُ
عَلَيْهِ مُقَدَّمٌ عَلَى المخْتَلَفِ فِيهِ
“apa yang disepakati
didahulukan daripada perbedaan”
Kaidah ini adalah dibicarakan skala prioritas, yaitu apa yang
disepakati didahulukan daripada perbedaan pendapat. Contoh: pembentukan OKI
(Organisasi Konferensi Islam) karena adanya kesepakatan untuk sama-sama
mewujudkan dunia islam dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi untuk hidup
dalam keadaan damai yang diikat oleh persamaan agama yang dilandasi oleh ukhuwah
Islamiyah.[24]
6.
حِفْظُ
المو جُودِ أَوْلَى مِن تَحْصِيْلِ المفْقُودِ
“memilihara yang telah
ada adalah lebih utama daripada mengharapkan (hasil) yang belum ada.”
Kaidah ini menegaskan untuk menjaga dan memanfaatkan apa yang telah
di tangan daripada mengangan-angankan sesuatu yang belum tentu dan tidak cukup
meyakinkan akan keberhasilannya.[25]
Izzuddin bin Abd al-Salam mencontohkan penerapan dalam masalah penggantian
kepemimpinan yang harus lebih baik dari pemimpin yang ada. Apabila ditinjau
dari berbagai aspek, persyaratan kepemimpinan yang akan datang itu belum tentu
lebih maslahat, maka diteruskanlah kepemimpinan yang sekarang ada untuk masa
berikutnya.
7.
إِذَا
تَعَارَدَ المانِعُ وَالمقْتَضِ قَدِمَ المانِعُ
“Apabila saling
bertentangan antara ketentuan hukum yang mencegah dengan yang mengharuskan pada
waktu yang sama, maka didahulukanlah yang mencegah”
Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila ada dalil atau bukti
kenyataan yang bertentangan antara yang mencegah dengan yang mengharuskan pada
waktu yang sama, maka didahulukan yang mencegah. Contoh : A menyewakan rumah
kepada B untuk waktu 1 tahun. Kemudian sebelum habis waktu 1 tahun si A menjual
rumah kepada si C. Maka si A tidak bisa menyewakan rumah kepada C sebelum habis
kontraknya kepada si B. Dalam hal ini, yang mecegah penyarahannya adalah rumah
si A yang sedang dikontrakan oleh si B, sedangkan yang mengharuskan penyerahan
adalah rumah kontrakan tersebut telah dibeli oleh si C dari si A.[26]
8.
الإِسْتَدَا
مَةُ أَقْوَى مِنْ الإِبْتِدَاءِ
“Melanjutkan hukum yang
telah ada lebih kuat daripada memulai”
Maksud kaidah tersebut adalah melanjutkan hukum yang telah ada
lebih kuat dari pada memulai. Kaidah ini berhubungan dengan al-istishhab
dalam ilmu ushul fiqh. Contohnya : seorang yang memiliki suatu benda
atau hak tertentu, maka benda atau hak tersebut tetap menjadi miliknya selama
tidak ada bukti-bukti lain yang membatalkan haknya tersebut. Misalnya, ada
bukti dia telah menjualnya secara sah. Bahkan barang yang hilang atau dicuri
orang, maka barang tersebut menjadi hak pemiliknya. Sebab, dia telah
memilikinya sebelum benda itu hilang.[27]
9.
الأَخْذُ
بِالثِيقَة وَالعَمَلُ بِالإِحْتِيَاطِ فِي بَابِ العِبَادَةِ أَوْلَى
“Mengambil yang
terpercaya dan berbuat dengan hati-hati dalam bab ibadah (hubungan manusia
dengan Allah), itulah yang lebih utama.”
Kaidah ini menghendaki bahwa dalam masalah hubungan manusia dengan
Allah harus mengambil dasar yang kuat dalilnya dan harus dilakukan dengan
hati-hati. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila seorang muslim telah
melakukan ibadah haji misalnya tetapi dia slalu ingin melakukannya untuk yang
kedua atau ketiga kalinya. Karena dia merasa pada haji yang pertama ada
kekurangan sehingga batinnya tidak merasa puas. Padahal haji kedua dan
seterusnya hukumnya sunnah.[28]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Banyak
kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah, muamalah
atau transaksi maupun dalam menetapkan skala priorotas. Semua kaidah tersebut
dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam mengambil suatu keputusan terhadap
hal yang baru. Mengingat saat ini sudah semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
teknologi maupun pola pikir manusia yang mengarahkan pada permasalahan baru
yang harus ditemukan solusinya yang sesuai dengan kaidah fikih dan tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Kaidah-kaidah
fiqh dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah maupun Sakala Priorotas sangat banyak
dan menyeluruh. Salah satu manfaat dari adanya kaidah tersebut adalah akan
mengetahui prinsip-prinsip umum kaidah fikih dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah
maupun Sakala Priorotas serta mengetahui pokok masalah yang mewarnai kaidah
fiqh dibidang tersebut yang kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah
yang timbul. Adapun kedudukan kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai pelengkap,
bahwa kaidah fikih yang digunakan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli, A. Prof. H. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih :
Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta
: Kencan.
Rahman, Asjmuni A. Drs. H. 1976. Qa’idah-Qa’idah Fiqih
(Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta : Bulan Bintang.
Andiko, Toha. Dr. H. M.Ag. 2011. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah :
Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam, Yogyakarta : Teras.
[1] Prof. H. A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 114.
[2] Ibid.,
hlm. 115.
[3] Drs. H.
Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta
: Bulan Bintang, 1976), hlm. 53-54.
[4] Prof. H. A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.............................hlm. 117.
[5] Ibid.,
hlm. 116.
[6] Ibid., hlm.
117.
[7] Ibid., hlm.
120.
[9] Dr. H. Toha
Andiko, M.Ag., Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis dalam Merespon
Problematika Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2011), hlm. 160-161.
[10] Prof. H. A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih ....................hlm. 129.
[12] Drs. H.
Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta :
Rajawali Pers, 1993), hlm.184.
[13] Prof. H. A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.....................hlm. 131.
[14] Ibid., hlm.
132.
[15] Ibid., hlm.
135.
[19] Ibid., hlm.
164.
[20] Ibid., hlm.
166.
[21] Drs. H.
Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah)..... hlm.
30.
[22] Prof. H. A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.......................hlm. 169-170.
[23] Ibid., hlm.
171.
[24] Ibid., hlm.
172-173.
[25] Ibid., hlm.
174.
[26] Ibid., hlm.
175.
[27] Ibid., hlm.
176-177.
[28] Ibid., hlm.
178.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus