PETA PEMIKIRAN EKONOMI
ISLAM
Adiwarman Karim, salah
seorang pakar Ekonomi Islam Indonesia, dan penggagas The International Institut
of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, yang menjelaskan peta pemikiran ekonomi
Islam yaitu 3 madzhab ekonomi Islam yaitu Madzhab BaqrAsh-Shadr, Mainstream,
serta analitis-kritis.
A. Normatifisme
Normatifisme
merupakan pemikiran ekonomi islam yang lebih mempopulerkan norma-norma yang
terkandung dalam sumber-sumber Islam (Qur’an, Hadits, dan Fiqih). Oleh
karenanya, metode yang dikembangkan pun akan lebih pada hal-hal yang konseptual
dan tekstual pada aspek-aspek yang terjadi pada historis islam (masa Nabi,
Sahabat dan kejayaan Islam). Bahkan, jika normatifisme dijadikan sebagai
pemikiran yang absolut, maka ekonomi islam akan menjadi pilihan mutlak tanpa
mempertimbangkan kondisi-kondisi perkembangan ekonomi kontemporer.[1]
Jika merujuk pada
pendapat Andiwarman Karim, maka model pemikiran ini cenderung pada yang
dikembangkan oleh Baqiras-Shadr dengan bukunya Iqtishaduna. Ia menjustifikasi
bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap
ekonomi, dan Islam tetap islam. Keduanya berasal dari filosofi yang saling
kontradiktif. Ash-badr menolak statemen bahwa masalah ekonomi muncul karena
adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang
tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Hal
tersebut sangat tidak relevan, karena firman Allah Swt. Dalam surat Al-Qamar
(54;49) dinyatakan “Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran
yang setepat-tepatnya”.
Bahkan, alat
solusi yang dikembangkan pada persoalan-persoalan ekonomi pun selalu akan
bersifat “normatif” tanpa adanya metode-metode yang lebih berdimensi
kompromistik.
Islam sebagai
ajaran yang sangat lengkap sebagaimana telah dibahas pada kedudukan aqidah,
syari’ah, dan akhlaq tentulah tidak sangat kurang dari proses perkembangan peradaban
ekonomi. Akan tetapi, jika menganut pada faham “teologi proses”, maka
sesungguhnya islam akan terbuka pada proses perkembangan zaman. [2]Seperti pemberlakuan
“jizyah” yang dikenakan pada kaum penduduk non-muslim, “ghonimah” sebagai
bagian dari perampasan perang tentu kurang lagi konstektual pada saat ini.
Walaupun hal tersebut secara nomatif tidak bisa dinisbihkan sebagai bagian dari
ajaran islam.
Demikian juga
dalam mensikapi perkembangan lembaga keuangan kontemporer yang selama ini
berbasis interest (bunga). Sistem yang terjadi pada saat ini, jika “riba”
diterjemahkan secara normatif bahwa sesuatu yang berlebih dari nilai pinjaman
adalah “riba”, maka sangat sulit untuk menciptakan lembaga keuangan. Dibutuhkan
modifikasi dan rekayasa-rekayasa yang menjadikan norma islam menjadi aplikabel
tanpa islam sebagai sistem alergi terhadap proses perkembangan
transaksi-transaksi modern.
B. Mix Normatifisme Emperisme ( Positivisme )
Tesis positivisme
bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sejarah
yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dalam positivisme,
segala keberadaban segala kekuatan atau subjek di luar fakta atau penggunaan
metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta akan ditolak.Setiap definisi
harus dalam ranah pengetahuan manusia, tidak ada nilai (value) di dalamnya. Ilmu
sosial budaya menjadi bersifat predictivedan
explanatory sebagaimana halnya dengan
ilmu alam dan ilmu pasti. Generasi-generasi tersebut merangkum keseluruhan
fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”.
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Selama ini,
metodologi filosofi positivisme mengadopsi ilmu alam dan dengan menggunakan
matematika, terutama statistika sebagai cara untuk menguji hipotesis dan
sebagai landasan utama pengembangan sistem[3].
Akan tetapi, Islam
tidak selamanya harus postivisme. Dalam islam, ada kehadiran Tuhan sebagai
bagian yang berkuasa atas segala alam (innallaha ala kullisya’inqadir; sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu), tetapi Tuhan juga menciptakan kekuasaan yang terletak pada
manusia (innallahaidyughayyirumabiqoamin hatta yughoyyirumabianfusihim;
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka merubah
nasib dengan diri mereka sendiri).
Oleh karenanya,
menghadapi problem-problem ekonomi dapat dirujukkan pada konseptual yang
bersifat normatif dan diselesaikan dengan paradigma yang positivistik.
Metode
normatifisme-positifismedapat dilihat pada karya-karya M. UmerChapra, M. Abdul
Mannan, M. NejatullahSiddiqi, MonserKhaf, Muhammad Yunus dan lain-lain. Pada
saat ini, faham ini juga menjadi bagian yang paling banyak diminati oleh ilmuan
Islam di bidang ekonomi. Oleh karenanya, Adiwarman menyebutnya dengan
madzhabmainstream, aliran besar yang banyak dijadikan landasan berpikir.
Dalam metode ini,
fakta-fakta ekonomi yang digali tidak begitu berbeda dengan pendapat
konvensional, hanya saja yang membedakan adalah cara penyelesaian permasalahan
(method of problem solving).
Hal ini berbeda
dengan penentuan skala prioritas dalam ekonomi konvensional yang tergantung
pada individu dengan atau tanpa pendekatan agama tapi dengan “mempertuhankan
hawa nafsu dan materi”. Mazhab ini berpendapat dalam ekonomi islam, keputusan
pilihan tidak dapat dilakukan semaunya saja. Prilaku manusia dalam setiap aspek
kehidupannya, termasuk ekonomi, harus merujuk pada ajaran Allah Swt. Lewat
Al-Qur’an dan Sunnah.[4]
Mazhab ini juga
setuju dengan kemunculan masalah ekonomi karena ketebatasan sumber daya yang
dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas . Namun, keterbatasan
sumber manusia tersebut, hanya terjadi pada berbagai tempat dan waktu saja,
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2:155), yang artinya: “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”.
Selain
keterbatasan merupakan ujian dari Allah Swt., juga sifat manusia yang
berkeinginan tidak terbatas dianggap sebagai sifat yang alamiah. Disebutkan
dalam al-Qur’ansurat At-Takatsur (102:1-5), yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”. [5]
C. Mazhab Kritis
Dipelopori oleh
Timur kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), yaitu
mengkritisi kedua mazhab di atas. Mereka berpendapat yang perlu dikritisi tidak
saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi Islam itu sendiri.[6]
Dari sekian
literatur dan perkembangan perekonomian Islam di dunia, tampaknya madzhabnormatifisme-positivisme lebih fleksibel
dan dominan dalam berkiprah.
Seperti yang
ditulis oleh Muhammad Muslehuddin, bahwa sesungguhnya esensi daripada ekonomi
Islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun (established) dan
ditegakkan berdasarkan syariah, dan (kemungkinan) menerima unsur ekonomi
lainnya selama tidak bertentangan dengannya.[7]
Teori Kritis.
Kritis
adalah konsep kunci utama memahami teori kritis. Kritik juga merupakan suatu
program bagi mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat
emansipatoris atas kebudayaan dan masyarakat modern. Dalam arti sempit, Istilah
Teori Kritis sudah lama diterapkan dalam rentang yang sangat luas terhadap
beberapa teori dan disiplin ilmu yang berbeda. Teori Kritis merujuk kepada
pandangan yang diusung oleh Mazhab Frankfurt terutama tulisan-tulisan awal yang
dibuat oleh Max Horkheimer, Theodor W Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Krits
sendiri didefinisikan sebagai jenis teori sosial yang berasal dari para pemikir
Marxis Barat di Institut Riset Sosial, Universitas Frankfurt. Itulah sebabnya
gagasan Teori Kritis juga disebut sebagai gagasan Mazhab Frankfurt.
Istilah teori kritis ini pertama kali ditemukan Max
Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan
kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap
deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk sainstisme, kapitalisme, industri
kebudayaan, dan institusi politik borjunis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus
ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan
generasinya menganggap Hegel sebagai otang terakhir dalam tradisi.
[1],Ahmad Dahlan,PenganatarEkonomi
Islam (Purwokerto: STAIN press,2009) hal 69
[2]Ibid hal 70-71
[3]Ahmad Dahlan, PengantarEkonomi
Islam, (Purwokerto: STAIN Press, 2009)hal 71
[4]Ibid hal 72
[5]Ibid hal 73
[6]AdiwiramanKarim,
EkonomiMikroMakroislam (Jakarta:IIIT Indonesia, 2002)hal 13
[7]Ahmad Dahlan, PengantarEkonomi Islam
(Purwokerto: STAIN Press, 2009)hal 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar